"Memangnya apa yang dia kasih?" tanya Indah.

"Kamu sedang melihatnya." Pak Dion memutar pandangannya ke seluruh sudut ruangan. "Apa yang saya miliki sekarang, ada campur tangannya."

"Huh!" Miss Voura mendengus. "Kalau begitu kita sama. Kita berteman dengannya karena mengharapkan sesuatu darinya."

"Tidak. Kita tidak sama," tepis Pak Dion. "Sejak pertama mengenalnya saya sadar sepenuhnya dia bukanlah manusia biasa. Apa yang bisa dia lakukan terlalu luar biasa untuk ukuran manusia normal."

"Kamu tetap menerimanya."

"Dengan satu syarat."

"Syarat?"

"Dengan kondisinya saat itu, dia tidak punya pilihan lain. Saya percaya dia bisa memberikan apa pun yang saya mau, tapi saya juga sadar sepenuhnya akan ada harga yang harus saya bayarkan."

"Apa yang kamu minta?"

"Jaminan keselamatan saya, tentu saja."

"Hahaha...." Miss Voura tiba-tiba tertawa. "Jaminan keselamatan darinya?"

"Saya tahu apa yang ada dalam pikiran kamu. Jika saya sebodoh seperti pemikiran kamu itu, apa menurutmu saya masih bisa hidup sampai sekarang? Syarat yang saya minta tidak cukup hanya sekedar ucapan saja, itu sama sekali tidak cukup. Saya meminta sesuatu yang bisa saya lihat, bisa saya pegang dan saya gunakan sewaktu-waktu ketika saya merasa keselamatan saya sedang terancam."

Hanya sampai situ Pak Dion berkata, dia terdiam setelahnya. Entah kenapa dia melakukannya. Mungkin dia sedang mengharapkan adanya tanggapan dari para tamunya, namun sama sepertinya, semuanya juga terdiam. Selama beberapa saat suasana hening bertahan.

"Kalian pernah mendengar cerita tentang seseorang yang menitipkan jiwanya pada sebuah lukisan?" Pak Dion akhirnya melanjutkan. "Apa yang dia lakukan membuatnya abadi. Tak termakan usia. Atau mungkin juga cerita tentang seorang raja yang tak terkalahkan di medan perang. Tidak ada satu senjata pun yang mampu membunuhnya. Itu terjadi karena sang raja menitipkan jiwanya pada seekor burung piaraannya sebelum dia berangkat perang. Kelemahan keduanya sama. Jika ingin membunuh mereka, maka musnahkanlah benda di mana mereka menitipkan jiwa mereka. Benda itu yang saya minta darinya sebagai jaminan."

"Dia punya?" Miss Voura yang sejak tadi sinis tidak percaya, kini malah terkejut.

"Polanya sama. Semua cerita tentang keabadian yang pernah saya baca, polanya sama. Begitu juga dengan Odelia."

Sekali lagi keheningan menyelimuti suasana. Namun kali ini penyebabnya sangat jelas. Semua terkejut dengan cerita yang baru saja mereka dengar. Pertanyaan di kepala mereka sama, sungguhkah benda semacam itu ada?

"Apa?" Pertanyaan di kepala mereka diwakili oleh Yanti. Entah bertanya atau tidak, kata itu terucap lirih dari mulut Yanti. Dia dan mamanya sejak tadi memang tidak banyak bicara, ketegangan terlalu menguasai diri mereka. Sementara kedua temannya; Sati dan Rina, keadaan keduanya tidak lebih baik darinya.

"Gelang," Pak Dion menjawab sambil menatap Yanti.

"Gelang?"

"Ya, gelang. Gelang yang kamu ambil. Itu benda pemberian Odelia untuk saya sebagai jaminan."

"Gelang itu ... hilang."

"Tidak, gelang itu tidak hilang." Pak Dion mengambil sesuatu dari saku celananya. Sebuah gelang kini dia pegang. Gelang sama persis seperti yang pernah Yanti pakai, hanya saja kait dan pengaitnya berwarna perak.

"Bagaimana gelang itu bisa ada di Anda?" Yanti menatap terkejut.

Keterkejutan sebenarnya bukan hanya dialami Yanti, semua juga mengalaminya.

AFTER  KOMAWhere stories live. Discover now