Indah menatap Sinta dari ujung kepala sampai ke kaki. Sinta masih memakai kaus tim basket dan ransel sekolahnya, rambut panjangnya di ikat tinggi. Sementara Indah, ia mengenakan dress diatas lutut bermotif bunga-bunga gradasi pastel. Kakinya di balut heels 15 cm, dan rambut sebahu nya di biarkan menari dengan angin. Ia memeluk hand bag merah muda mewah di salah satu tangannya.

Indah menyeringai. "Dilihat dari segi manapun, kita bukan dari level yang sama. Tidakkah kau hormat padaku? Kau itu masih anak SMA ingusan."

"Jadi kau bangga ya karena sudah tua?"

"A-apa? Tua? Coba ulangi!"

"Kau tua, tante. masih belum jelas?" retorik Sinta. "Pantas saja Bintang tidak menyesal setelah putus denganmu, sekarang aku tahu kenapa."

"Hey, bocah! Apa maksudmu!"

"Jangan mengerutkan dahimu! Nanti keriputnya kelihatan!" seru Sinta.

Indah memerah emosi. Ia menatap tajam Sinta yang menatap malas dirinya. "Dasar bocah tak sopan! Kau pikir siapa yang lebih lama mengenal Bintang? Dan-"

"Aku sibuk." Sinta membalikkan badan pergi meninggalkan Indah yang masih bicara. Indah benar-benar merasa di remehkan, ia menarik tas Sinta untuk berbalik padanya. "Anak zaman sekarang sungguh sulit diatur-"

"Ah, menyebalkan." Gerutu Sinta dan mendongak.

Ia melangkah lebih dekat dengan Indah, dan mengepalkan tangan sambil menatap benci Indah yang baru ingin memaki-maki.

"Kau tahu? Hari ini aku sungguh kesal di pagi hari, siang hari, dan aku tidak ingin sore hariku ikut berantakan karena topik tidak berguna. Kau tidak tahu kebiasaanku kalau moodku sedang buruk? Apa aku lupa memberi tahumu aku pernah mematahkan tangan rivalku yang bersabuk coklat di olimpiade taekwondo di OSN tahun kemarin?"

Indah tiba-tiba mundur. Sinta mencibir pelan, dan membalikkan badan. Mematahkan tangan orang lain? Taekwondo? OSN? Omong kosong macam apa? Ia bahkan menyerah untuk mendapat sabuk hijau twaekondo saat kelas sepuluh dulu.

Setidaknya ancaman itu berhasil, pikir Sinta dan membalikkan badan.

"Putuslah dengan Bintang." Ucap Indah tiba-tiba. Sinta membalikkan badannya dan mendelik. Tetapi kali ini, Indah sama sekali tidak terlihat gentar.

"Putuskan Bintang, jauhi dia sekarang juga, sebelum terlamat."

"Apa para mantan itu selalu saja merecoki hubungan baru mantannya? Apa hakmu?"

"Sudah kuduga Bintang tak mungkin menceritakannya padamu. Aku hanya memberimu peringatan sebelum kau menyesal dan benar-benar tidak bisa lepas dari jeratannya. Dan hak? Aku memang tidak memiliki hak atas Bintang, tapi aku bicara ini karena kau juga wanita, dan memiliki perasaan yang sama, Bintang itu sakit jiwa, cepat jauhi dia."

Setelah bicara serius itu, Indah langsung pergi.

***
Bintang berjalan malas di trotoar. Menjaga jarak dengan Sinta membuatnya bosan, bosan karena ia tak punya kegiatan lain.

Biasanya di jam segini ia memberi pelajaran tambahan bagi Sinta, dan memperhatikan mimik serius ketika gadis itu berpikir keras, itu bagian terbaiknya.

Dan selama seminggu ini ia tak lihat ekspresi itu. bahkan ia nyaris tak bertemu Sinta kecuali ketika gadis itu berangkat pagi-pagi sekali ke sekolah-itupun dari balkon kamar kostnya.

Dan jika dugaannya benar, Sinta juga menjauhi Bisma akhir-akhir ini karena mereka tak lagi berangkat bersama.

Argh! Ia menggeram dan menendang apapun yang ada didepan. Detik berikutnya ia menggerutu dalam hati karena tingkahnya di perhatikan orang sekitar. Bintang memilih menunduk dan lanjut melangkah.

Ia berhenti, seberapa jauh ia berjalan? sekarang ia sudah berada didepan sebuah toko buku. Sepertinya tempat ini akan mengalihkan perhatiannya dari Sinta.

Bintang masuk dan tersenyum pada penjaga toko yang sudah mengenalnya. Ia berjalan menghampiri rak-rak buku ensiklopedi dan medis, buku kesukaannya.

Cita-citanya adalah menjadi dokter, tapi itu sudah lama sekali. Bintang membuka buku tebal dan membacanya halaman demi halaman, dan berhenti pada bagian penyakit dalam.

Bintang termenung, berada ditempat ini tidak membuat Sinta hilang dari pikirannya.

Jadi, daripada terus menyangkal, Bintang memilih membiarkannya terus mengalir. Ia bangkit menaruh kembali buku bacaannya, dan mendekati rak-rak novel remaja. Sinta suka sekali cerita-cerita fiksi romance dalam novel.

Bintang mengambil beberapa buku, dan membaca sinopsisnya.

"Auh, bagaimana bisa gadis itu baca novel percintaan seperti ini sedangkan ia belum pernah berpacaran sekali pun? ck..ck."

Bintang tersenyum, haruskah ia membelinya beberapa? Sinta pasti sen- Bintang terdiam, menaruh kembali buku-buku itu dan memutuskan kembali ke mejanya.

Sinta bener-benar menyita perhatian dan kewarasannya, ini akibatnya kalau terus memikirkan gadis manis itu, dia akan benar benar membuatnya sakit jiwa.

Langkah Bintang tiba-tiba terhenti, baiklah. Sekarang gadis itu tidak hanya muncul dipikirannya, tapi dihadapannya, dan duduk dibangkunya. Ia nampak membaca sebuah novel dengan serius, atau tidak sama sekali. Karena lima menit lebih Bintang berdiri memantau, gadis itu tak bergerak sama sekali, apalagi membuka halaman selanjutnya.

Bintang mendekat, mengambil novel dari genggaman Sinta. syukurlah, gadis ini nyata.

Gadis itu mendongak, dengan ekspresi kaget. Bintang menggenggam tangan Sinta dan menariknya keluar.

"Jangan bicara. Ikuti aku."

-----------------------------------------------------------------
Mohon koreksi bila ada kesalahan, bisa langsung comment pada kalimatnya.
Kritik dan saran sangat membantu proses penulisan. Terimakasih!

Fate In You (COMPLETED)Where stories live. Discover now