23

22 2 0
                                    


VIOLET'S POV

Hanya semalam aku di rumah sakit. Lagipula aku tidak sakit separah itu kan. Semalam Rion aku tidur di rumah kak Putri. Aku sudah berpesan untuk tidka bilang pada Rion kalau aku masuk rumah sakit. Dia akan bertanya terus dari pagi sampai malam sampai pagi lagi, apakah aku benar-benar baik-baik saja.

Aku harus menguatkan diriku karena aku akan bertemu dengannya lagi hari ini untuk membahas kelanjutan project kami. Disinilah kami. Aku, Vin, ah bukan, tuan Deino, Cintya dan beberapa karyawan yang bertanggung jawab atas project ini. Setelah memberi ulasan akhirnya kami tanda tangan kontrak. "terimakasih atas kerjasamanya", katanya sambil mengulurkan tangannya.

Berhentilah untuk memancingku. Argh, menyebalkan sekali. Aku menjabat tangannya sambil tersenyum kecil. "semoga kita bisa terus bekerja sama", kataku kemudian melepaskan jabatanku. Aku melihat Cintya dan para karyawan keluar ruangan. Aku sedang membereskan dokumenku dan hendak keluar ruangan, tapi ada tangan yang menahanku.

Aku menatapnya bingung. "apa nona tidak apa-apa?", tanyanya. Aku hanya mengerenyitkan dahiku. Ah, kemaren aku pingsan. "saya tidak papa", jawabku singkat padat jelas. Huh, aku ingin tahu apa yang terjadi dengannya sampai-sampai ia tidak mengingatku sama sekali.

Aku ingin pergi tapi dia masih memegang tanganku. "maaf, bisa minta tolong lepaskan? Saya masih ada sesuatu yang harus diurus", kataku sopan. "ah iya", katanya gelagapan sambil melepas tanganku. "permisi", kataku lalu berjalan meninggalkan ruangan. "apa kita saling mengenal?", tanyanya yang membuatku berhenti. Apa dia mengingatku?. "saya juga ingin tahu. Apakah anda benar-benar orang yang saya kenal", kataku tanpa berbalik kemudian benar-benar meninggalkan ruangan.

VIN'S POV

"saya juga ingin tahu. Apakah anda benar-benar orang yang saya kenal". Aku harus cari tahu. Aku berjalan mencari nona Cintya kesana kemari dan akhirnya aku menemukannya. "bisa kita bicara sebentar?", tanyaku yang membuatnya terkejut. "maaf , ini masih jam kerja saya", tolaknya cepat. "baiklah akan saya tunggu di lobby waktu jam makan siang", kataku kemudian pergi menuju lobby.

Aku menunggunya hampir 2 jam. Ini sudah waktunya makan siang. Kenapa aku tahu? Karena para karyawan sudah berhamburan untuk mencari makan. "apa yang mau anda bicarakan?", tanyanya. "sebaiknya kita cari tempat yang nyaman", kataku kemudian berjalan menuju sebuah cafe.

"apakah anda mengenal saya? Atau saya salah satu orang penting di perusahaan ini? Saya merasa aneh saat pertama kali saya datang ke perusahaan ini. Semua menatap saya aneh. Seperti tatapan anda waktu di lobby hotel malam itu", tanyaku tanpa basa-basi. "sejauh mana anda tahu kehidupan anda?", jawabnya dengan pertanyaan.

"apa maksud anda?", tanyaku tak mengerti. "saya akan lanjutkan kisah hidup anda", jawabnya cepat. "saya tak ingat apapun. Yang saya tahu saya mengalami kecelakaan pesawat dan saya mengalami lupa ingatan. Saya tinggal dengan tunangan saya dan ayahnya mungkin kurang lebih 4 tahun", jelasku yang membuatnya mengerenyitkan dahi.

"t-tunangan?", tanyanya terbata. "iya, tunangan saya", jawabku memastikan. Apa ada yang salah dengan penjelasanku?.

CINTYA'S POV

"saya tak ingat apapun. Yang saya tahu saya mengalami kecelakaan pesawat dan saya mengalami lupa ingatan. Saya tinggal dengan tunangan saya dan ayahnya mungkin kurang lebih 4 tahun", apa yang dia bilang tadi?.

"t-tunangan?", tanyaku memastikan pendengaranku memang tidak salah. "iya, tunangan saya", jawabnya mantab tanpa ada rasa bersalah. Bagaimana bisa ia bertunangan bahkan ia tidak ingat siapa dia sebenarnya?. Mengingat Vio, aku benar-benar marah sekarang.

"apa?! Lo uda tunangan?! Lo bahkan nggak inget siapa nama asli lo! Dan lo berani-beraninya tunangan! Lo inget nggak? Lo itu punya istri! Dan sekarang lo punya anak! Lo dengan santainya bilang lo tinggal sama tunangan lo! Otak lo dimana bro?! Paling enggak, lo cari tau dulu lo itu siapa! Rumah lo dimana! Bisa-bisanya lo tunangan sama orang lain, sedangkan istri lo berjuang sendirian buat ngelahirin anak lo dan nunggu lo selama 4 tahun! Dan lo bilang apa barusan?! Lo uda tunangan? Mati aja lo mendingan! Daripada lo hidup tapi nyakitin sahabat gue!", teriak ku panjang lebar. Sepertinya seisi cafe ini sudah menatap kami berdua.

Aku benar-benar marah. nafasku terengah karena bicara dengan nada tinggi selama itu. Aku lihat wajah Vin menatapku dan mungkin sedang mencerna semua kata-kataku tadi. Aku mengirim semua foto yang aku punya. Vio selalu mengirimiku foto sejak aku kuliah di Korea Selatan dan tak jarang ia mengirim fotonya bersama Vin.

Aku melihatnya membuka pesan yang aku kirim. Ia menggesernya satu per satu. Vin perlahan memegangi kepalanya dan menitikkan air mata. Apa dia ingat sesuatu?. Vin memukuli perlahan dan semakin lama semakin keras. "Vin! Lo ngapain?!", pekikku sambil mencoba menahan tangannya yang terus memukuli kepalanya.

Air matanya terus keluar dan ia menangis tersedu-sedu. Ia meletakkan ponselnya di dadanya dan menangis sejadi-jadinya sampai akhirnya ia pingsan. "Vin! Vin!", panggilku sambil menepuk pelan pipinya. "mas mbak, minta tolong bawa ke mobil saya", teriakku yang kemudian mereka semua berbondong-bondong mengangkat Vin. Aku membawanya ke rumah sakit. "argh, kenapa juga tadi gu engomong gitu sih? Emang mulut lo nggak punya rem, Cin!", umpatku pada diriku sendiri.

Setelah menerima beberapa pemeriksaan, akhirnya Vin dibawa ke ruang rawat. "bilang ke Vio atau enggak ya?", aku mondar-mandir di depan tempat tidur Vin. "kasih tau nggak ya", masih tetap mondar-mandir sambil menepukkan ponselku di kepalaku.

"Cintya!", panggilnya lirih. Aku berjalan menghampirinya. "lo nggak papa kan? Sorry, gue tadi nggak maksud", kata-kataku di potong olehnya. "saya pinjam mobilmu", katanya sambil melepas infusnya. "lo masih belom stabil. Lo mau kemana sih? Gue anter", kataku. "pinjamkan saja mobilmu", katanya sangat memohon padaku, melalui matanya. Mau tidak mau aku harus memberikan kunci mobilku. Setelah mendapatkannya, ia segera berlari meninggalkanku yang masih merasa bersalah. "semoga aku tidak menghancurkan semuanya", doaku dalam hati.

Am I Right?Where stories live. Discover now