22

20 2 0
                                    


VIN'S POV

"selamat pagi, bu", aku mendengar mereka menyapa seseorang yang mungkin sedang berdiri di belakangku sekarang. Aku membalikkan tubuhku untuk melihat seperti apa pimpinan mereka. Setelah ia melihat dengan jelas wajahku, kulihat matanya terbelalak. Terkejut? atau shock? Sepertinya shock. Aku juga tidak tahu pasti.

Aku merasa ini bukan pertama kali melihatnya. Tapi aku bertemu dengannya dimana? Aku tidak ingat. "selamat pagi. Saya Deino. Saya mohon kerjasamanya", aku memutuskan untuk menyapanya sambil mengulurkan tanganku. Tanganku menggantung cukup lama disana. Dia enggan menerima jabatanku atau bagaimana? Kulihat dia menatap, mungkin sekretarisnya, sebentar kemudian menjabat tanganku. "selamat pagi. Saya Violet. Senang bertemu dengan anda", katanya pelan.

Kenapa tangannya dingin sekali? Atau memang seperti itu? aku tidak mengerti. Aku merasa mengenalnya. Aroma tubuhnya juga sepertinya tidak asing. Tapi siapa? Aku benar-benar tidak ingat. Aku melihat ia duduk di singgasananya dan aku mulai mempresentasikan hasil kerja kami.

Selama melakukan persentasi, dia, nona Violet, kalau aku tidak salah, ia selalu menatapku. Menatapku nanar? Kenapa begitu? Memang benar seharusnya ia memperhatikan presentasiku. Tapi apakah harus dengan tatapan seperti itu? entahlah. Aku juga sepertinya selalu ingin melihatnya. Kenapa? I don't know. What's wrong with me?

Aku melihat nona Violet berkeringat. Apa aku tidak salah? Di tempat ber-AC seperti ini dia berkeringat? Oh, lihat dia. Sepertinya sebentar lagi dia akan pingsan dan benar saja. Aku berlari ke arahnya dan berhasil meraih tubuhnya sebelum benar-benar terbentur di lantai. "Vio!", teriak sekretarisnya. Aku melihat name tag nya, namanya Cintya.

"saya akan membawanya ke rumah sakit. Tolong pinjamkan mobilmu", kataku cepat sambil menggendongnya ala bridal style dan segera berjalan menuju basement. Nona Cintya mengekoriku di belakang. Perasaan apa ini? Kenapa sepertinya aku snagat sangat sangat mengkhawatirkannya. Aku memacu mobilku dengan kencang. Setelah beberapa menit, akhirnya pun sampai.

Ia dibawa ke UGD dan sudah ada dokter yang menanganinya. Aku menggaruk kepalaku sambil jalan mondar-mandir, menunggu kabar tentang kondisi nona Vio. Tunggu, siapa aku sampai-sampai aku menunggunya disini seperti ini?. "permisi", ada suara yang menyadarkanku dari pertanyaan-pertanyaan aneh yang ada di otakku. "pihak kami akan segera menghubungi tentang kelanjutan projectnya", katanya tanpa basa-basi.

"ah, baiklah. Saya permisi", kataku kemudian berjalan meninggalkan nona Cintya. "terimakasih", katanya yang membuatku berhenti. Aku berbalik dan melihatnya menatapku. "walaupun otak anda tidak ingat, sepertinya tubuh dan hati anda masih ingat", katanya sambil tersenyum kecil kemudian meninggalkanku dalam kebingungan. Hah? Apa maksudnya?.

Aku kembali ke hotel menggunakan taksi dan kata-kata nona Cintya masih mengiang di kepalaku. "walaupun otak anda tidak ingat, sepertinya tubuh dan hati anda masih ingat". "apa dia mengenalku?", tanyaku sambil menatap keluar jendela. "kalo dipikir-pikir memang aneh. Mulai dari sopir yang menjemputku di bandara, para karyawan perusahaan dan nona Vio. Tatapan mereka sama saat pertama kali melihatku. Siapa aku sebenarnya?", kataku pelan sambil mencoba mengingat-ingat.

Wanita itu menggunakan gaun berwarna peach selutut dengan bahu terbuka. Cantik sekali. Aku baru pertama kali melihatnya. "it's suits you. I'll take it", kataku tak bisa menyembunyikan senyumanku. "god! Can you ask my opinion, sir?", tanyanya sarkastik kemudian masuk kembali ke dalam tirai.

Aku terbangun sambil melihat sekeliling. Aku terbangun karena mendengar suara dering telepon.

"halo!", sapaku.

'Deino, kapan kamu kembali kesini?', Que ternyata.

"belum tahu. Belum ada konfirmasi, mereka akan mengambil project yang kita ajukan tau tidak", jelasku.

'ah, begitu. Baiklah. I'm just miss you. A lot', katanya. Aku hanya tersenyum kecil mendengarnya.

"i miss you too, babe. Aku selesaikan pekerjaanku dengan cepat dan segera pulang", kataku kemudian menutup sambungan teleponnya. 6 bulan lalu aku memutuskan untuk bertunangan dengan Que. Apakah aku mencintainya? Mungkin belum sampai tahap itu. Yang jelas aku sudah terbiasa dengan keberadaannya. 

Am I Right?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang