17

16 3 0
                                    


VIOLET'S POV

Aku sudah 3 hari di Rumah Sakit, menunggu datangnya hari kelahiranku. Semenjak Vin menghilang bulan lalu, kami terus mencarinya. Vin masih masuk daftar penumpang yang hilang. Setidaknya itu memberiku harapan bahwa ia memang masih hidup. Dan aku akan terus berpikir demikian sampai Vin kembali.

Mom tinggal bersamaku sedangkan Dad harus kembali ke Amerika karena tidak mungkin ia meninggalkan perusahaannya. Sesekali ia kemari untuk melihat keadaanku dan mom. Audy juga sering main ke rumahku bersama suaminya, Greg. Tim juga suka datang sambil membawa kamera canggihnya.

Cintya, ia melihat berita itu dan langsung menghubungiku. Tentu aku tak memperlihatkan sisi kacauku padanya. Aku tak mau membuatnya khawatir. Mengingat tingkat kegilaannya yang akut, aku takut ia langsung terbang ke Indonesia dan meninggalkan kuliahnya disana. Aku begitu senang memiliki banyak orang yang menyayangiku.

"makanlah. Sudah aku kupaskan buatmu", kata Tim sambil meletakkan piring berisi potongan buah apel. Dia selalu datang untuk menemaniku. Dia pria baik. Aku semakin mengenalnya sekarang. "terimakasih. Dimana mom?", tanyaku. Aku tidak lihat mom sedari aku bangun tidur tadi.

"katanya pulang. Mengambil beberapa pakaian dan stuff lainnya. Beliau menyuruhku menemanimu disini", jawabnya. "oh. Emangnya kamu nggak kerja?", tanyaku kemudian melahap apel yang ada di hadapanku. "tentu saja aku kerja. Tapi yang mengerjakan pekerjaanku adalah asistenku", jawabnya sambil nyengir kuda. "dasar pemalas", tanggapku. "bahkan bosku tidak mempermasalahkannya", sahutnya yang membuatku tertawa.

"iyalah. Bosmu itu kan kakakku", kataku. Aku merasakan sakit yang teramat sangat di perutku. "Tim, perutku sakit sekali", kataku dengan susah payah. Tim langsung berlari ke arahku dan memencet tombol darurat yang ada di samping tempat tidurku. Tak lama dokter dan suster datang dan segera membawaku ke ruang bersalin.

Tim ikut bersamaku karena aku menggenggam tangannya erat. Rasanya sakit sekali. "ibu, tolong dengarkan instruksi saya. Jika sama bilang tarik napas, tarik napaslah. Jika bilang hembuskan, hembuskan pelan-pelan. Jika saya bilang tekan, keluarkan sekuat tenaga. Jangan berhenti sampai saya yang menghentikannya", jelasnya. Aku hanya mengangguk.

"tarik napas", katanya dan aku mengikuti. "hembuskan", aku ikuti semua instruksinya. "tekan", aku mencoba mengeluarkan bayiku dengan sekuat tenaga. Rasanya seperti ruas-ruas tulang belakang akan patah. "you can do it", bisik Tim menguatiku. Aku terus menggenggam tangannya kuat.

"tarik napas". "tekan", aku menekannya lagi. Kali ini seperti tulang rusukku akan patah. "aaaaarrrggghhhh!", teriakku dan terdengar suara bayi yang menggema di seluruh ruangan. Aku terengah-engah, peluhku berjatuhan. Perutku yang besar sudah tidak ada lagi. "congrats, Vio", bisik Tim sambil mengusap keringatku.

"selamat, anak ibu laki-laki", kata dokter sambil menunjukkan bayiku yang ada di gendongannya. Aku menatapnya. Vin, aku harap kamu yang menemaniku disini. Tak terasa air mataku sudah menggenang. "kami akan membersihkannya terlebih dahulu dan kami akan membawa ibu ke ruang rawat", sambungnya dan kubalas dengan anggukan kecil.

Aku melihat mom sangat senang melihatku dan bayiku selamat. "syukurlah. Mom sudah panik dan gelisah menunggumu di luar ruang bersalin sejak tadi", katanya sambil menggenggam tanganku. "terimakasih", sambungnya dan kubalas dengan senyuman. Suster membawa bayiku dan meletakkan di sebelahku. Aku mengusap pipinya pelan.

"bunda, akan selalu menjagamu. Kapanpun dan dimanapun", kataku pelan karena takut mengganggu tidurnya yang nyaman. Perasaan takjub memenuhiku. Aku seorang ibu sekarang. Bahkan aku belum pernah membayangkan ini sebelumnya. Aku masih harus banyak belajar dan Vin harus kembali untuk melihatku melakukan banyak hal.

4 tahun kemudian....

Rencanaku setelah aku melahirkan aku akan kuliah tapi apa daya semuanya tak berjalan sesuai rencana. Setelah Vin menghilang tidak ada yang mengurus perusahaannya dan terpaksa aku yang harus memimpinnya. Bayangkan saja, aku tidak punya skill apapun dan aku harus memimpin ribuan karyawan. Keputusanku menjadi hidup mati mereka semua.

Untung saja mom dan Audy sangat membantuku. Sesekali aku meminta saran dari dad dan Cintya. Kenapa Cintya? Karena dia kuliah di jurusan manajemen bisnis. Tentu dia sangat berguna di saat-saat genting. Lalu Tim menjadi teman ngobrol yang asyik dan juga baby sitter bagi Rion. Ah, aku lupa memberitahu kalian. Bayiku, aku beri nama Orion Zellez. Kalian bisa memanggilnya Rion. Dia sangat mirip dengan Vin. Hidung yang mancung dan bibir tipisnya. Matanya mirip denganku. Tuhan memang adil.

Hari ini aku libur daaann today is my time for my baby. "Rion!", panggilku sambil mencarinya se-antero rumah. Aku mendapatinya sedang duduk di lantai dan membuka album foto. "what are you doing there, darl?", tanyaku sambil menghampirinya. "is it dad?", tanyanya sambil menunjuk Vin dan aku sedang makan di sebuah cafe.

"ya, why do you asking that?", tanyaku bingung karena tumben sekali ia menanyakan Vin. Aku memang tidak pernah membahas Vin didepannya. Kecuali memang dia yang menanyakannya. Alasan pertama, kupikir belum saatnya dia tahu dan alasan kedua, kemungkinan besar aku akan menangis di hadapannya dan aku tidak mau itu terjadi.

"Tina menanyakannya", jawabnya. Tina adalah anak angkat Audy dan Greg. Beberapa saat setelah aku melahirkan Rion, Audy jadi menginginkan anak juga. Dan terkejutlah kami semua karena ternyata Audy tak bisa memiliki anak. Greg waktu itu sempat kecewa dan begitu juga Audy. Ia menangis padaku semalaman. Keesokan harinya, Greg membawa Tina ke rumah. Audy sangat senang sekali. Umur Tina tak jauh beda dengan Rion. Mereka masuk sekolah yang sama.

"kenapa Tina menanyakannya?", tanyaku ingin tahu sambil tersenyum. "aku tahu dia tidak sengaja menanyakannya padaku. Tapi selain itu, aku memang ingin tahu tentangnya", jawabnya polos. "baiklah. Karena sekarang bunda libur, bagaimana kalau bunda cerita tentang ayah saja?", tanyaku.

Kulihat matanya berbinar. "benarkah? Baiklah, ayo", ajaknya lalu berdiri sambil membawa album fotonya dan menggandengku dengan tangannya yang lain. Kami duduk di ruang tamu. Aku menceritakan dari awal sampai terakhir aku bertemu dengannya.

Sesekali ia bertanya bagaimana sifat dan karakter Vin. Sembari mendengarkanku, ia membolak-balik album fotonya sambil mengangguk-ngangguk seakan mengerti. Menggemaskan sekali. Vin Zellez, please comeback. I beg you.

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Vin kemana siiiiihhh? kok ngilang. Vio jadi janda anak satu uu ;((

makasih buat dukungan sama komenan kalian gaess. it's helpful {}

-salam Allo-

Am I Right?Où les histoires vivent. Découvrez maintenant