9

22 2 0
                                    


VIN'S POV

"mom tadi bertemu dengan Audy sebelum sampai kemari. Tepatnya mom memintanya untuk menjemput kami di bandara", kata ibuku santai sambil menyesap teh nya. "what?!", teriakku spontan. Mom hanya melihatku bingung. "bagaimana bisa mom memintanya menjemputmu di bandara? Mom tau dia sudah menikah! Damn it! I like a bitchy man!", umpatku.

"hei! Lihat! Dengan siapa kamu bicara Vin!", katanya meninggi. "sorry. I don't mean that. Tapi mom harusnya tahu apa yang seharusnya mom lakukan dan yang tidak seharusnya dilakukan. Dia sudah menikah, begitu pula aku. Aku rasa ini bukan tindakan yang benar", jelasku menatapnya lekat.

"mom tahu. Tapi mom memang belum bisa melepaskannya. Dulu mom berpikir dia benar-benar wanita sempurna yang sangat pantas disandingkan denganmu. Ternyata takdir berkata lain", katanya. Matanya mulai berair. Ah, aku semakin merasa bersalah. "sudahlah. Kami memutuskan untuk berteman. Lagipula kami sudah sama-sama dewasa. Dan sebaiknya mom berhenti untuk menghubunginya", kataku sambil memeluk dan menepuk pelan punggungnya. "Vin! Kamu membuatnya menangis lagi", kata ayahku sambil menepuk punggungku cukup keras.

"Aww! Dad!", teriakku sambil mengelus punggungku yang terasa panas. "Diana, ayo kita jalan-jalan!", ajak ayahku sambil mengulurkan tangannya. Ibuku meraih tangannya dan mereka berjalan berdampingan kemudian keluar rumah. Kuakui, walaupun sudah cukup lama umur pernikahan mereka tapi mereka tetap romantis. Kuharap aku juga bisa seperti mereka.

"mau?", terdengar suara seseorang sambil menyodorkan segelas jus apel di hadapanku. Aku mendongak dan ternyata Vio. Memangnya siapa lagi. "thanks", kataku sambil mengambil gelas berisi jus itu. Kemudian ia duduk di sebelahku. "apa kamu masih mencintai Audy?", tanyanya yang sontak membuatku menoleh menatapnya. Wajahnya santai dan menatap lurus ke depan, tanpa melihatku.

AUTHOR'S POV

"apa kamu masih mencintai Audy?", tanya Vio ingin tahu. Sebenarnya Vio enggan membahasnya, tapi ego nya berkata lain. Vin yang tak menduga pertanyaan itu akan terlontar dari mulut Vio pun menoleh. "kenapa kamu menanyakannya?", tanya Vin balik. "aku cuman pengen tahu aja. Kalo iya, aku kayak perebut pacar orang nggak sih?", tanya Vio sambil menoleh menatap Vin. Vin menatapnya datar.

"waktu kemaren di restoran itu, aku ngobrol banyak sama Audy. First impression nya di aku sih bagus. Kayaknya dia cewek yang pinter, baik hati, tegas dan cantik tentunya. Aku mah nggak ada apa-apa nya kan", katanya sambil tersenyum kecut. "pantes sih, ibumu masih berharap sama Audy. Nggak salah juga. Pernikahan ini juga cuman perjanjian. Simbiosis mutualisme", sambung Vio.

"di perjanjian juga nggak ditulis sampe kapan pernikahan ini berjalan. Kalau semisal kamu ingin bercerai, aku nggak masalah kok...", belum selesai berbicara, mulut Vio sudah dibungkam dengan ciuman Vin yang cepat dan tak terkendali. Vin meletakkan gelasnya dan meletakkan gelas milik Vio juga ke atas meja. Vio yang kaget, menutup mulutnya rapat-rapat. Karena geram, Vin mengangkat tubuh Vio dan meletakkannya di pangkuan Vin.

Vin enggan melepaskan pagutannya sampai akhirnya Vio membuka mulutnya. Disana Vin tersenyum kecil dan menjelajahi isi mulut Vio. Vio menutup matanya dan melingkarkannya di leher Vin. Vio yang bingung harus melakukan apa hanya mengikuti alur yang dibuat Vin. Vin yang merasa mendapatkan lampu hijau, langsung merapatkan tubuh Vio dan mereka sudah melekat secara sempurna sekarang.

Setelah beberapa lama, Vin melepaskan pagutannya. Vio yang sedikit terengah, mencoba mencari oksigen sebanyak-banyaknya. Vin menatap Vio dengan tatapan hangatnya. "berhenti menatapku", kata Vio sambil memeluk Vin. Vio merasakan degup jantungnya tak beraturan dan begitu pula Vin. "i like your smell", kata Vin mengeratkan pelukannya.

Am I Right?Where stories live. Discover now