47 - Gift

2.1K 69 0
                                    

Awas, typo dan cerita semakin nggak nyambung.

***

Nika mempercepat langkahnya ketika sampai di rumah sakit tujuannya, tadi Kinar memberi tahu dimana kamar inap Devan tapi Nika malah bertanya kepihak resepsionis. Dia benar tidak sabaran untuk  segera menemui Devan, cowok yang membuatnya kalut-marut dua bulan ini. Cowok yang membuatnya kecewa juga sedih. Tapi Nika sadar, dia mulai menyayangi Devan. Dia ingin Devan berada disampingnya, bersamanya sampai nanti.

Ruang mawar, nomor 45 C. Nika telah berdiri didepan pintu kamar tersebut. Ia memejamkan kedua matanya, menarik napasnya dalam-dalam. Jantungnya sudah berdegup begitu kencangnya, deru napasnya tak karuan. Tangan kanannya sudah memegang daun pintu, tinggal dia menguatkan hatinya untuk membukanya. Kinar berdiri beberapa meter dibelakang Nika, sama seperti Nika, jantung Kinar juga berdegup kencang. Entahlah, seperti hendak melakukan interview.

Klek.

Nika menggerakkan daun pintu kebawah, lalu mendorongnya pelan hingga pintu itu terbuka.

Ketika pintu sudah terbuka lebar, Nika dapat melihat seseorang yang berdiri ditepi brankar. Dengan Devan yang duduk diatas brankar dengan bersandar.

Hening, Nika masih mengontrol napas dan detak jantungnya. Cowok yang selama ini selalu dia pikirkan tengah duduk diatas ranjang rumah sakit, dengan beberapa alat kedokteran yang menempel ditubuhnya. Nika tidak bisa membayangkan bagaimana sakitnya alat-alat itu menempel ditubuh Devan?

Perlahan, Nika melangkahkan kakinya menghampiri Devan yang menatapnya dengan terkejut. Satu hal yang dapat Devan ketahui, Nika---gadis kesayangannya---sedang menangis. Namun menatapnya dengan tersenyum.

"Devan?" Suara Nika sangat lirih, nyaris seperti bisikan. Ia sudah berdiri disamping brankar yang diduduki Devan.

***

[Devan's POV]

Aku membuka kedua mataku lebar-lebar, aku melihat sesuatu berwarna putih. Bau obat-obatan dan sebuah alat yang berbunyi disamping kananku. Tidak salah lagi, ini rumah sakit. Sudah dua bulan aku berada di tempat ini. Tidak ada yang berubah dalam diriku, bahkan masih sama. Kepalaku masih sakit, terkadang aku juga mimisan. Entahlah, aku mencoba untuk menguatkan diriku.

Kudengar suara langkah kaki mendekatiku, dia Arga. Sepupuku yang berhati malaikat. Hanya dia yang bisa membantuku, hanya dia yang selalu bisa kuandalkan.

"Udah sadar?" Tanyanya kepadaku. Keadaanku masih lemah, tapi aku masih mampu untuk menggerakkan tubuhku atau berbicara hanya sekedar menjawab pertanyaan Arga yang menurutku sama sekali tidak bermutu. Bahkan tidak kujawabpun dia pasti sudah tahu apa jawabannya.

Shit. Aku jadi kesal sendiri.

Aku menggerakkan tubuhku, ingin duduk karena sudah terlalu lelah dengan posisiku yang terbaring seperti ini. Arga membantuku, menaikkan sedikit bagian atas brankar untuk tempatku bersandar.

"Gimana perasaan lo?"

Ck, gaya bicaranya membuatku berdecak sebal. Tidak bisakah dia lembut sedikit? Dia selalu saja seperti ini. Kuakui dia benar-benar perhatian kepadaku, tapi nadanya seperti menantangku untuk berkelahi.

"Masih sama, tapi agak mendingan." Jawabku.

"Mau gue panggilkan dokter?" Tawarnya.

Aku menggeleng, "Nggak perlu Ga. Udah sedikit baikan kok gue."

Hening, kulihat Arga hanya mengangguk sekilas.

"Gimana dengan Nika?" Tanyaku memecahkan keheningan.

"Ck, kondisi kayal gini masih tanyain pacar." Cibirnya.

"Kenapa? Pacar-pacar gue, kalo lo iri noh sana tembak si Kinar. Kayaknya dia nungguin lo deh, lo sih di kodein tetep aja nggak peka-peka."

Aku puas mengatainya, melihatnya dengan wajah kesal dan cemberut membuat kesenangan tersendiri untukku.

"Bacot lo, ya!" Ujarnya dengan nada mengancam.

Aku hanya tertawa, ini yang kusuka dari Arga. Meskipun dia dingin dan cuek, tapi dia memiliki sisi humoris.

Kegiatanku terhenti ketika seseorang membuka pintu kamar inapku, seketika aku membeliak lebar. Terkejut bukan main melihatnya ada disini. Dia berdiri diambang pintu, masih mengenakan seragam SMA-nya.

Kulihat dia menatapku dengan tegang? Apa yang terjadi? Apakah Kinar memberitahunya jika aku berada disini?

Dia mendekat kearahku dengan langkah pelan, menatapku dengan sendu dan dia menangis. Namun tersenyum kearahku.
Aku masih terkejut, entahlah aku takut jika dia tiba-tiba membenciku dengan keadaanku yang seperti ini.

"Devan?" Suaranya terdengar lirih, nyaris seperti bisikan. Dia sudah berdiri disampingku. Aku menelan salivaku susah payah, apa yang dia lakukan disini?

"Van, ini aku, Nika."

Ya, aku tahu jika dia adalah Nika. Tapi yang ingin kuketahui mengapa dia bisa berada disini?

"Tega ya, kamu. Sembunyi dariku selama dua bulan. Kamu pikir aku ini siapa kamu? Kamu udah buat aku kecewa, marah dan nyaris aja benci kamu. Tapi kamu enak-enakan duduk disini?"

Okey, kuakui dia terlihat memainkan drama. Tapi entahlah, aku merasa dia tidak akan marah.

"Aku udah tepatin janji aku, datang kesini buat kasih hadiah aku ke kamu."

Dia membuka tas sekolahnya, mengeluarkan sebuah amplop putih dari sana. Yang tidak kuketahui apa isinya? Dengan cepat dia membuaka amplop tersebut, mengambil sebuah lipatan kertas. Dan membuka lipatan kertas itu, lantas dia menyodorkannya kearahku.

"Ini, ini hadiah buat kamu. Van, aku udah kasih ini. Dan hasilnya adalah seperti yang kamu minta. Walau aku nggak bisa dapat kayak kamu. Karna otakku pas-pasan."

Aku menatap kertas itu, yang ternyata adalah nilai dari hasil Ujian Nasionalnya. Dengan nem yang lumayan bagus.

Kulihat dia tersenyum kearahku, walau dengan air matanya yang mengalir.

"Gimana perasaan kamu? Kamu bakalan marah sama aku? Atau bilang terimakasih?" Desaknya.

"Makasih Nik, kamu udah mau kasih hadiah ini buat aku. Setelahnya aku saranin kamu bakalan kuliah di tempat aku ya," kataku kemudian.

"Tapi di Australia, karna aku dapat beasiswa kesana," sahutku cepat sebelum dia mengatakan sesuatu.

Memberinya motivasi tidak apa bukan? Lagian aku hanya ingin dia menjadi orang sukses, tidak sepertiku yang sakit-sakitan.

"Kok disana? Aku nggak sepandai kamu, Van--"

"Kamu pandai, Nika."

Hening, kulihat dia menatapku dengan bingung.

"Tapi kamu beneran kesana?"

Aku hanya tersenyum menanggapi pertanyaannya.

Tidak, Nik. Aku nggak akan pernah kesana, karna tujuanku nyuruh kamu kesana agar kamu nggak akan pernah tau tentang penyakit aku.

Tidak mungkin aku mengatakannya secara langsung, aku tidak mau dia menolaknya. Lagi pula sudah kukatakan sebelumnya kepada Lena, agar cewek itu juga mau membujuk Nika untuk kesana.

"Gue bingung Van, gue nggak mungkin ngelanjutin disana?" Katanya dengan nada pasrah.

Aku tersenyum.

"Kamu bisa, nggak ada yang nggak mungkin. Katanya kamu mau kuliah kayak aku?" Pancingku, semoga dia mau dengan bujukanku.

Perlahan kulihat dia mengangguk walaupun dengan berat hati.

Maaf Nik, aku bohong sama kamu.

To be continue

Just A Dream [Completed]Where stories live. Discover now