19 - Kemenangan Menimbulkan Luka

1.5K 66 1
                                    

Devan melihat kesekelilingnya, pertandingan bulu tangkis kali ini benar-benar menguras tenaganya. Senyumnya mengembang, kala dia menyadari jika kemenangan diraih oleh tim Devan, dari SMA Dharma. Tatapannya tiba-tiba tertuju pada Rio yang rupanya cowok itu mengepalkan kedua tangannya disisi tubuhnya, rahangnya mengatup rapat, napasnya memburu, tatapannya tajam kearah Devan.
Sementara Devan tersenyum penuh kemenangan. Ancaman dari Rio tidak berarti apa-apa padanya, toh dia juga memenangkan pertandingan bulu tangkis saat ini. Dilihatnya Rio yang meninggalkan tempat dengan perasaan berkecamuk, antara marah, dendam dan malu. Campur menjadi satu. Disisi lain, anak-anak cowok sekelas Devan segera berhambur ketengah lapangan, menghampiri Devan yang masih berdiri disana. Tanpa dikomando, anak-anak sekelasnya dengan serentak mengangkat tubuh Devan, membuktikan kepada semua orang bahwa mereka bangga pada Devan. Juga menunjukkan Devan, adalah bintang sekolah yang mampu memborong piala kejuaraan. Piala itu juga diangkat tinggi-tinggi oleh Devan. Tawa, haru menjadi satu. Membuat riuhnya tempat itu. Momen yang mungkin tidak akan pernah didapatkan lagi dalam waktu singkat. Sementara para penonton dari sekolah lain masih tetap menyaksikan adegan tersebut, membuat semuanya terkekeh, ada yang sampai menggelengkan kepala. Ada juga yang membenci adegan tersebut, hanya orang syirik yang mampu melakukannya.

Nika tersenyum, menatap Devan yang membuat seluruh sekolahan bangga adalah salah satu bahagianya. Devan dengan caranya sendiri mampu membuat diri Nika terasa hidup. Tanpa berpikir panjang, Nika mengeluarkan ponselnya dari saku bajunya. Hendak memotret momen yang menurutnya paling terkesan. Masih dengan anak-anak sekelas Devan yang mengangkat tubuh Devan, dengan Devan yang memegang piala kejuaraan. Nika berhasil membidikkan kameranya, memotretnya hingga berhasil menampilkan sosok Devan yang tengan tersenyum bahagia. Tanpa terasa, senyum Nika semakin lebar. Air matanya jatuh seketika, dia sudah berhasil. Dia menang.

Disisi lain, Lena menatap Devan dengan tersenyum penuh kebanggaan. Senyum yang selama ini dia tujukan pada Devan, tidak ada yang bisa melihat senyumnya yang tulus itu. Senyum Lena berubah menjadi senyuman pahit, miris. Ketika menyadari sesuatu. Kenangan itu lagi, berputar diotaknya menjadi sebuah memori.

"Devan, gue bangga sama lo, akhirnya impian lo tercapai juga. Astaga!" histeris Lena, ketika dia sudah berada dihadapan Devan yang memegang sebuah piala kejuaraan bulutangkis, Devan sendiri masih mengenakan seragam sekolah SMP mereka.

Devan tersenyum lebar, "Semoga gue bisa wakilin Indonesia, ya, Len."

"Pasti, gue do'ain. Kalau lo berlatih terus, lo pasti bisa raih mimpi lo. Gue dukung lo, Van,"

Sekelabat kenangan kembali menyeruak, Lena tersenyum getir. Tangan kanannya menghapus air mata yang sudah mengalir membasahi pipinya.

Gue bangga sama, lo, Van. Gue bakalan do'ain lo yang terbaik. Semoga mimpi lo bisa diraih. Batin Lena, setelahnya dia tersenyum lebar. Sembari menatap Devan, dengan puas. Mungkin ini yang terakhir kalinya dia benar-benar mengagumi Devan yang menjadi juara bulu tangkis. Setelahnya, Lena meninggalkan lapangan itu.

Sekelebat Devan melihat sosok Lena sekilas, cowok itu kehilangan sosok Lena saat anak-anak sekelasnya menurunkannya.

Lena? Pikir Devan.
Enggak, pasti cuma ilusi.

***

Devan melangkahkan kakinya menuju kedalam kamarnya, tangan kanannya menenteng tas sekolahnya sementara tangannya yang lain sudah hendak memutar daun pintu. Namun suara bariton ayahnya membuatnya urung melakukannya.

"Masih pakai seragam sekolah, dari mana saja kamu? Mau jadi berandalan?" papanya itu, selalu saja menerka hal yang tidak-tidak untuknya. Devan hanya menghela napasnya dengan jengah, ia juga lelah menghadapi sikap papanya yang selalu mengekang dirinya. Sungguh, hidup dalam kekangan papanya yang otoriter membuat Devan merasa terbebani. Tidak bisa bebas seperti anak-anak remaja lainnya.

"Ada tugas sekolah, pa," jawab Devan lirih, ia tidak berani menatap kedua mata papanya. Hanya inilah kelemahannya.

"Tugas sekolah? Tapi ini sudah pukul delapan malam, apa segitu banyaknya tugas sekolah kamu?" Aldo meninggikan sebelah alisnya.

"Papa tenang aja, aku enggak akan jadi anak berandalan seperti yang papa pikirkan."

"Ikut papa!" Aldo menyeret lengan Devan, cowok itu hanya menurut patuh. Setiap kali dia melawan, pasti papanya itu akan memberinya hukuman.
Devan menaruh tas sekolahnya didepan kamarnya, lalu menuruti apa yang dikatakan ayahnya.
Aldo membawa Devan kehalaman belakang rumahnya, tangan kanan pria paruh baya itu sudah memegang galah yang panjangnya dua meter. Tanpa pikir panjang, Aldo memukulkan galah tersebut tepat dipunggung Devan. Cowok itu meringis, rasa sakit menjalar diseluruh tubuhnya. Terasa ngilu.

Tidak satu atau dua kali, tapi berkali-kali. Berkali-kali juga cowok itu melindungi dirinya, rasa sakitnya semakin menjadi. Jika bukan karena suara Arga, papanya itu tidak akan menghentikan kegiatannya.

"Om hentikan, cukup, om!" suara Arga terdengar memerintah, cowok itu menatap garang kearah Aldo. Dengan cepat, ia menghampiri Devan yang tersungkur ditanah. Devan terlihat meringis, kesakitan. Tangannya juga sudah membiru akibat pukulan dari papanya.

Arga membantu Devan berdiri, sebelum dia membawa Devan kekamar cowok itu, Arga menatap tajam kearah Aldo.

"Devan anak om, enggak seharusnya om memperlakukan Devan dengan cara enggak manusiawi. Devan masih kecil, dia juga enggak pernah minta yang lebih dari om, kan?" kata Arga panjang lebar.

"Tahu apa, kamu? Kamu sama saja kayak nenek kamu, sok tahu!" Aldo menyahut, tidak terima.

"Aku emang seharusnya enggak ikut campur dan enggak sok tahu, tapi Devan juga cucu nenek, dia sepupu aku. Udah kewajibanku buat lindungin Devan," Arga masih mau mejawab ucapan Aldo, sementara kedua tangannya menahan berat badan Devan yang mungkin sudah terlihat oleng.

"Anak kayak gini kamu belain? Bahkan saya yang papanya saja sudah tidak tahan dengan kelakuan dia, lebih baik saya tinggal bersama kakaknya dari pada bersama dia!" kecam Aldo, nadanya sudah terdengar keras. Katanya mampu membuat hati Devan merasa tertohok, sakit.

Arga menatap kedua mata Aldo bersungut-sungut, cowok itu seperti menyimpan dendam pada pria paruh baya dihadapannya saat ini. Pria yang juga termasuk adik kandung dari ibunya.

"Arga akan ajak Devan pergi dari rumah ini, jangan harap om bisa menemuinya," ujar Arga penuh emosi.

"Dia anak saya, kamu tidak berhak membawanya pergi."

"Justru Devan yang selalu om perilakukan tidak baik, bahkan masih menjadi anak om. Arga bakal tetep bawa Devan pergi dari rumah ini," sahut Arga tegas. "Dev, gue enggak mau dengar penolakan dari lo, gue mau lo ikut gue!" Arga mengatakannya dengan nada tegas untuk Devan.

Devan menggeleng lemah. "Papa bener, ini rumah gue, gue enggak akan pergi dari rumah ini."

"Hidup lo. Udah. Enggak dianggep!" Arga frustasi, nadanya terdengar tinggi dan penuh penekanan. "Ikut gue, atau lo tetap disini tapi gue bakalan larang lo buat temuin nenek?" ancam Arga.

Devan lemah, dia tidak punya pilihan lain. Toh, Arga melakukan semua ini demi kebaikannya. Dan Devan akhirnya mengangguk pasrah, menuruti kemauan Arga. Hingga Arga berhasil membantunya keluar dari rumah itu.

To be continue

Just A Dream [Completed]Where stories live. Discover now