24 - Meet Her Again

1.7K 70 0
                                    

“Jadi, lo resmi pacaran sama Nika, ya?” tanya Daniel setelah menghentikan jemarinya yang memetik gitar milik Daren. Cowok itu lalu menatap serius kearah Devan yang masih sibuk memainkan sebuah game didalam poselnya.

“Hm,”jawab Devan tanpa mengalihkan tatapannya pada ponselnya.

“Udah berapa hari?” Daniel kembali bertanya.

“Jalan dua minggu,” Devan masih menjawab dengan singkat, tidak ingin mengalihkan pandangan untu sekedar menatap dua sahabatnya itu.

“Asem!” geram Devan tiba-tiba, setelah menyadari sebuah guling mendarat tepat diwajahnya. Dengan tatapan tajam dan geram, Devan menjauhkan guling milik Daren.

“Lo sih, diajak ngobrol malah main hape. Kesel gue,” ujar Daren kemudian, tanpa menghiraukan wajah Devan yang bersungut-sungut hendak mengamuk itu.

“Temen macam apa lo, badak?” seru Devan kesal, ia sudah beranjak dari duduknya. Ponsel yang sedari tadi dia genggam kini sudah tergeletak diatas sofa kamar Daren. Cowok itu berjalan mendekati Daren yang tengah duduk bersila diatas tempat tidurnya. Tanpa dia sadari, Devan membekap wajah Daren dengan guling yang sempat dia gunakan melempar wajah Devan.

“Lepasin gue, curut!” teriak Daren dari balik guling tersebut, kakinya sibuk ingin menendang Devan, sementara kedua tangannya masih ingin memaksa guling tersebut untuk jauh dari wajahnya.

“Anjir, lo mau bunuh gue, nyet?” maki Daren setelah Devan menjauhkan guling tersebut dari wajahnya.

Devan meringis, “Ya enggak sih. Karena lo nyebelin, jadinya gue emang mau bunuh lo.”

“Asem,” umpat Daren tidak terima dengan apa yang dilakukan Devan tadi.

“Terus, kenapa enggak kasih tahu ke-gue sama Daren?” suara Daniel mengalihkan pembicaraan, menginterupsi agar Devan dan Daren tidak lagi ribut.
Devan mengedikkan kedua bahunya acuh.

“Enggak sempet,” ucapnya dengan berjalan menuju jendela kamar Daren. Lantas duduk ditas kusen jendela, menatap kearah luar.

“Katanya, lo mau kenalin kita keseseorang?” tanya Daniel lagi.

“Gue enggak tahu, masalahnya gue jadi apa enggak mau mutusin Nika? Gue kayaknya enggak tega, deh,” kata Devan jujur.

“Ck, itu kan cuma taruhan. Lo bilang aja kedia,” jawab Daniel enteng.

Tak! Satu jitakan mendarat mulus dikening Daniel, cowok itu mengusap pelan keningnya.

“Sakit, nyet!” adunya kesal.

“Lagian lo, sih, pake acara suruh Devan bilang kedia,” cibir Daren.

“Lah terus, mana kata gue yang salah?”

“Lo bego apa gimana, sih? Kalo lo bilang ke Nika, otomatis Devan bisa dibenci sama Nika.”

“Kalo cinta enggak bakalan benci, kali.”

“Badak, gue masukin lo ke empang lama-lama. Sebel gue sama lo!” Daren kembali menjitak kening Daniel.

“Oke, gue masih anggep ini taruhan. Keputusan gue, adalah gue bakalan mutusin dia,” ujar Devan kemudian.

“Kalo lo enggak anggep ini taruhan, kita bisa anggep lo menang, Van. Gue enggak mau lo yang kenapa-napa nantinya,” sahut Daniel cepat.

“Dih, tau apa lo?” Daren mencibir.

“Gue bakalan mutusin dia, karena gue masih sayang sama cewek lain. Dan itu bukan Nika,”

“Serah lo, inget kata gue! Lo bakalan nyesel karena udah manfaatin Nika, dia cewek baik-baik. Dan lo, Ren, lo sebaiknya enggak usah ikutan beginian. Kalo bisa lu bujuk Devan buat enggak mutusin tuh cewek,” ucap Daniel panjang lebar.

“Lo kenapa, sih? Pertama kali juga ini udah kesepakatannya, Devan deketin Nika tuh cuma buat taruhan aja,” protes Daren.

“Bacot, mending lo ikutin aja ucapan gue. Jangan pernah mutusin Nika, kalo lo benar-benar pengin mutusin dia, cari cara yang bermutu. Enggak pasaran kaya gini, lagian cewek kayak Nika emang enggak pantes buat lo, Van,” kata Daniel menahan emosi, kemudian dia pergi meninggalkan dua sahabatnya yang masih diam didalam kamar Daren.

“Tuh anak kenapa, sih?” tanya Daren bingung dengan ulah Daniel yang tiba-tiba sok menggurui.
Devan hanya mengedikkan kedua bahunya.

***

Cowok itu memasukkan kedua tangannya disaku celana abu-abunya, berdiri didepan pagar rumah Nika. Menunggu munculnya gadis yang dinantinya itu. Niatnya memang untuk menjemput gadis itu, sudah dua hari dia tidak bertemu dengannya. Entah, ia sendiri juga bingung. Ini perasaan senang karena dia bisa memanfaatkan gadis itu, atau dia senang ketika berada didekat Nika. Jantungnya memang sudah tidak normal lagi ketika Nika berada dekat dengannya, ada rasa aneh. Dan dia belum menyadari sesuatu itu.

Krek, pagar rumah Nika terbuka. Menampakkan sosok yang ditunggunya sedari tadi. Senyum Devan mengembang, lebar sekali. Manis. Nika mengerutkan keningnya, heran. Kala menyadari Devan yang sudah berada didepannya itu.

"Kak Devan, kok enggak masuk?" tanya Nika, sembari menutup kembali pagar rumahnya.

Devan masih tersenyum, arah pandangnya lurus menatap wajah Nika yang selalu segar ketika pagi hari. Tanpa Devan sadari, perilakunya membuat Nika gugup. Tatapan Devan yang jelas mengintimidasi mampu membuat jantung Nika berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya. Gadis itu menunduk, ia sudah merasakan kedua pipinya yang memanas.
Devan tersenyum jahil, ketika dia dapat melihat kedua pipi Nika yang sudah bersemu merah. Gadis itu blushing walau hanya Devan tatapan seperti itu. Apalagi ketika Devan mengeluarkan jurus gombalan mautnya?

"Kita berangkat sekarang?" pertanyaan Devan mampu membuat Nika mendongak, menatap cowok yang lebih tinggi darinya.
"Aku jemput kamu, mau ajak kamu berangkat bareng. Mau kan?" Devan kembali bersuara karena Nika yang tidak kunjung bersuara.

Nika mengangguk.

Belum sempat mereka meninggalkan rumah Nika, seorang cewek membuka pagar rumah Nika dengan gerakan terburu-buru.
Ketika hendak berbalik, cewek itu menghentikan langkahnya. Terkejut untuk yang kesekian kalinya. Tidak jauh berbeda darinya, cowok itu juga terkejut.

Hening cukup lama, dua manik mata Devan dan Illena bertemu.

"Ehm, kak, bisa berangkat? Entar telat, loh," Nika menengahi, memutuskan kontak mata antara Devan dan Illena.

Devan menatap Nika, lalu tersenyum manis dihadapannya. "Ya udah, gih naik," katanya. Nika mengangguk, lantas menaiki motor ninja Devan.

Derum motor Devan terdengar, cowok itu segera melajukan motornya. Meninggalkan sesak dalam hati, memedamnya tak ingin orang lain mengetahuinya. Devan menatap Illena dari kaca spion--cewek itu masih berdiri di tempat. Sekelebat rasa bersalah dan rindu muncul dalam benaknya. Tanpa Devan sadari, air mata Illena luruh. Menetes untuk yang kesekian kalinya.

To be continue

Just A Dream [Completed]Where stories live. Discover now