38 - Sedikit Masa Lalu

2.4K 80 0
                                    

Devan membuka pintu rumahnya, ada seorang gadis dengan celana jeans putih panjang. Dengan jaket berwarna merah yang membalut tubuh mungilnya. Devan tersenyum, dan dibalas senyuman oleh gadis itu.

"Masuk, Len," pinta Devan menyuruh tamunya untuk masuk.

"Kita ngobrolnya diluar sini aja, nggak enak ini udah gelap," ujar Lena lugu.

Devan tersenyum lantas mengangguk untuk meng-iyakan ajakan Lena, bisa-bisanya dia menghilangkan rasa sayangnya dari Lena. Padahal jelas-jelas cewek itu begitu lugu dan sopan.

"Oke deh, duduk disini aja." Devan mengajak Lena untuk duduk dikursi yang telah disediakan diberanda rumah Devan.

"Mau minum apa?" tawar Devan lagi.

"Oh, jadi rumah kamu udah berubah jadi kafe ya?" Lena mengatakan dengan nada sarkastik.

Devan meringis. "Hehe, nggak lah. Masa nawarin tamu minum dikira berubah jadi kafe nih rumah."

"Iya, becanda kali." Lena menghentikan kekehannya.

Devan duduk dihadapan Lena, dengan meja yang menjadi penghalang mereka.

"Oh ya Van, aku mau tanya boleh?" Lena memulai.

Devan terkekeh. "Ya udah gih tanya aja, kenapa musti izin?"

"Kenapa Nika bisa sampai tau kalau kamu cuma taruhan waktu deketin dia?" tanya Lena to the point.

Devan diam, dua puluh detik kemudian dia menceritakan apa yang terjadi sebelumnya. Yang terjadi antara dia dan Arga juga.

"Aku nggak tau kalau Nika beneran tau semuanya," kata Devan setelah mengakhiri cerita panjangnya.

"Em--"

"Gimana caranya agar aku dimaafin sama Nika?" Devan memotong kalimat Lena yang memang cewek itu  belum sempat mengatakannya.

"Usaha lah, tapi aku nggak bisa bantu Van. Soalnya kamu tau sendiri aku sama Nika nggak akrab gitu," jawab Lena kemudian.

Hening.

"Sebenarnya aku marah lo sama kamu, pas tau Nika cuma jadi bahan taruhan kamu sama temen kamu itu," lanjut Lena setelah lama terdiam.

Devan hanya meringis. "Aku baru ingat kalau Nika itu adik kamu."

"Yah walaupun tiri."

"Kamu ada saran gak? Aku sampe pusing mikirin gimana caranya biar Nika maafin aku."

"Pusing? Pusing kamu kambuh lagi Van?" tanya Lena mengalihkan pembicaraan.

"Iya, dikit sih."

"Udah minum obat?"

"Udah,  barusan."

Hening lagi.

"Oh ya Van, kok rumah kamu sepi banget ya? Padahal masih jam enam. Mama kamu kemana?"
Pertanyaan Lena membuat Devan terdiam.

"Van, ada masalah?" Lena memicing kearah Devan.

"Em, nggak ada. Aku emang di rumah sendirian."

"Cerita aja ke aku, aku ini sahabat kamu kan?"

Devan diam. Sahabat? Sejak kapan?

"Em, sebenernya aku masih nggak ngerti aja kenapa kamu bisa ada di Jakarta?" tanya Lena lagi.

"Karna kamu yang tanya, aku bakalan cerita. Jadi, setelah lulus SMP mama bawa aku ke Jakarta. Ke rumah ini, dan saat itu juga aku sadar kalau aku punya saudara kembar.
Dia seumuran sama aku, dan nggak tau kenapa aku tinggal sama papa. Dan mama ajak kembaran aku pindah. Aku cuma tinggal sama papa disini."

"Van aku nggak maksud ingatin kamu tentang masa lalu kamu. Aku minta maaf." Lena menunduk.

Devan beranjak dari duduknya, menghampiri Lena yang masih merasa bersalah. Cowok itu duduk disebelah Lena.

"Nggak pa-pa, udah biasa." kata Devan lembut. Lena mendongak, dilihatnya senyum Devan yang lebar itu. Kemudian Devan mengacak rambut Lena, hingga cewek itu kesal sendiri.

"Devan," geramnya sambil mendelik. Devan terkekeh.

Lena memukuli tubuh Devan itu, tawa mereka terdengar bahagia. Tanpa mereka sadari, ada wanita yang menatap mereka dari kejauhan.

***

Nika mengernyit ketika melihat setangkai mawar putih dan sehelai kertas putih yang dilipat. Cewek itu segera mengambilnya, masih dengan kening berkerut yang kentara. Sejenak Nika terdiam, menyadari bahwa mawar putih itu adalah bunga kesukaannya. Nika mengulas sebuah senyuman tipis dibibirnya. Tipis sekali, nyaris tak terlihat. Lalu Nika menatap sehelai kertas yang berada ditangan kirinya, tanpa pikir panjang dia membuka benda itu dan membaca tulisan yang tersusun rapi diatas kertas.

Dear Nika,
Sudahkah kamu melupakan 'kita'?
Aku rasa belum, Nik.
Karena aku tau, setidaknya setelah kamu melupakan semuanya pasti tak ada rasa galau didiri kamu.
Aku justru lebih tau banyak tentang kamu, sejujurnya aku masih memperhatikan kamu.

Bingung, itu yang dirasakan Nika saat ini. Entahlah dia sedikit tidak mengerti tentang apa yang tertulis dalam surat itu. Nika kembali melipat kertas itu seperti sebelumnya. Lalu menaruhnya kembali didalam loker miliknya, bersama dengan mawar putih yang sempat membuatnya tersenyum tipis.

To be continue

Just A Dream [Completed]Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt