27 - Terluka Lagi

2.3K 102 0
                                    

Devan tersenyum manis menatap Nika yang berdiri disampingnya, sore itu Devan sengaja mengajak Nika untuk pergi ke pantai. Tempat dimana Devan menyatakan perasaannya kepada Nika waktu itu. Ini sungguh membuat Nika bahagia, entahlah Devan tidak terlalu tahu penyebab cewek itu bahagia seperti ini. Tapi yang jelas, dia ingin mengatakan sesuatu kepada Nika.

“Nik,” sapanya ragu.
Nika hanya menggumam, jejeran gigi putihnya terlihat rapi kala dia tersenyum lebar, pandangannya menatap kearah laut lepas yang hampir menunjukkan semburat jingga diujung sana. Mungkin tidak lama lagi, matahari akan terbenam.

“Em, aku mau ngomong sama kamu,” Devan menggaruk bagian belakang telinganya. Jantungnya terasa berdetak kencang ketika dia hanya mengatakan kalimat itu. Reaksi Nika malah membuatnya bimbang.

“Ngomong aja, biasanya kamu juga langsung ngomong,” Nika masih tidak melepaskan arah pandangannya dari laut sana.

Devan tersenyum canggung, walaupun Nika tidak menatap dirinya.

“Yah, sebenarnya sori ya. Mungkin ucapan gue nanti buat lo sakit hati,” Devan memulai, ucapannya membuat kepala Nika memutar sembilan puluh derajat kearahnya. Cewek itu menatap Devan dengan tatapan yang entah itu terkejut atau bingung?

Nika tersadar, cara bicara Devan tidak lagi seperti biasa. Cowok itu sudah memanggil ‘gue’ bukan aku. Dan apakah hal itu menandakan Devan akan meninggalkannya? Nika berhipotesa, mungkin saja Devan lupa menggunakan kata itu. Nika harus berpikir positif untuk saat ini.

“Apa? Kok bicaranya gitu?” Nika memberanikan diri untuk bertanya, agar Devan segera mengatakan apa yang hendak cowok itu katakan.
Devan berdehem pelan, menunduk untuk membenarkan posisinya. Agar dia juga merasakan kenyamanan saat berbicara nanti.

“Nik, em—gimana, ya ngomongnya?” Devan mengagruk pelipis kirinya, dia terlihat berpikir untuk merangkai kalimat agar nanti sewaktu ia katakan enak didengar.

Kening Nika berkerut. “Kayak hal penting aja, ya?” cibirnya halus.
Devan hanya menunjukkan jejeran gigi putihnya.

“Maaf,” lirih Devan kemudian, yang bisa didengar Nika seperti bisikan. Tatapan Devan lurus-lurus kemanik mata hazel milik Nika.

“Maaf buat apa?” tanya Nika yang tidak mengerti dengan kata yang baru saja diucapkan Devan. Perasaannya Devan tidak melakukan kesalahan apapun, lantas mengapa cowok itu meminta maaf kepadanya?

“Semua, yang akan aku lakuin kekamu,”
Nika menatap datar kearah Devan, tatapan yang jelas membuat Devan merasa bersalah. Haruskah dia melakukannya? Haruskah dia mengatakannya? Apakah dia mampu membuat Nika terpuruk karena ucapannya nanti? Tapi ya, Devan harus mengatakannya. Dia tidak ingin gadisnya—yang selama ini dia nantikan—harus menderita karena kedekatannya dengan Nika, yang memang belum lama ini berada disampingnya.

“Emangnya apa yang akan kakak lakuin keaku?” suara Nika nyaris terdengar bergetar, jika Devan mendengarnya dengan saksama, suara Nika akan benar-benar terdengar menahan tangis dan rasa kecewa.

Devan memejamkan kedua matanya, menarik napasnya dalam-dalam lalu dia hembuskan perlahan melalui hidung. Kedua matanya kembali menatap kearah Nika yang sedang berdiri tegak dihadapannya. Tinggi cewek itu hampir menyamainya. Hanya sebatas hidung Devan.

“Aku pernah bilang kekamu, kalau aku punya masa lalu. Yang sering aku ajak ke padang rumput, yang pernah kita kunjungi kesana dulu,” Devan menerawang. “Dia masih ada dihatiku, Nik, dia udah kembali kekehidupan aku. Dan aku masih sayang sama dia,” lanjut Devan sambil menoleh kearah Nika.

Tatapan Nika sudah tidak tertuju kearah Devan lagi, cewek itu menatap hamparan laut didepannya yang luas itu. Rasanya sakit, benar-benar sakit. Seketika dirinya merasa pada posisi yang sama, lima tahun yang lalu. Dimana seseorang ingin menyudahi hubungan ini, karena alasan yang tidak jelas. Dan sekarang, dia meraskan hal itu lagi—dejavu.
God, dia ingin bahagia. Ingin melupakan kepingan masa lalu yang begitu menyakiti hatinya. Tapi mengapa hal itu terulang lagi? Mampukah dia bertahan kali ini? Mampukah dia menjalani semuanya seperti sebelumnya? Dan mampukah dia melupakan kepahitan ini? Nika menghela napasnya dengan perlahan, beban yang sementara hilang dalam dirinya itu rasanya kembali memenuhi otak dan pikirannya. Berkali-kali dia menarik napasnya agar dia diberi kesabaran yang luar biasa, agar ia tidak dengan mudahnya meneteskan air mata. Namun itu gagal, pertahannya luruh begitu saja. Dadanya terasa sesak, tenggorokannya tercekat. Dia tidak mampu menahannya, jadilah, air mata itu luruh begitu saja. Mengalir deras melewati kedua pipinya. Buru-buru Nika menghapusnya, sebelum Devan menyadari hal itu.

Devan berbalik, menatap Nika dengan sendu. “Sori, Nik, gue sebenarnya ngerasa bersalah. Tapi kalau ini diterusin, gue enggak tahu ini bakalan gimana? Jadi—“

“Kita udahan aja,” sahut Nika cepat sebelum Devan melanjutkan kalimatnya. Membuat cowok itu membuka sedikit mulutnya. “Sampai disini aja, Van, juga udah tahu semuanya. Lagian lo emang benar, kalau ini sampai diterusin, gue juga enggak tahu bakalan kayak gimana nanti?” sambungnya, dia berbohong. Sebenarnya Nika tidak mengetahui apapun.

Devan tersadar dari lamunannya. “Sori,” ucapnya.

Nika tersenyum, tersenyum kecut lebih tepatnya. “Udah berkali-kali lo bilang maaf, sampai bosen kuping gue dengernya.”

“Lo enggak marah?” tanya Devan kemudian.

Marah, bego! Pacar mana yang enggak marah pas denger cowoknya lebih sayang cewek lain? batin Nika menggema, memaki-maki Devan. Cowok itu bodoh atau bagaimana?

“Oh ya, siapa cewek itu?” tanya Nika mengalihkan pembicaraan.

“Oh, dia Lena,” jawab Devan dengan entengnya.

“Jadi, kalian terpisah?” tanya Nika lagi.

“Ya, Nik, sebenarnya gue udah ketemu sama dia sebelum kita jadian.”

“Oke, jangan pernah lo nyakitin dia, lo harusnya sadar kalau lo deket dengan cewek lain waktu status kalian masih pacaran atau kalian masih saling sayang pasti salah satu dari kalian bakalan ada yang kecewa.” Nika menepuk pelan bahu Devan, memberi semangat kepada cowok itu. Setelahnya, dia melenggang begitu saja, meninggalkan rasa heran cowok itu. Seharusnya Nika yang butuh semangat, bukan dirinya. Tapi mengapa dia yang mendapatkan itu semua? Seharusnya Nika yang marah dan merasakan gejolak dalam hatinya, tapi mengapa malah Devan yang merasakannya? Ini tidak adil, apakah dia bersalah dalam hal ini? Atau memang hal ini tidak ada yang disalahkan?

Devan bingung sendiri memikirkannya.

To be continue

Just A Dream [Completed]Where stories live. Discover now