37 - Maaf

2.6K 82 0
                                    

"Nik,"

Suara itu, suara bariton yang tidak ingin Nika dengar saat ini. Karena memang itu mengingatkan dirinya akan bagaimana kesalahan yang pernah dia buat, bagaimana rendahnya dirinya. Setelah menutup pagar rumahnya, Nika segera berjalan menjauhi Devan yang nampaknya tengah mengejarnya. Biarkan saja cowok itu, siapa menyuruh melakukan hal bodohnya--taruhan.

"Nik, gue mau ngomong sama lo," Devan menarik lengan Nika, membuat cewek itu menghentikan langkah dan berbalik untuk menatapnya.

"Nik, sori kalau selama ini gue punya salah. Oke, emang gue salah. Tapi gue menyesal, Nik. Gue nyesel udah sia-siain lo," katanya.

"Ada alasan tertentu kenapa gue ngelakuin semuanya," ujarnya lagi. Tapi Nika masih diam, bahkan cewek itu memalingkan wajahnya.

"Gue minta maaf,  gue emang salah. Jadi jangan marah ke gue. Sori, Nik."

Nika menatap Devan,  "Lo pikir nggak kesel? Lo pikir gue nggak marah? Apa semua laki-laki bisa ngelakuin hal semaunya tanpa mikirin perasaan perempuan? Dan lo, juga kayak gitu?"

Oke, ini adalah makian untuk Devan. Cowok itu sudah sarapan makian dari Nika. Dan dia tetap tenang.

"Nggak juga, tapi memang ini--"

"Disengaja, gue tau lo mau ngomong apa? Udah, Van. Anggap semuanya itu nggak pernah terjadi, anggap aja gue sama lo nggak pernah saling kenal ataupun berhubungan."

"Nik, nggak bisa gitu. Gue nyesel,  dan gue pingin balik lagi."

"Balik kemana? Gue sama lo nggak pernah ada hubungan, dan plis lupain gue!"

"Nik, nggak ada kesempatan lagi ya?"
Bodoh, maki Devan dalam hati. Sudah sangat jelas jika Nika marah dan membencinya. Lalu mengapa dia bertanya hal bodoh semacam itu?

"Gue minta maaf, Van. Nggak ada, kita temenan aja kayak sebelumnya. Dan jalanin seperti awalnya, gue adik kelas lo. Dan lo kakak kelas gue," jawab Nika santai.

"Tapi, Nik--"

"Plis Van, senengin gue sekali ini aja."

Devan terdiam, membuat Nika bahagia dengan cara seperti ini? Yang benar saja,  dia ingin Nika memaafkannya. Bukan menyuruhnya untuk menjalani hidup seperti sebelumnya.

Devan menatap nanar tubuh Nika yang semakin menjauh dari tempatnya berdiri, ini memang salahnya. Tapi dia bisa apa? Nika sudah terlanjur mengetahuinya, cewek itu bahkan ingin dirinya melupakannya. Devan mengacak rambutnya frustrasi, belum pernah kisah cintanya serumit ini.

Lena yang sedari  tadi menatap dua orang itu hanya bisa diam, dia tidak ingin ikut campur dalam masalah ini. Toh dia memang juga bukan siapa-siapa Devan lagi. Tapi dia lebih memihak pada Nika. Nika benar, dia juga harus bisa menghukum Devan yang sudah membuatnya kecewa.

***

Sudah lima hari Devan tidak masuk ke sekolah, dan sudah lima hari juga dia tidak bertemu Nika. Terakhir kali adalah dia meminta maaf kepada Nika pagi-pagi sebelum berangkat ke sekolah. Wajahnya menahan sakit dibagian kepalanya. Sudah lima hari juga dia berada di rumah ayahnya, mengurung diri di dalam kamar. Tanpa ada yang tahu apa saja yang dia lakukan saat ini. Toh ayahnya juga tidak akan mengurusnya,  bahkan setelah Devan kembali pulang ke rumah ini Aldo hanya menatapnya sinis.

Devan diskors selama tiga hari oleh guru BK, karena berkelahi dengan Arga. Harusnya dia sudah mulai ke sekolah setelah tiga hari hukumannya. Tapi karena dia sakit, dia mengurungkan niat untuk berangkat ke sekolah.

"Ernghh.." Erang Devan sambil memegang kepalanya, berusaha agar sakit dikepalanya itu mereda. Setelahnya, dia mencari sesuatu didalam laci nakasnya.

Ketemu,  hanya dengan benda itu Devan bisa tenang. Dan rasa sakit dikepalanya mulai berkurang. Kemudian, Devan memilih untuk menidurkan dirinya sejenak. Dia butuh ketenangan saat ini.

Saat hendak memejamkan matanya, ponsel Devan berbunyi. Lantas dia meraih benda pipih itu diatas nakas, lalu begitu melihat Caller ID kedua mata Devan membulat sempurna.
Lena,  apakah dia tidak salah membaca?
Lena menghubunginya, apakah dia tidak sedang bermimpi. Tidak, ini tidak bermimpi. Dia masih sadar, dan dia tidak salah membaca. Segera Devan menerima panggilan telepon itu.

"Halo, Len ada apa?" sapa Devan kemudian.

"Lo dimana?" tanya Lena dari seberang.

"Rumah, emang kenapa?" jawab Devan.

"Gue kesana, ya, nggak pa-pa 'kan?"

"Hah? Oh tau alamatnya?"

"Nggak sih, tapi udah tanya ke Kinar tadi."

"Kinar tau dari mana?"

"Gue juga nggak tau. Jadi, gue kesana ya."

"Eh, i iya. Lo kesini nggak pa-pa."

"Oke."

Lena segera mematikan panggilan, membuat Devan mengernyitkan dahinya.

"Tumben?" gumamnya.

To be continue

Just A Dream [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang