41 - Permintaan Maaf

2.4K 67 0
                                    

Nika bergeming, dadanya naik-turun. Degup jantungnya tak karuan, napasnya terdengar menderu. Tenggorokannya terasa kering, ia tidak mampu berucap. Tatapannya tertuju kearah Devan yang terbaring diatas brankar rumah sakit, dengan beberapa alat medis yang menempel dibagian tertentu tubuh Devan. Ingatannya kembali tertuju pada ucapan Lena beberapa waktu lalu, rasanya dunia seakan runtuh menimpanya. Hatinya mencelus begitu jauh.

"Lo cewek yang nggak punya hati, ya? Coba lo bayangin kalau Devan pulang dengan keadaan yang lagi mikirin lo, lalu ada kendaraan yang nggak sengaja mau dia tabrak. Dan alhasil dia kecelakaan, gimana? Apa lo mau tanggung jawab?"

"Ini, kak Devan? Dia, kenapa?" Ucapan Nika terdengar putus-putus. Tenggorokannya masih tercekat.

Hening, tidak ada jawaban dari Arga maupun Kinar. Dinginnya hawa malam itu semakin angkuh, apalagi setiap lorong rumah sakit itu terasa mencekam. Hanya saja masih ada satu atau dua orang lewat, entah itu pengunjung atau perawat di rumah sakit ini. Dengan pelan, Nika memutar kepalanya untuk menoleh kearah Arga dan Kinar yang masih berada dibelakangnya. Ia melihat dua orang itu terdiam, namun juga menatapnya.

"Apa yang terjadi?" katanya, terdengar seperti bisikan.

"Kita bicara diluar aja," titah Arga, yang dibalas anggukan oleh Kinar dan segera dilakukan oleh Nika. Cewek itu menutup pelan pintu kamar inap Devan. Lantas dia berjalan menghampiri Arga yang sudah duduk dikursi tunggu, dan Kinar yang berdiri tidak jauh dari Arga.

Menghembuskan napasnya kasar, Arga menyuruh Nika untuk duduk disisinya. Membiarkan cewek itu menyiapkan diri agar tidak terkejut nantinya.

"Sebenernya gue nggak mau kasih tau hal ini kesiapapun, termasuk lo Nik," Arga memulai, tatapannya lurus-lurus kearah ubin dihadapannya.

"Waktu itu Kinar yang baru aja dari toko didepan kompleks kalian, nggak sengaja nemuin Devan pingsan disekitar situ. Dia hubungi gue, dan kita bawa dia ke rumah sakit."

Arga menjeda kalimatnya, setelahnya dia melanjutkan, "Devan sering sakit dibagian kepalanya. Dan dokter bilang, dia--" sengaja, Arga tak melanjutkan ucapannya. Rasanya begitu sakit ketika dia mengetahui yang sebenarnya. Devan adalah sepupunya, mampukah dia melihat Devan kesakitan seperti itu? Sudah satu tahun Arga melihatnya, bahkan hanya dia yang mengetahui semua yang dirasakan Devan. Tidak ada seorangpun, entah ayah atau nenek Devan.

Arga menghela napasnya, "Belum saatnya Nik, yang jelas Devan butuh lo."

Nika diam, tatapannya menerawang. 

"Gue--"

"Nik, gue mohon. Udah satu tahun lebih dia kayak gini. Dan cuma lo yang bisa buat Devan punya semangat lagi, karna dia juga punya salah sama lo."

"Devan butuh gue, cuma karna dia ngerasa bersalah ke gue. Apa gue tetep mau? Harga diri gue yang ditaruhkan waktu itu, apa gue nggak berhak untuk benci dia?"

Hening, Arga mengakui jika ucapan Nika memang benar. Hati wanita mana ketika tahu jika dirinya hanya dijadikan bahan taruhan?

"Dulu Devan juga kayak gini, itu yang gue tau dari dia. Udah tiga tahun sakitnya itu hilang, tapi setahun belakangan ini dia kambuh lagi." Arga masih menambahkan, walau dia tahu itu sama sekali tidak penting bagi Nika.

"Plis Nik, kalau dia udah sembuh total, lo bisa gebukin dia. Maki-maki dia, asalkan cuma kali ini aja lo buat dia semangat."

Memejamkan matanya, Nika menghembuskan napasnya. Rasanya memang sulit, tapi dia juga punya perasaan. Jadi dia memutuskan untuk memaafkan Devan, memberi semangat untuk cowok itu. Karena sejujurnya dia juga senang untuk membantu Devan.

Nika mengangguk pelan, dia mau melakukan itu semua.

"Gue akan usaha," putus Nika kemudian. Membuat Arga dan Kinar tersenyum. Keduanya saling menatap, bersyukur karena Nika mau melakukannya. Demi Devan.

***

Kamar inap Devan tampak lengang, tidak ada siapapun. Arga dan Kinar memilih untuk menunggu diluar, dan hanya Nika saja yang memasuki kamar itu. Nika berjalan menuju brankar Devan, lalu duduk disamping cowok itu--dikursi yang telah disediakan. Tatapannya tertuju kewajah Devan yang terlihat pucat, tapi tetap tampan itu. Rasanya memang kasihan melihat Devan berbaring seperti ini, dan itu mengingatkannya pada bundanya dulu. Nika meneteskan air matanya, mengingat bundanya yang kesakitan di rumah sakit membuat dadanya sesak. Ingin rasanya dia menggantikan posisi bundanya. Agar dia tidak melihat bundanya itu kesalitan. Tapi tidak mungkin. Bundanya telah tenang disana.

Devan mengerjap, perlahan membuka kedua matanya. Pertama kali yang dia rasakan adalah pandangannya kabur, lalu dia melihat plafon rumah sakit yang ada cahaya lampu disana. Tidak lama, dia mampu menyesuaikan gradasi cahaya lampu itu. Ia sadar, ada seseorang disampingnya. Dengan pelan dan hati-hati, Devan memutar kepalanya sembilan puluh derajat.  Ada perempuan disana, lantas Devan tersenyum menyadari siapa perempuan itu. Perempuan yang duduk disampingnya, yang nampak melamun itu, dengan air mata yang mengalir melewati pipi kirinya. Devan mengulas senyuman, dalam keadaan yang lemah, dia mampu tersenyum hanya untuk satu orang yang dia sayangi. Nika.

"Eh kamu udah sadar?" Nika terperanjat begitu melihat Devan yang tersenyum kepadanya. Sementara Devan semakin memperlebar senyumannya ketika menyadari Nika yang terperanjat itu.

"Aku panggilkan dokter ya. Atau kamu butuh sesuatu?" tanya Nika sedikit khawatir, untuk menyembunyikan rasa malunya karena Devan melihatnya menangis tadi.

Devan menggeleng lemah, "Nggak usah."

Nika kembali duduk, menatap Devan dengan wajah bersalahnya.

"Aku minta maaf, selama ini udah bikin kamu kesusahan."

Devan kembali tersenyum.

"Buat apa?" tanyanya dengan nada lemah, nyaris seperti bisikan.

"Maaf karna telat maafin kamu."

Devan terkekeh, pelan. Sangat pelan.

"Nggak perlu, aku yang salah."

Nika menggeleng cepat.

"Ini salah aku, karna kelamaan maafin kamu." Sahut Nika cepat.

Devan mengangguk, rasa pening dikepalanya masih terasa. Namun dia berusaha untuk menutupinya, karena tidak ingin Nika tahu.

"Salah kita," ujarnya. Membuat Nika terkekeh.

To be continue

Just A Dream [Completed]Where stories live. Discover now