18 - Pertandingan

1.4K 50 0
                                    


Rabu pagi, sekolah Nika terlihat begitu ramai. Bukan, bukan murid-murid sekolah itu yang hendak belajar yang meramaikan. Namun beberapa peserta lomba yang akan melakukan pertandingan di sekolah Nika, SMA Dharma. Di kelas, Nika masih sibuk dengan catatan yang belum sempat dia salin. Jarum jam yang menunjukkan pukul setengah sembilan, namun guru pengajar belum juga datang, padahal satu jam lagi bel istirahat berbunyi. Nika tidak terlalu mempermasalahkan hal itu, dia akan mengikuti saja, selama guru itu tidak datang, terkadang Nika lebih menyibukkan diri dengan novel yang dia bawa dari rumah atau yang baru dia pinjam di perpustakaan sekolah atau kota. Tapi kali ini tidak, karena catatan yang belum dia salin, terpaksa gadis itu menyalinnya dengan meminjam catatan lengkap milik Kinar.

"Nik, lo enggak mau lihat Devan di lapangan, ya? Btw, dia kan ikut lomba tingkat sekolah se Jakarta," ujar Kinar yang sedari tadi diam, gadis itu ingat kalau Devan mengikuti lomba bulu tangkis hari ini. Dan dia juga heran, entah mengapa Nika malah asyik dengan catatan PKn dari pada keluar menonton pertandingan itu. Toh, guru pengajar tidak akan datang kali ini.

Nika menghentikan kegiatannya, beralih menatap Kinar yang duduk disampingnya dengan menatapnya serius. Lalu gadis itu menghela napasnya pelan. "Lo kenapa, sih? Sibuk aja, pingin nonton? Nonton aja gih, sana!" ucap Nika dengan nada kesalnya.

Kinar mencibir. "Ye, kenapa, lo? PMS? Yang harusnya gue tanya gitu, tuh, elo. Lo kenapa sewot gitu, sih?"

"Nih, lihat! Catatan belum kelar, main suruh-suruh nonton pertandingan," Nika menjawabnya masih dengan kesal. Karena catatan yang disalinnya sedari tadi tak kunjung selesai, tangan kanannya juga sudah keram karena menulis terlalu lama.

"Kalo cape istirahat dulu, neng, baru dilanjut. Enggak usah nyolot ketemen sendiri," celetuk Kinar dengan nada sarkas.

Nika memutar kedua bola matanya malas, tapi tidak berapa lama, gadis itu menaruh bolpoinnya dan menutup buku catatannya. Kemudian beranjak dari duduknya. "Ayo, buruan."

"Hah? Kemana?" tanya Kinar tidak mengerti.

"Ck, katanya mau nonton Devan tanding," jawab Nika malas.

"Dih, bilang aja kalau lo yang pingin nonton, gue mah ogah!" Kinar menyindir, namun tidak untuk tidak beranjak. Gadis itu mengikuti Nika yang sudah berdiri, lantas keduanya keluar kelas dan melangkah menuju lapangan pertandingan. Yang lebih tepatnya, lapangan khusus diruang tertutup yang digunakan untuk lomba basket, karate, voli atau bulu tangkis disana. Bukan lapangan upacara yang terbuka. Sekolah Nika memang cukup terbilang elit, selain luas dan fasilitas yang memadai, sekolah ini juga memiliki banyak tempat atau ruang. Jadi tidak heran jika lomba akan selalu diadakan di sekolah ini.

Nika dan Kinar telah sampai di tempat pertandingan, cukup ramai, melihat para supporter yang berjubel memenuhi bangku penonton. Nika dan Kinar memilih duduk dibangku bagian depan, agak terlihat dengan peserta lombanya. Pandangan Nika mengedar, melihat sekolah mana yang mengikuti lomba atau sekedar men-support timnya. Pandangan Nika berhenti tepat pada sosok wanita yang berada ditribun utara, berhadapan dengannya. Mata Nika masih waras, masih normal. Jadi dia tidak mungkin salah lihat. Yang dilihat Nika hanya diam, tidak menyadari sama sekali ketika Nika sedang memerhatikannya. Malah dia asyik ngobrol dengan teman sebelahnya.

Illen? Dia juga disini? Batin Nika. Kinar menyenggol lengan Nika, membuat gadis itu menoleh kearahnya. Kinar menunjuk dengan dagu, sementara Nika ikut mengedar kearah pandang Kinar. Ada Devan yang berjalan memasuki lapangan dengan timnya, sementara lawannya dari timur juga tidak kalah sama dengan tim Devan. Senyum Nika terulas, tipis. Devan selalu terlihat keren walaupun cowok itu memperlihatkan muka masamnya. Kening Nika berkerut ketika menyadari wajah Devan yang masam itu.

"Dia kenapa, Nik?" bisik Kinar tepat disampingnya.
Nika hanya mengedikkan kedua bahunya, tanda ia juga tidak tahu tentang Devan yang bermuka masam itu.

***

Devan sedang bercanda dengan teman sekelasnya, pertandingan baru akan dimulai setengah jam lagi. Kemudian beberapa cowok menghampirinya.

"Devan, ya?" tanya salah satu cowok yang lebih tinggi dari pada ke-empat temannya. Devan menghentikan guyonannya kala dia mendengar ada seseorang yang menyebut namanya. Devan beranjak dari duduknya, dan menatap cowok itu dengan kernyitan didahinya. Memperlihatkan kebingungannya.

Cowok tadi tersenyum sinis. "Enggak usah sok-sok-an enggak kenal, deh, Dev." cowok itu mengibaskan tangan kanannya diudara.
"Lo pasti inget gue, enggak nyangka ya kita dipertemukan lagi. Lagian juga, ini yang gue nanti-nanti." Imbuh cowok itu.

"Gue emang enggak inget siapa lo? Lagian gue juga enggak kenal, deh kayaknya," jawab Devan, membuat cowok tadi mengatupkan rahangnya rapat-rapat.

Cowok itu tersenyum sinis, "Mungkin lo emang lupa sama gue, tapi saat gue kasih tahu siapa gue, pasti lo bakal inget lagi kejadian empat tahun yang lalu."

"Gue masih enggak inget," jawab Devan dengan polosnya.

"Oke, gue bakalan kenalin diri gue. Gue cowok yang pernah tantang lo, gue alumni SMP Negeri 13. Apa lo masih lupa sama gue?"

Devan terdiam, cowok itu sedikit berpikir. "Lo-Rio, kan?" terka Devan, telunjuknya sudah menunjuk wajah Rio.

Cowok yang dipikirnya Rio itu tersenyum sinis.
"Udah gue bilang, lo pasti inget gue. Lagian juga enggak mungkin lo lupain masalah lo sama gue yang bisa dibilang cukup gede," ujar Rio santai.

Kedua tangan Devan terkepal dimasing-masing sisi tubuhnya. Tatapannya menatap kearah Rio dengan tajam. "Mau apa lo kesini?" tanyanya dengan dingin.

Rio tersenyum miring, "Lomba, kenapa?"
"Oh, gue tahu. Lo takut kan kalau nanti lo kalah dalam pertandingan waktu ngelawan gue? Tenang aja, gue enggak akan ngelakuin itu semua. Tapi mimpi, gue bakalan bikin lo malu didepan anak-anak sekolahan lo!" ancamnya.
Tangan Devan sudah gatal ingin menonjok wajah Rio itu, tangannya bahkan sudah hendak melayang dan memukul pipi Rio. Jika bukan karena Arga yang menghentikannya, pasti Rio sudah terkapar karena pukulan Devan.

"Dev, udah, jangan diladenin dia. Dia bisanya cuma cari gara-gara. Mending sekarang kita kearena pertandingan aja, bentar lagi mau mulai soalnya," kata Arga dengan menahan tubuh Devan agar tidak lepas kendali. Disini, hanya Arga yang paham dengan masalah Devan. Tidak ada satupun dari anak-anak kelasnya yang tahu mengenai masalah Rio dan Devan.
Setelah membuat Devan tenang, Arga dan anak-anak lain berderap meninggalkan Rio dan teman-temannya. Wajah Devan masih menahan amarah, padahal sudah beberapa kali Arga menenangkannya. Tapi tetap saja jika emosi Devan akan semakin memuncak, cowok itu sangat sulit untuk mengontrol jiwa emosionalnya.

"Gue pergi dulu, udah mau tanding soalnya. Yuk Van," Andra berpamitan pada anak-anak sekelasnya, dan mengajak Devan untuk memasuki arena pertandingan. Devan mengikutinya, walau wajahnya masih masam, terlihat menahan amarahnya. Devan dan Andra berjalan memasuki arena, tatapannya tajam kearah lawan. Dia mengumpat dalam hati, Rio-lah yang akan menjadi lawannya dipertandingan babak pertamanya ini. Devan tidak akan membiarkan Rio melakukan ancaman cowok itu tadi. Dia tidak cukup jago dalam permainan seperti ini, karena cowok itu pasti sudah bisa dia bantai pada babak pertama. Pandangan Devan mengarah pada sosok yang dia kenal. Nika. Gadis itu duduk ditribun selatan, bagian depan. Membuat Devan sedikit terkejut lalu menampilkan senyum yang lebar kala Nika menatapnya. Tidak butuh waktu lama, Nika jelas-jelas sudah membalas senyuman itu. Membuat Devan lebih semangat untuk melakukan pertandingan.

***

SMA Dharma melawan SMA 17, sekolah Lena. Gadis itu yang sedari tadi ngobrol dengan teman sebelahnya seketika mengedar, ketika peserta lomba memasuki arena pertandingan. Lena cukup terkejut, kala melihat Devan berjalan dengan garangnya ketengah lapangan. Kening Lena berkerut, bisa-bisanya dia tidak menyadari. Jika pertandingan diadakan di sekolah Nika, yang pasti juga sekolah Devan. Gadis itu hanya bisa mengerjapkan kedua matanya berkali-kali. Itu Devan, benar Devan. Cowok itu terlihat penuh dengan amarah, Lena tidak bisa memahami itu. Karena memang lima tahun lamanya dia terpisah dengan cowok itu.

Wajah Lena memanas, kedua matanya menatap tajam kearah Devan. Hatinya teriris, dadanya sesak. Sangat sesak, seperti tidak ada oksigen diruangan itu. Devan tidak menyadarinya ada disini, tapi cowok itu tersenyum kepada seorang cewek. Nika?

Lena menghembuskan napasnya dengan penuh kesabaran, dia harus terbiasa dengan hal ini. Bukankah dia yang memang akan merelakan Devan bersama dengan Nika? Katakan, apakah disini dia berperan utama? Mengapa dia merasakan sangat sakit didadanya.

To be Continue

Just A Dream [Completed]Where stories live. Discover now