46 - Obvious

2.1K 70 0
                                    

Nika terduduk di taman sekolahnya, yang sepi dan temaram ini. Ia termenung, memikirkan masalahnya yang baru-baru ini dia alami. Dua bulan telah berlalu, ujian nasional sudah dia lewati. Dan hari ini adalah pengumuman kelulusannya. Tapi dua bulan ini juga dia tidak bertemu dengan Devan, terakhir kali adalah ketika dirinya dan Devan menghabiskan waktu seharian di pantai. Terakhir kali juga Devan yang mengantarkannya pulang. Tapi sampai saat ini, Devan tidak pernah menghubunginya. Tidak pernah menemuinya atau mengabarinya. Pernah Nika menelepon, dan mengirim pesan untuk Devan. Tapi tidak satu pun Devan menerima panggilannya, tidak satu pun pesan Nika yang dibalas oleh Devan. Dia juga nekat pergi ke rumah Devan, tapi yang ada pagar rumah itu digembok. Dan dia juga pernah ke rumah Arga, hasilnya tetap sama. Sepi. Walau pagar rumah Arga tidak digembok seperti pagar rumah Devan.

Nika menghela napasnya dengan kasar, ia kembali menyelami pikirannya itu. Kenapa baru sehari dia merasakan bahagia, namun duka itu kembali menyeruak dalam dirinya.

"Kasih aku hadiah dengan nilai terbaik kamu."

Nika masih mengingat permintaan Devan malam itu, dan Nika menganggapnya adalah sebuah gurauan. Karena yang Devan tahu bahwa dirinya tidak sepandai cowok itu, maka dari itu Devan mengatakannya. Tapi siapa sangka, jika itu adalah benar. Devan menginginkan hadiah itu. Ingatan Nika kembali mengulang malam itu, setelah dirinya masuk kekamarnya. Dan saat itu juga Devan baru mengantarnya pulang. Nika tidak sengaja menatap punggung tangan kirinya yang sedikit ternoda.

Saat itu kening Nika berkerut, berpikir keras mengenai noda itu. Tapi yang dia ingat adalah sesuatu menetes tepat mengenai punggung tangannya, lalu Devan menggenggam erat punggung tangannya itu. Malam itu juga Nika masih berpikir keras, noda itu seperti darah yang mengering.

"Dor!"

Nika terperanjat, lantas dia menoleh keasal suara. Dibelakangnya sudah ada Kinar yang meringis tanpa dosa.

"Kebiasaan lo ya, ngagetin aja!" Ujar Nika dengan kesal.

Kinar duduk disamping Nika.

"Kenapa sih? Kok dari tadi lo nggak ada di kelas, eh tau-taunya ada disini." Kinar bertanya.

Nika menunduk, dia kembali bersedih karena memikirkan tentang Devan.

"Mikirin Devan lagi?" Terka Kinar.

Nika mengangguk, lalu mendongakkan wajahnya. Terdengar hembusan pasrah dari Nika.

"Gue rasa gue bodoh ya, Ki."

"Lo ngomong apa sih?" Protes Kinar.

"Lagian, udah jelas-jelas Devan cuma mainin gue tapi gue malah percaya sama dia. Mikirin dia lagi," kesal Nika karena ulahnya yang begitu saja mempercayai Devan.

Kinar mengusap punggung Nika, seolah dia menyalurkan kekuatannya untuk sahabatnya itu.

"Devan itu cowok baik-baik, nggak mungkin dia manfaatin lo kayak gitu."

Nika menoleh untuk menatap Kinar, "Lo percaya sama dia? Gue kira lo bakalan maki-maki dia kayak waktu itu, pas gue dijadikan bahan taruhan."

Kinar nyengir, "Kan nggak boleh suudzon."

Nika memutar kedua bola matanya.

"Em, Nik." Nika menoleh ketika Kinar memanggilnya.

"Gue mau ngomong sesuatu," lanjut Kinar.

"Dih gaya lo serius amat. Kayak lagi mau nembak gue aja, ih ogah ya gue. Masih normal." Cibir Nika.

"Ck, anjir lo. Dengerin gue dulu napa? Lagian gue masih suka sama si doi yang nggak peka-peka," balas Kinar dengan nada sarkas.

Just A Dream [Completed]Where stories live. Discover now