"Haha, kak Arga masih nggak peka juga?" Nika tergelak.

Kinar memasang wajah cemberut.

"Auk ah, jangan bahas dia. Mood gue langsung ilang gara-gara nungguin dia tapi dianya nggak peka-peka."

Nika mengeraskan tawanya ketika mendengar ucapan Kinar barusan.

"Cepetan deh, katanya lo mau ngomong."

"Lo sih yang ajak buat bicarain dia," kata Kinar tidak terima.

"Iya gih buruan!" Nika berdecak kesal.

"Gue tau dimana Devan," kata Kinar dengan satu tarikan napasnya.

Deg

Nika menoleh kearah Kinar, menatap cewek itu dengan mata yang membeliak lebar. Nika terkejut bukan main, selama dua bulan dia curhat tentang Devan---yang tiba-tiba menghilang tanpa kabar---kepada Kinar. Yang dia tahu Kinar tidak mengetahui apapun tentang Devan, tapi sekarang cewek itu mengatakannya. Sahabat macam apa dia? Menyembunyikan hal itu dari dirinya. Tatapan Nika berubah, cewek itu terlihat marah dan kecewa.

Kinar sendiri tidak takut tatapan itu, karena dia tahu jika dirinya salah. Menyembunyikan hal tentang Devan dari Nika.

"Lo udah bohong, lo pura-pura nggak tau padahal lo udah tau." Ucap Nika kemudian.

Kinar diam, kali ini dia merasa bersalah karena membohongi Nika.

"Kenapa lo sembunyikan dari gue, emang hubungan kalian apa? Kenapa lo yang tau keberadaannya?" Emosi Nika sudah tidak terelakkan, dia marah dan kecewa pada Kinar.

"Gue mau lo dengerin gue dulu," kata Kinar dengan nada dingin, tatapannya tidak lagi kearah Nika. Cewek itu lebih memilih menatap rumput dihadapannya.

Nika juga sama, dia memalingkan wajahnya dari Kinar. Agar dia tidak dapat menatap Kinar yang duduk disampingnya.
Namun ucapan Kinar kembali menginterupsinya, dia kembali menoleh kearah Kinar.

Saat Kinar sadar jika Nika menatapnya, dia segera melanjutkan ucapannya tanpa menoleh kearah Nika.

"Dia minta gue dan Arga sembunyikan ini semua dari lo, awalnya gue menentang. Karena emang gue nggak ingin sembunyikan sesuatu dari lo, gue itu sahabat lo jadi gue nggak mungkin khianati lo,"

Kinar sengaja menjeda ucapannya, tidak lama dia kembali melanjutkan.

"Arga udah setuju sama gue, tapi dia lebih milih untuk buat janji sama Devan. Dia juga mau sembunyikan masalah ini, dia juga sengaja selalu tutup pagar rumahnya. Agar kelihatan sepi, dan bilang ke papanya Devan kalau Devan tinggal di rumah Arga, yang juga rumah nenek mereka. Dan hasilnya om Aldo percaya aja, bahkan beliau sama sekali nggak punya niat untuk lihatin Devan di rumah Arga. Papa Devan kayaknya udah bener-bener nggak peduli sama Devan. Itulah kenapa dia selalu gembok pagar rumahnya, setiap kali dia ke kantor. Karna dia tahu di rumahnya nggak ada siapa-siapa lagi."

Nika diam, dia masih mendengar cerita Kinar.

"Kondisi Devan nggak stabil, setelah dia bilang kalau dia anterin pulang lo, Devan mampir ke rumah gue. Dia minta tolong ke gue supaya telpon Arga. Soalnya saat itu Devan sering ngaduh ke gue kalau kepalanya sakit banget, yah sambil tunggu Arga datang."

"Arga datang, dia jemput Devan. Lalu besoknya Arga tanya ke gue, kenapa Devan bisa kayak gitu. Ya otomatis gue cerita yang sebenarnya kalau Devan tiba-tiba ke rumah gue dan suruh gue telpon Arga, karena kepala Devan sakit jadi nggak bisa setir kendaraan sendiri."

"Arga juga bilang kalau semalam dia bawa Devan ke rumah sakit karena pingsan, dan sampai besoknya belum sadar. Gue jenguk dia sama Arga, saat itu juga Devan sadar. Dia buat gue janji supaya nggak kasih tahu ini ke lo, Nik."

"Devan juga sempat koma selama tiga minggu, dia sekarang ada di rumah sakit. Keadaannya kritis, dia masih koma."

Hati Nika mencelus jauh, dadanya sesak. Dia tidak mampu mengatakan apapun. Tenggorokannya terasa begitu tercekat, sangat sakit. Dengan susah payah dia menelan salivanya. Berusaha menguatkan hatinya sendiri, tapi yang terjadi dia malah meneteskan air matanya. Dia tidak tahu harus melakukan apa? Napasnya naik turun tidak karuan. Satu hal yang pasti adalah dia membutuhkan sandaran, dia menyandarkan kepalanya dibahu Kinar. Dengan segera, Kinar memeluk sahabat satu-satunya itu. Mengusap lembut punggung Nika. Berusaha menenangkan cewek itu.

"Gue minta maaf, Nik. Ini semua jauh dari pikiran dan hati gue," bisik Kinar.

Nika terisak dalam pelukan sahabatnya.

"Pusing? Pusing kamu kambuh lagi Van?" tanya Lena mengalihkan pembicaraan.

"Iya, dikit sih."

"Udah minum obat?"

Nika kembali mengingat obrolan Lena dan Devan waktu itu, yang sengaja dia mengikuti perginya Lena. Dan ternyata Lena pergi ke rumah Devan.

Pusing? Apakah Devan merasakannya setiap kali? Dan Lena mengetahuinya, apakah Lena mengetahui yang sebenarnya tentang Devan?

Nika masih terisak, "Gue mau ketemu dia Ki. Antarin gue," pinta Nika. Tangisnya tidak terhenti, bahkan tangisnya terdengar begitu memilukan. Kinar sampai tidak sanggup mendengar tangis Nika yang sudah lama tidak dia dengarkan itu.

To be continue

Dramatis banget ya?
Beberapa part lagi ending kok.
Thanks karna kalian udah mau baca karyaku. Walaupun agak absurd sih.

See you next part

Just A Dream [Completed]Where stories live. Discover now