4 - Tak Ingin Dia Tahu

Start from the beginning
                                    

“Sendiri?”

“Enggak sih, terakhir kali gue kesini juga sama Kinar.”

“Siapa dia?”

“Sahabat gue, bukan cuma sahabat. Dia lebih dari itu, gue anggap dia seperti saudara sendiri.”
Arga manggut-manggut, tanda mengerti dengan pernyataan Nika barusan.

By the way, lo kok bisa tahu gue disini?” kini giliran Nika yang ingin tahu.

“Gue enggak sengaja lihat lo disini.” jelas Arga, Nika hanya ber-oh ria.

***

“Bagus itu, kamu masih ingat pulang!” suara bariton membuat Devan  tersadar dari lamunannya, ia baru saja menutup pintu dan melamunkan apa yang terjadi dengan taruhannya. Lantas dia terkejut mendengar suara ayahnya yang menurutnya hanya sebuah nasehat tidak penting yang akan masuk dari telinganya sebelah kanan, dan akan keluar--menguap begitu saja dari telinga kiri. Devan memutar kedua bola matanya jengah, dia tidak akan melupakan rumahnya bukan? Toh, bangunan ini sudah dia tinggali selama delapan belas tahun. Ia sempat melirik kearah jam digital yang menggantung diruang tamu, menunjukkan pukul 22.03.

Ayah Devan--Aldo menghampiri putranya yang masih berdiri dengan malas dibalik pintu depan. Ia tahu jika putranya itu mungkin bosan akan perlakuannya, namun dia tidak akan bosan untuk memperingati kesalahan putranya itu. Bagaimanapun, Devan adalah anaknya yang mampu meneruskan dirinya. Ia hanya tidak ingin putranya itu salah jalan, tapi memang ini semua adalah kesalahannya. Yang terlalu sibuk dengan dunianya sendiri hingga putranya yang menjadi korbannya. “Ayah sudah pernah bilang sama kamu, kamu masih kecil. Dan jangan pernah pulang selarut ini!” katanya memperingatkan.

Sorry, Devan masih ada urusan tadi. Dan Devan memberatkan urusan Devan terlebih dahulu dari pada untuk pulang ke rumah.” Jawab Devan acuh. Ia seperti tidak peduli dengan ayahnya yang lebih tua darinya.

“Devan, ayah tidak pernah ajarkan kamu keluyuran dan pulang selarut ini.” ujar Aldo dengan menahan emosinya.

“Tapi ayah mengajarkan ke Devan kalo ayah pulang larut malam buat bekerja ‘kan? Bukannya ayah yang workaholic itu jarang pulang kerumah, lalu kenapa Devan dilarang?”

PLAK

Satu tamparan mendarat dipipi kiri Devan, hingga sudut bibirnya sobek dan mengeluarkan darah segarnya, Devan  hanya menyentuh lukanya itu. Lalu dia kembali menatap ayahnya yang masih tersulut emosi, ia hanya tersenyum kecil untuk mengejek pria paruh baya dihadapannya ini. “Lagi, yah. Lagi sampai ayah puas.” Seru Devan, bagi Aldo ucapan Devan adalah perintah. Tanpa berpikir panjang, Aldo meninggalkan Devan yang masih berdiri ditempat. Tidak lama, ia membawa sebuah tongkat kayu panjang. Dengan cekatan dan tanpa ampunan, Aldo memukulkan tongkat tersebut ketubuh Devan. Awalnya Devan menahan rasa sakit yang menjalar ditubuhnya, namun semakin ayahnya memukul keras tanpa ampunan, Devan merasakan sakit yang luar biasa. Hingga tubuhnya lemah, terduduk dilantai keramik rumahnya. Ini belum apa-apa, Devan pernah mendapatkan yang lebih dari ini.

Rasa sakit disekujur tubuhnya masih terasa, bahkan kepalanya yang tidak kena pukulan ayahnya mulai merasakan sakit yang luar biasa. Bukan sekali ini, namun berkali-kali. Tapi Devan tidak pernah mengatakannya kepada siapapun, dia hanya bisa diam dan memendam rasa sakitnya yang mulai terasa itu. Hingga suara pekikan mengejutkannya. “Hentikan!”

Arga. Cowok itu segera menghampiri Devan yang masih terbaring dilantai, sementara Aldo menghentikan aksi pukulannya, ia lebih memilih untuk menatap kearah Arga yang berlari menghampiri Devan. Dilihatnya Arga yang membantu Devan untuk berdiri, membopongnya kedalam kamar cowok itu.

Just A Dream [Completed]Where stories live. Discover now