24. The Pain From The Past

1K 153 5
                                    


13 Tahun lalu.
Surakarta

"Besok kalau kita dewasa, kamu nggak akan bikin aku nangis lagi kan?" tanya seorang gadis kecil yang tangisnya baru saja berhenti setelah pemuda kecil di sebelahnya menyodorkan kue bolu cokelat.

"Kalau dewasa, aku yang akan pukuli orang yang bikin kamu nangis. Tenang saja, Al," seru pemuda kecil dengan gelak tawanya yang khas, seolah ucapannya hanya penghiburan tanpa takut suatu hari gadis kecil itu akan menagih padanya.

"Janji yuk, Kalau kita sudah besar nanti, kita jadi pengantin, " ucap gadis kecil itu seraya menyodorkan jari kelingkingnya. Gilang menatap ke jari mungil itu, bergantian ia melihat wajah si gadis kecil dan jari kelingkingnya.

Lalu Gilang tertawa dengan deretan giginya penuh noda cokelat, meraih kelingking Alya namun bukan untuk mengaitkannnya dengan kelingkingnya sendiri, melainkan menggelitiki telapak tangan Alya yang berujung kue bolu cokelat yang dipegangnya meluncur jatuh.

Alya menangis keras, entah apa yang ditangisinya. Kue bolunya ataukah Gilang yang tidak mau berjanji padanya. Tapi Gilang tidak peduli dan memilih berlari-lari sambil tertawa, seperti biasanya.

Dulu Gilang adalah anak yang sangat periang dan mencintai dunia. Tidak peduli kapan dan di mana, ia selalu bisa bermain dan membuat suasana di sekitarnya menjadi meriah. Dulu ia terlalu polos untuk mengetahui situasi rumit yang dialami kedua orangtuanya dan memilih terus menebar kasih sayang tanpa pilih-pilih pada keluarga ibunya yang keturunan bangsawan keraton Surakarta.

Ya, Gilang sempat mengenyam kehidupan yang tenang dan riang di lingkungan dalem keraton Surakarta yang masih kerabat jauh dengan Raja Keraton Surakarta Sampeyandalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Paku Buwono XIII. Dulu Gilang hanya mengenal ibunya yang merupakan cucu sesepuh keraton Surakarta, tanpa mengenal siapa ayahnya.

Dulu ia menatap orang-orang di dekatnya dengan pandangan penuh cinta dan tidak mengerti kenapa orang-orang di sekitar ibu mencibir dan menertawai kehadirannya. Yang Gilang pedulikan hanya bagaimana cara membuat Alya, teman sepermainannya berhenti terus-menerus nangis karena mainan bonekanya kerap dicuri sepupu-sepupunya.

Di usia Gilang yang menginjak 7 tahun, tak ada yang lebih menyenangkan ketimbang menghabiskan hari bermain di luaran, mengganggu para abdi keraton yang tengah menyiapkan ritual jika menjelang tahun baru Muharram, atau yang lebih biasa disebut malam satu suro. Meski kerap dimarahi tak ada yang benar-benar membenci Gilang, saat itu. Bahkan kakek dan neneknya yang selalu mendewakan darah ningrat mereka, tunduk pada kepolosannya.

Gilang tidak tahu bahwa darah ningrat yang diagung-agungkan keluarga ibunya sudah ternoda dengan kelahiran dirinya. Kelak, saat Gilang mulai dewasa barulah ia memahami betapa nista hidup yang diberikan kepadanya.

Semuanya berawal dari siang di hari terik sepulang ia dan ibunya habis berbelanja di Pasar Klewer. Becak yang dinaikinya sampai di kediaman mereka. Gilang ingat betapa pias wajahnya ibunya tatkala orang rumah menyebut ada tamu asing yang tengah menunggu ibu. Saat wanita yang selalu sakit-sakitan itu melihat siapa tamu yang menunggu di balai-balai dekat kolam di halaman, Gilang mengira itu adalah tatapan penuh rasa takut dan karena itu ibunya lemah dan jatuh pingsan.

Gilang hanya ingat ekspresi pria yang menemui ibunya. Ekspresi penuh kepuasan, seolah sebelumnya dia adalah mimpi buruk yang begitu ingin disingkirkan oleh wanita yang melahirkannya itu.

Pria itu mengenalkan dirinya sebagai atlet bulutangkis Korea yang tengah bertanding di Indonesia dalam satu perhelatan olahraga se-Asia. Namanya Kang Ji Hwan. Wajahnya tampan, berkulit kuning pucat dan matanya tidak terlalu sipit seperti halnya orang Korea yang lain. Gilang tidak mengerti kenapa ibunya takut pada laki-laki semacam ini.

Dear Miss Manager (Tamat Di KK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang