18. Jealousy

1.4K 177 5
                                    

Apa yang mereka bicarakan sampai laki-laki itu harus memegang tangannya?

Pemuda itu gelisah. Berkali-kali mengetuk-ngetukkan jemarinya di atas setir, sesekali melirik ke dalam sebuah resto cafe ala italia melalui jendela transparan yang memungkinkan pengunjung dari luar melihat pemandangan di dalamnya. Sudah lebih dari setengah jam ia hanya duduk mengawasi, gelisah dengan pikiran-pikirannya sendiri dan berkali-kali pula ia mencegah dirinya sendiri untuk turun dari mobil dan masuk ke dalam untuk membawa pergi salah seorang pengunjung di sana.

Tapi kenyataannya ia hanya duduk mengawasi tanpa bisa melakukan apapun.

"Gilang?"

Pemuda itu tersentak, tidak menyangka ada seseorang yang mengenalinya di saat ia masih duduk di dalam mobil. Refleks ia memerosotkan posisi duduknya sebagian bagian dari kebiasaannya yang sering menghindari fans dan wartawan dengan cara serupa. Tanpa sadar ia pun menutup rapat kaca mobilnya. Tidak ingin keberadaannya diketahui.

Tapi terlambat, siapa pun yang memanggilnya jelas telah mengenali dirinya.

Gilang mengutuk dirinya sendiri karena berbuat ceroboh dengan membuntuti Arina pergi. Hanya karena rasa penasaran yang membuat dia kehilangan kewarasannya sebagai public figure. Dan sekarang seseorang telah melihat wajahnya.

Sialan.

"Gilang? Hei, saya yakin itu kamu..."

Gilang masih menutupi wajahnya dengan tangan, seolah dengan begitu keseluruhan wajahnya akan tertutup. Ia melirik melalui jendela samping, sekadar mencari tahu siapa orang yang sebegitu jeli mengenalinya meski saat ini Gilang berada di dalam sebuah mobil yang masih berhenti.

Oh, shit...

Wanita itu tersenyum melambai dari balik kaca. Rambut pendeknya berkibar-kibar tertiup angin malam, namun membuat wanita itu tidak menyerah dan masih menunggu Gilang merespon panggilannya.

Ya tuhan, di antara semua orang yang dikenalnya, kenapa harus wanita ini yang menangkap basah dirinya tengah menguntit. Wanita itu tidak lain adalah Sandra, teman Arina.

Gilang mendesah, sudah tidak mungkin lagi bersembunyi. Ia pun memutuskan untuk membuka kaca dan bersikap datar.

"So it's you... Apa kamu punya janji dengan Arina?" Tanya Sandra.

"Nggak. Saya cuma berhenti sebentar untuk menjawab telepon. Saya nggak biasa menyetir sambil bicara di telepon," jawab Gilang berbohong. Namun karena ia adalah seorang aktor, berakting seperti ini bukan hal sulit.

"Oh ya? Saya kira kamu mau ketemu sama Arina. Dia ada di restoran ini, kamu tahu?" Sandra menunjuk ke arah sosok yang terlihat dari balik kaca. Dua orang yang tampak asyik mengobrol.

"Nggak. Saya nggak tahu. Saya ada acara makan malam bareng teman-teman aktor dan aktris serial."

"Gitu? Oke... Mau saya sampaikan salam buat Arina? Atau kamu mau dia temani kamu ke acara makan malam itu?"

Gilang nyaris menggigit bibirnya menahan malu. Percuma dirinya berbohong, sahabat Arina yang ini sepertinya cukup pintar untuk menebak apa yang terjadi.

"Nggak perlu. Dia sudah bebas tugas sejak sore ini. Maaf, saya harus pergi."

"Sudah mau pergi? Okay, padahal saya baru saja mau kasih tahu Arina kamu mungkin membutuhkan dia..."

"Nggak. Nggak perlu. Please... Jangan lakukan itu," sergah Gilang cepat.

"Oke. Jadi, saya nggak boleh bilang nih?"

"Bukan begitu. Hal ini nggak terlalu penting. Arina... Punya kehidupan sendiri, meski manajerku, dia nggak harus selalu berada di dekatku," ujar Gilang masih dengan ekspresi tenang dan datar yang biasa. Ia merasa bodoh karena dalam hatinya, kalimat itu sangat berlawanan dengan keinginannya.

Dear Miss Manager (Tamat Di KK)Where stories live. Discover now