33

1.5K 110 8
                                    


Aku mengerjapkan mataku berkali-kali, takut kalau ini bukan hanya sekedar mimpi.

Aku tahu ini aneh, tapi perasaanku setiap kali melihat Revan pasti selalu diselimuti banyak rasa; rasa bersalahku telah menolaknya tanpa alasan yang cukup jelas, rasa mengagumiku padanya sejak tahun lalu, rasa itu tak hilang ketika mataku bertemu dengan mata Revan.

Mata itu melembut, bahkan selalu begitu setiap kali aku menatap matanya. Ia tersenyum. Dan aku hanya bisa terpaku menatapnya, ku usahakan untuk tersenyum dan faktanya itu terlihat sangat canggung.

"Hei, Van." sapa Eza mendahulukanku.

Sedangkan aku hanya bisa berdiri di sampinya, memegang cup es krim dan tersenyum seperti orang bego.

"Kalian, apa kabar?" tanya Revan.

Aku melirik Eza, menunggunya untuk menjawab. Karena sejujurnya aku seperti orang yang diam membisu.

"Baik, lo sendiri?"

Revan senyum tipis. "Baik-baik. Beres ujian praktek?"

Revan mengalihkan pandangannya pada kostum kami yang sedikit berantakan. Eza melirikku, mengisyaratkan kali ini bagianku berbicara.

"Ehm..., iya." jawabku.

Perlu beberapa menit untukku melupakan tatapan mata Revan waktu pada malam ia menyatakan perasaannya padaku.

Tatapan memohonnya, bahwa ia tak pernah main-main. Tatapan itu selalu mengingatkanku pada malam itu, malam dimana aku merasa tak berdaya. Revan ada, saat itu ia ada dan menyatakan semuanya. Aku merasa hatiku seperti di timpuk batu besar.

Sialan, kenapa aku baru merasakan penyesalan itu sekarang?

Eza dan Revan asik mengobrol kesana-kemari sedangkan aku masih pura-pura seperti baik-baik saja. Meskipun pada nyatanya aku ingin pergi dari hadapan mereka, termasuk aku ingin pergi dari hadapan Eza. Aku yakin Eza tahu sikapku yang berubah, detik ini aku merasa pusing. Pusing yang aku sendiri tak pernah bisa menjelaskannya.

Aku menyalahkan semuanya pada diriku sendiri. Untuk apa aku mengagumi Revan kalau ujung-ujungnya aku menolak hanya karena aku merasa lebih menyukai Eza? Sedangkan yang aku tahu Eza tak akan pernah menyukaiku, dia hanya sebatas sahabatku. Hanya itu.

Aku terlalu bodoh pada malam itu.

Aku memilih memberanikan diriku untuk pergi dari hadapan mereka, bergegas ke aula mengambil tasku sementara Eza hanya bisa memperhatikanku dengan tatapan penuh tanda tanya. Aku cepat-cepat keluar aula dan sayangnya aku malah bertemu Eza di gerbang.

Ia berdiri di hadapanku. Tatapan matanya begitu menenangkan. Tapi bukan tatapan itu yang aku butuhkan, aku tetap ingin punya waktu sendiri, hanya itu yang ku inginkan.

"Kamu nggak apa-apa?"

Aku menggeleng pelan, mengulaskan senyumanku.

"Kamu tadi kenapa per--"

Aku nemotongnya. "Nggak pa-pa Za. Aku pengen pulang aja, lagian tadi kalian berdua kan lagi ngobrol, nah aku nggak--"

Eza menggeleng dan langsung memotong pembicaraanku.

"Karena ada Revan, kamu pergi?" tanyanya dalam satu tarikan napas.

Aku diam.

Dadaku terasa ingin meledak. Pertanyaan macam apa yang bisa membuatku seperti ini?

"Revan?" aku pura-pura terkekeh. "Apa masalahnya sama dia? Aku cuma mau pulang Za."

Eza menatapku, tanpa merasa lelah untuk terus mencari kebenaran dalam mataku. Aku mengalihkan pandanganku darinya.

HIMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang