23

1.6K 91 16
                                    


Eza senyum tengil.

"Pas liat langit aku harapin ketemu kamu, eh, akhirnya ketemu juga."

Aku ketawa nggak percaya. Sehebat itu Eza menggombal. Dan aku masih ingat gombalannya waktu di rooftop. Sejujurnya ada rasa bahagia dalam diriku waktu mendengar ucapannya, menyadari bahwa aku dan Eza juga mengharapkan hal yang sama.

"Not bad. Sedikit lagi belajar gombal, pasti lebih bagus Za." cibirku.

Eza tertawa puas. "Tapi serius, kali ini nggak gombal. Mungkin besok-besok iya."

Aku dan Eza sama-sama tertawa. Kalau memang itu benar, berarti Eza dan aku mengharapkan harapan yang sama pada langit. Aku tersenyum mengingat itu.

"Za, aku punya permintaan." aku berusaha menganti topik dan agak sedikit nggak yakin dengan topik kali ini.

Tapi aku nggak mungkin menyimpannya terus dalam diriku.

"Boleh, asalkan nggak lebih dari tiga permintaan."

"Za, aku serius."

"Nay, aku juga serius."

Aku memutar bola mataku.

Setiap kali Eza mengikuti caraku berbicara atau mengikuti gayak, aku selalu merasa ingin memukulnya. Serius deh.

"Oke, apa?" tanyanya.

"Kamu mau jadi..."

"Jadi apa?" tanya Eza nggak sabar.

"Jadi..." aku menunggu reaksinya.

Eza kelihatan bingung tapi mungkin dia juga penasaran.

"Jin juga capek kalau dengerin permintaan yang ngegantung kayak gitu." keluhnya.

Aku ketawa puas melihat ekspresinya yang pasrah. Eza seolah berlagak kayak Jin. Dan itu benar-benar lucu.

"Jin marah? Mana ada Jin marah?" ledekku.

"Cepetan, lama amat minta permintaan doang." gerutunya. Aku terkekeh.

Oke, tahan tawa Nay. Aku menghela napas untuk mengulang lagi permintaanku.

"Kamu, mau jadi... sahabat aku nggak?" kataku akhirnya.

Eza menatapku nggak percaya dan aku masih menahan tawa.

"Itu doang?"

Aku ketawa sambil mengangguk.

"Emangnya kamu kira apa?"

Eza mengalihkan pandangannya dariku. Menggeleng setelahnya.

"Nggak, nggak ngira apa-apa." jawabnya dan nggak terlihat santai kayak biasanya.

Oh.

Aku menoleh menatap Eza lagi.

"Jadi permintaan aku terkabul nggak?"

"Karena kamu udah jail sama Jin tadi, permintaannya di tunda sebentar."

Aku berdecak. "Ah, Jinnya jahat. Pindah ke Jin lain aja deh."

"Eh, eh, jangan. Iya, iya dikabulin."

"Dikabulin?" tanyaku memastikan.

Eza ngangguk. "Iya, sahabat." jawabnya.

Beberapa detik setelahnya kami saling terdiam dan tertawa bersama mengingat kebodohan yang kami lakukan tadi. Karena waktu itu Eza yang meminta jadi seorang teman, kali ini aku yang memintanya jadi seorang sahabat.

Kedepannya? Aku nggak yakin.

※※※


Aku dan Eza kembali ke camp. Api unggun menyala, memancarkan apinya yang menggebu-gebu. Beberapa ada yang bernyanyi diiringi gitar, makan barbeque, foto-foto, tertawa, ngobrol bersama guru-guru, dan begitulah.

HIMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang