29

1.6K 99 1
                                    


"Aku cuma mau kamu tau kalau kamu cantik, kamu baik, kamu hebat, kamu bisa buat orang-orang bahagia, dan hal positif itu, aku suka. Aku sayang sama kamu."

Argh!

Kenapa suara lembut dan cengkraman tangan Revan di bahuku masih terus teringat sampai sekarang sih?

Ayo dong Nay, itu beberapa minggu yang lalu dan malam ini seharusnya menjadi malam pergantian tahun, yang artinya kenapa aku harus terus tersesat dalam pemikiran itu?

Omong-omong soal Revan, aku dan dia masih sering saling menghubungi. Dan lumayan sering bertemu beberapa waktu yang lalu ketika di sekolah lagi sedang porak.

Dia terlalu tulus dan aku nggak bisa menjelaskan kenapa aku selalu merasa bersalah dengan sikapku. Tapi aku berani jujur, aku takut mengecewakan Revan. Meskipun dia terang-terangan mengungkapkan perasaannya tanpa meminta aku jadi pacarnya, bukan berarti Revan nggak mau tapi aku yakin dia justru mengharapkan itu.

Malam itu, aku menangis semalaman di kamar. Tertidur lelap beberapa menit lalu bangun dan sadar kalau itu masih jam dua malam. Sesekali aku menarik napas panjang dan menyeka air mataku. Aku merasa patah hati. Maksudku, aku merasa memperlakukan Revan dengan ke-egoisanku sendiri.

Revan baik.

Sangat baik untuk di kategorikan sebagai cowok seusianya dan aku benar-benar mengaguminya sejak setahun yang lalu (mungkin sampai sekarang). Revan mengerti aku, buktinya dia sama sekali nggak marah atau kesal waktu aku hanya diam, menangis, lalu terisak meminta maaf dalam pelukannya kalau aku belum bisa membalas perasaannya.

Pada malam itu, aku hanya takut.

Takut untuk memastikan kalau hatiku memang memilih Revan. Ada sesuatu dalam diriku pada malam itu menyadari kalau selama ini aku hanya sekedar mengagumi Revan karena dia keren, ganteng, dan keren (lagi). Dan itu bukan yang aku cari. Aku nggak mau menerima Revan karena aku terobsesi dengannya.

Memikirkan perasaanku malam itu, aku memutuskan untuk menjalaninya. Aku tahu telah membuatnya kecewa karena sebenarnya aku juga tak mungkin menerimanya secara terpaksa, itu justru akan membuat Revan kecewa setelah bersamaku nantinya.

Aku menggelengkan kepalaku yang mulai terasa pusing memikirkan hal ini beberapa hari kebelakang dan memutuskan untuk pergi ke tempat fitness karena kebetulan ini hari Sabtu. Aku menaruh tas olahragaku ke dalam loker dan mengganti sepatuku dengan sneakers. Sibuk menalikan tali sepatuku dan bersiap menyalurkan emosiku beberapa minggu ini dengan workout.

"Naya?" panggil seseorang. Aku menoleh dan itu Nanda.

Dia menaruh tas olahraganya dan langsung menghampirku.

Aku tersenyum.

"Nanda? Hai." sapaku. Nanda duduk tepat di sebelahku dengan senyuman lebarnya.

Nanda teman sekelasku. Teman dekat Eza sejak kelas sepuluh dan mereka sering bermain bersama (sepengetahuanku mereka juga satu SMP).

"Hei, fitness juga?" tanyanya. Aku mengangguk dengan senyuman tipis di bibirku.

"Kamu juga fitness disini Nan?"

Nanda nyengir. "Baru mulai minggu kemarin."

"Oh..." aku mengangguk-anggukan kepalaku.

"Aku jarang liat kamu lagi disini."

Aku terkekeh. "Iya, baru mulai lagi nih sekarang."

"Eh, Nay," setelah jeda beberapa detik, Nanda memulai kembali obrolan.

"Hmm?" aku menoleh, menunggu Nanda berbicara.

"Eza kemarin chat gue." ucapnya kasual.

Apa masalahnya tentang Eza chat Nanda? Itu sama sekali bukan urusanku.

HIMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang