24

1.6K 105 11
                                    


Eza berdiri dibelakangku. Tersenyum kebawah menatapku. Eza menyelimutiku dengan selimut rajut cokelat (mungkin miliknya).

Lalu dia duduk di sebelahku.

"Thanks." kataku dan aku memeluk selimutnya. Merasakan hangatnya kain rajut dan aroma parfume Eza.

"Kok, belum tidur?" tanyanya.

"Keliatannya kalau orang belum tidur kenapa?" aku berbalik tanya.

Eza terkekeh. Tangannya memainkan batu-batu dan sesekali ia lempar ke arah api unggun.

"Kenapa sih selalu ada jawaban yang aneh dari kamu? Belajar dari siapa sih?" Eza melihatku dengan tatapan gemas dan suara menjijikannya yang berubah kayak bapak-bapak ngobrol sama anaknya.

Bayangin aja gimana Eza sekarang. Aku yakin kamu juga bakalan mengerutkan keningmu.

"Belajar dari kamu." jawabku singkat.

Mengalihkan pandanganku pada api unggun lagi.

Eza terkekeh. "Oh, bagus deh."

"Za, gimana caranya bisa tidur?" tanyaku terasa frustasi.

Rasanya badanku terlalu capek memikirkan hari ini yang terasa begitu lama. Tapi pikiranku nggak berhenti berbicara pada diriku sendiri tentang kenapa setiap aku bersama Revan bawaannya biasa aja? Kenapa setiap kali aku bersama Revan selalu aneh? Dan setiap kali aku bersama Eza rasanya berbeda? Seakan semua jenis pertanyaan itu terus menggema.

Belum lagi pikiranku yang terkadang membayangkan ujian nasional beberapa bulan lagi, kuliah, mungkin aku nggak akan bisa bertemu sahabat-sahabatku, atau mungkin bertemu Eza juga akan sulit. Semuanya keluar begitu saja.

Aku menutup wajahku dengan kedua telapak tanganku. Semuanya melelahkan.

Tapi terkadang pemikiran indah juga datang. Sekalipun hatiku mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja, tapi pikiranku selalu mengelak. Serumit itu. Dan aku benar-benar tidak bisa tidur karena dikuasai pikiran negatifku sendiri.

Argh. Sial.

"Nay?" Eza memanggil namaku. Nada suaranya, cara ia memanggilku terdengar berbeda dari biasanya.

"Mmm?" sahutku.

"Mau tau sesuatu nggak?" tanyanya.

Aku masih dalam posisiku. Kepalaku tenggelam dalam kedua telapak tanganku.

"Apa?"

Eza berdeham. Mungkin dia mau memulai berbicara?

"Kamu masih percaya sama fairytale nggak?" Tanyanya.

Aku mengendus. "Nggak sama sekali." jawabku malas.

"Kamu boleh kok nggak percaya sama fairytale, yang hidupnya selalu happily ever after. Tapi kamu harus punya pemikiran itu."

Aku mengadah, menatap Eza.

"Maksud kamu?"

"Kamu bisa aja nggak percaya sama hidup yang selalu bahagia, tapi kamu tetep harus punya harapan itu di hati kamu. Supaya suatu saat kamu lagi jatuh, kamu bisa inget apa yang bisa buat kamu bangkit dan bahagia."

Ow. Jam 2 pagi. Aku duduk bersama Eza. Ditemani api unggun. Dan mendengarkan kata-katanya yang menyentak hatiku.

"The world isn't all cupcakes and rainbows, cause it isn't." kataku, mengutip kalimat Branch dalam film cartoon Trolls.

Ah, aku bahkan membenci film itu detik ini karena aku merasa sekarang aku merasakan berada dalam posisi Branch.

"But you did rather go through life thinking that it mostly." Eza melanjutkan.

HIMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang