PMB 32 : Pungguk Dan Darah (2)

Start from the beginning
                                    

**

"Apa rencana kamu untuk ke depannya?" Raffa bertanya sambil memperhatikan Rasty yang membersit hidung dengan sehelai sapu tangan.

Rasty menggeleng, suaranya serak ketika menjawab, "Aku nggak tahu. Sejujurnya aku bahkan nggak ngerti lagi apa yang harus ku perjuangkan."

Raffa tersenyum ketika menanggapi, "Kamu boleh nangis, capek dan bahkan ingin lari dari masalah kamu. Tapi kamu nggak boleh menyerah, karena hanya pecundang yang membelakangi mimpinya sendiri."

"Tapi mimpiku berdarah-darah," Rasty menjawab dengan getir, "Aku nggak yakin masih akan memiliki kebanggaan menyabet gelar Miss Universitas dengan semua kejadian ini."

"Kamu harus tahu kalau kebanggaan itu datang setelah kamu berhasil menyelesaikan pekerjaan sebagai Miss Universitas," Raffa mengoreksi ucapan gadis itu dengan nada serius, "Berhasil menyabet gelar Miss Universitas itu memang mengundang kebahagiaan, tapi bangga hanya bisa diperoleh setelah kamu berhasil menyelesaikan kewajiban sebagai ikon kampus."

"Kak Raffa ngomong gitu kayak pernah jadi Miss Universitas aja."

Raffa terkekeh mendengar nada menuduh itu, "Aku memang nggak pernah dan nggak akan pernah jadi Miss Universitas, tapi pengalaman selama berorganisasi telah membuktikan kalau aku hanya bangga setelah berhasil menyelesaikan kewajibanku."

          Nasihat itu membuat Rasty menghela napas penat. Pandangan gadis itu berputar hingga tertumbuk pada sosok Randy dan Lala yang sedang berbicara dengan orangtua Nandhita. Entah apa yang kedua orang itu bicarakan, tapi sepertinya orangtua Nandhita menanggapinya dengan baik. Dan ketika Rasty menoleh ke arah lain, ia bisa melihat Nathan membukakan pintu mobilnya untuk Alana.

"Kenapa Kakak tiba-tiba membicarakan masalah ini?"

"Karena ku pikir kamu akan ragu dengan tujuanmu sendiri, setelah menyaksikan peristiwa mengerikan kemarin."

"Nggak harus hari ini," Rasty menjawab dengan suara pelan, "Ketika Kak Nandhita baru dimakamkan, Randy berdiri nggak terlalu jauh dari kita, dan tunangan Kakak hanya beberapa langkah di depan sana."

Raffa menoleh ke arah Alana yang menurunkan kaca jendela untuk memperhatikannya, dan melambaikan tangan tanda meminta gadis itu untuk menunggunya sebentar lagi, "Aku juga nggak tahu kenapa. Menurut kamu gimana?"

"Pergilah," Rasty menggedikkan bahunya, "Kak Raffa udah jadi brengsek tanpa perlu melakukan ini."

Raffa menghela napas dan menjawab, "Aku tahu."

"Memintaku untuk terus mengejar mimpi, padahal Kakak sendiri nggak tahu harus berbuat apa terhadap keinginan Kakak, itu terdengar menggelikan sekali."

"Aku nggak punya pilihan Ras," Rahang Raffa mengeras karena sindiran itu, "Ini bukan cuma tentang apa yang aku mau, atau gimana perasaanku terhadap kamu, melainkan juga tentang orang-orang yang terlibat dalam hubunganku dengan Alana. Setidaknya kamu punya kebebasan untuk memilih ingin melanjutkan atau meninggalkan impian kamu sebagai Miss Universitas, tapi selamanya aku akan jadi tunangan Alana kecuali dia yang ingin pergi dari sampingku."

"Apa yang kamu harapkan dariku?" Raffa melanjutkan karena gadis itu hanya diam, "Dukungan? Waktu? Perhatian? Aku akan berikan sebanyak yang kamu minta, kecuali status hubungan. Untuk yang satu itu aku nggak bisa, kamu tahu alasannya."

Rasty mendongak untuk menatap awan yang bergulung di atas kepala mereka dan bergumam, "Kalau gitu aku punya satu permintaan lain."

"Apa?" Tanya Raffa terdengar waspada.

"Pergi," Rasty menggedikkan bahunya, "Dengan begini kita akan berhenti saling menyakiti."

          Susah payah Raffa menelan liurnya. Ekspresi terpukul dan kecewa bergantian menghiasi wajahnya, tapi sepertinya pria itu tidak punya pilihan lebih baik karena pada akhirnya ia mengangguk juga.

Pungguk Yang Merindukan Bulan - Slow UpdateOn viuen les histories. Descobreix ara