Now 21

317 15 1
                                    

      Aku mengetuk-ngetukkan jariku menunggu pesanan Cappucino Ice-ku yang belum kunjung datang. Aku melirik jam tangan sebentar, orang yang kutunggu pun belum terlihat batang hidungnya.

      "Segelas cappucino ice, masih ada tambahan mbak?" tanya si pelayan. Aku hanya menggeleng sambil tersenyum, lalu sang pelayan pun undur diri.

      Pulang kuliah, aku memang mengajak Varo mampir sebentar di cafe dekat kampus. Mitha mengantarku kesini namun segera pamit karena ia pikir aku perlu privasi untuk bicara dengan Varo kali ini. Padahal aku tahu sebenarnya hari ini dia ada janji dengan Nilo.

       Sementara itu, Varo yang tadi izin untuk tidak mengantarku karena ada urusan mendadak di BEM sampai sekarang belum menunjukkan batang hidungnya. Barulah setelah jam menunjukkan pukul 17.05 WIB pintu cafe terbuka dan menampilkan wajah Varo yang seperti orang kesetanan, melirik kesana kemari sambil mengelap peluh di dahinya. Ranselnya bahkan tidak tertutup sempurna, membuatku bisa melihat Buku Merah KK UI yang bertengger disana.

      "Sorry sayang, biasa si kampret muter-muter ngomongnya." Aku tahu yang dimaksud si kampret disini adalah ketua BEM. Maafkan atas sebutan yang kurang ajar tersebut namun Varo sebenarnya sangat tidak suka dengan ketua BEM yang menjabat kali ini. Padahal aku dengar mereka sepupuan, ya sepupu jauh sih.

      "Pesen minum dulu," kataku seraya menyodorkan buku menu.

      "Eh gue disebelah loe yah, ini kursinya nggak nyaman."

      Aku terkekeh mendengar alasan Varo. Aslinya aku tahu bahwa dia ingin modus menggenggam tanganku. Mumpung dikasi kesempatan, sekalian saja aku bersandar di pundaknya.

      "Kangen..." lirihku.

      "Yakin? Bukannya kamu seneng-seneng selama aku pergi?"

      Aku refleks mengangkat kepala lalu menatap Varo setelah mendengar jawabannya. Apa Varo sudah tahu?

      "Aku denger kamu reunian sama temen-temen SMA kamu." Aku sih tahu ini pasti ulah Mitha si ember bocor.

      "Gue mau ngomong panjang lebar. Sebelum selesai jangan nyela dulu yah?" kataku seraya kembali bersandar di pundak Varo. Kurasakan genggaman tangannya mengerat.

      "Masih ingat Tio kan?" Varo mengangguk.

      "Sabtu, aku ketemu dia lagi."

      Aku melirik Varo sejenak, wajahnya lempeng sambil menyesap cappucino hangatnya.

      "Gue sama Tio, nggak hanya sekedar temen SMA. Gue sama dia udah barengan terus dari kecil, dari gue bahkan masih berak di celana. Kita sahabat, sahabat banget."

      "Tapi karena ada sedikit slek pas SMA kelas dua, gue sama dia jadi jauh-jauhan. Kemarin itu pas ketemu Nilo dan Tio, itu pertama kalinya gue ketemu dia lagi setelah lulus SMA. Malemnya, dia line gue mau ketemu. Gue mengiyakan aja. Gue pikir ini saatnya kita buat bicara baik-baik tentang apa yang udah berantakan. Akhirnya, gue sama dia baikan setelah ketemuan itu. Besoknya dia ngajak gue jalan lagi, ketemu sama temen SMA gue yang lain. Ajak Mitha juga. Ya gitu aja sih. Kita hangout bareng."

      Varo mengangguk. Tatapan matanya tidak terbaca.

      "Kok... kamu nggak ngomong apa-apa sih?"

      "Aku harus ngomong apa emangnya ?" Varo mengangkat satu alisnya.

      "Kamu nggak ada kaget gitu ?"

      "Biasa aja sih..." Jiah, nggak sesuai ekspektasi.

      Aku pun mendengus. Yah, harusnya dari awal aku ingat, Varo ini tipe orang yang nggak suka menyimpulkan sesuatu terlalu cepat, nggak suka berprasangka buruk, dan selalu tenang menyikapi sesuatu. Ini aku pernah berbuat kebaikan sebesar apa yah sampai mendapatkan anugerah seterindah dia? Lagipula aku tidak menceritakan tentang aku dan Tio yang pernah pacaran, jadi tidak ada alasan untuknya cemburu. Kenapa tidak kuceritakan? Karena menurutku tidak perlu.

NaveliaDove le storie prendono vita. Scoprilo ora