Now 31

276 16 0
                                    

      Navelia sedang membereskan barang-barangnya yang akan dibawa pulang ke Semarang ketika suara kakaknya dari luar kamar menginterupsi.

       "Dek, ada tamu diluar." seru Novano Priyandi, kakaknya yang sejak tiga hari lalu pulang dari perantauan.

       "Ya terus ?"

       Novan memutuskan untuk masuk tanpa menunggu izin dari Navel.

       "Temen loe tuh, ditemuin gih."

       Gerakan jari-jemari Navel yang melipat pakaian seketika berhenti. Teman mananya yang tahu kediaman neneknya ? Atau orang tuanya di Semarang sudah membocorkan keberadaan Navel? Ah, rasanya tidak mungkin. Begini-begini, orang tua Navel adalah pemegang janji yang teguh.

        "Nggak usah bengong, ditemuin aja."

        Navel akhirnya mengangguk pasrah. Belum juga ia sampai di ambang pintu, langkahnya terhenti dan kembali berbalik. "Kaaakk, temeninnnn !!!" Novan hanya mendengus kesal lalu mengacak-acak rambut adik satu-satunya. Ia sudah mendengar semua cerita dari Navel, sehingga ia cukup memahami bagaimana perasaan Navel saat ini. Meskipun begitu, Novan tetap tidak setuju dengan acara ngambek-ngambek plus kabur-kaburan yang dilakukan sang adik.

        Saat Navel keluar kamar dan berjalan lunglai menuju teras untuk mencari tahu siapa yang menunggunya diluar, kedua bahunya mendadak tegang, matanya membulat sempurna. Ia tidak menyangka, bagaimana bisa sosok yang ia lihat saat ini menemukannya disini, di tempat yang tidak pernah Navel ceritakan kepada orang lain, bahkan kepada sosok di depannya itu. Atau mungkin pernah? Tapi Navel lupa? Entahlah. Yang terpenting saat ini adalah bagaimana menghadapi seorang Tio.

       "Kayaknya kakak masuk aja, gue butuh  ngomong serius sama dia." sahut Navel.

       "Yaelah, tadi juga minta ditemenin. Labil loe dek." Lalu Novan berjalan terseok-seok menuju dapur. Di tengah jalan, Novan sempat berteriak mengingatkan "Jangan berbuat mesum ya..." Astagfirullah, untung neneknya sedang di kebun. Kalau di rumah, bisa-bisa Navel dan Tio dinikahkan saat ini juga.

       "Apa kabar ?" pertanyaan itulah yang terlontar dari mulut Tio pertama kali.

       "Loe kok bisa sampe sini sih?"

       "Insting,"

       Navel berpikir sejenak, dari sekian banyak kemungkinan, yang paling meyakinkan adalah mamanya yang membocorkan alamat nenek. Yah, mama mana tahan kalau sudah digombal sama Tio. Anak laki-laki kesayangannya gara-gara jablay ditinggal sama kak Novan.

       "Sampai kapan loe mau kabar Nav?"

       "Yang jelas nggak sampe berhenti kuliah."

       "Loe udah kelebihan piknik. Buru balik ke alam loe. Loe nggak cocok jadi gadis desa." Spontan, aku tertawa mendengar lelucon Tio. Sebelum akhirnya tawaku mereda karena teringat dengan ucapan Nindy waktu itu.

       Lepasin masa lalu loe.

       "Loe sendiri ? Ngapain kesini? Kekurangan piknik? Sampe nyusul gue kesini?"

       "Buat jemput loe."

       "Nggak perlu dijemput, gue bakal balik kok. Tenang aja."

        Balik ke gue-nya kapan Nav? Ingin rasanya Tio mengutarakan hal itu. Tapi ia ingat, Navel dan Varo belum putus secara baik-baik. Dan sangat konyol jika seorang Tio mengambil kesempatan dalam situasi yang belum kondusif. Butuh moment yang pas untuk memiliki wanita yang pas.

        "Seenggaknya, loe balik kek ke Semarang. Biar gampang dijangkau. Loe kira enak perjalanan kesini?"

        "Emang siapa yang nyuruh loe repot-repot kesini Adante Baroonnn???"

        "Varo."

        Tio berbohong. Varo tidak pernah memintanya. Ia bahkan tidak pernah berkomunikasi dengan cowok itu lagi sejak pulang dari Semarang karena tidak berhasil menemukan Navel.

        Jujur, Navel merasa sedikit terenyuh mendengar bahwa Varo yang meminta Tio kesini. Artinya, Varo masih tetap mengingatnya atau mungkin merindukannya ? Entahlah, tapi tetap saja, kurang total ketika bukan Varo sendiri yang datang. Rasanya, seperti pengecut.

        "Bodoh. Pake nyuruh orang. Nggak usaha banget." lirih Navel tanpa sadar, membuat Tio merasa ngilu disekujur tubuhnya.

         "Jadi loe mau diusahain?"

         "Eh enggak, maksud gue. Ya... Varo kayak cemen gitu. Nggak berani jalan sendiri. Eh tapi gue nggak ngarep ya. Gue udah nggak mau tau terserah dia."

         "Gue bakal nyuruh Varo buat lebih ngusahain loe."

         Entah kenapa, cairan bening mulai menggenang di pelupuk mata Navel ketika Tio mengucapkan kalimatnya barusan. Bagaimana mungkin, seorang Tio bisa mengatakan hal itu dengan lugas sementara... Tio sendiri masih menaruh rasa pada Navel. Sebuah rasa bersalah menyeruak, membuat Navel sesak. Kali ini, ia menyakiti Tio. Lagi.

        "Loe nggak perlu kayak gini Yo..."

        Tio menaikkan sebelah alisnya. Maksud Navel?

        "Gue udah tahu, kalau loe...Gue-"

        "Gue juga udah tahu dari Nindy kalau dia kasih tau loe." sela Tio cepat, sebelum Navel menyelesaikan kalimatnya. Membuat kebisuan tercipta diantara mereka.

        "Gue nggak mau nyakitin loe lagi Yo. Sebaiknya loe berhenti." Tio hanya diam, menyimak ucapan Navel lamat-lamat.

        "Keadaannya sekarang udah beda, dan... dan gue nggak mau ngulangin kesalahan yang sama."

        "Gue nggak mau kehilangan loe Yo."

        "Dan loe juga nggak mau kehilangan Varo?" pertanyaan Tio itu membuat gadis disebelahnya membeku. Tanpa Navel tahu,  bekuannya ikut membekukan hati laki-laki yang telah bertahun-tahun menjadi sahabat terbaiknya. Ia merasa sudah kalah bahkan sebelum berjuang.

         "Gue nggak mau kehilangan kalian berdua, gue sayang kalian berdua. Kalian berdua sahabat gue. Kalian sangat berharga buat gue."

         Tio menghembuskan napas kasar, bagaimanapun ia merasa tidak sudi untuk berada pada posisi yang sejajar dengan Varo. Varo mungkin dari keluarga berada, yang memiliki segalanya. Tapi bolehkah dalam hal perasaan, Tio yang lebih diatas ? Seketika ia mengingat pertanyaan Varo di akhir pertemuannya.

         Boleh gue maju duluan buat menembus benteng itu?

        Malam itu, Tio tidak menjawab. Ia memilih pergi, bergabung dengan tante Anis-Ibu Adnan untuk menyiapkan makan malam. Karena sesungguhnya, tekadnya sudah bulat untuk merebut Navel sesaat setelah ia mendengar kabar putusnya Navel dan Varo. Namun malam ini, Tio ragu. Apakah ia berhak memperjuangkan Navel? Apakah ia berhak atas Navel? Disaat ia merasa jauh dari pilihan Navel. Ia merasa jauh dari apa yang Navelia butuhkan.

        Setelah menghabiskan beberapa menit berperang dengan pemikirannya sendiri, Tio bangkit. Ia melangkah perlahan, meninggalkan Navelia yang masih duduk termenung di belakangnya.

        "Balik Nav, balik ke Jakarta segera. Dan... balik ke Varo."

------

Part ini pendek ya? Sengaja hehehe... Soalnya udah deket ending yeyyyy

Part berikutnya, bakal gue update hari ini juga disela-sela kegiatan gue baca slide. Doain ya, semoga sempat.

Jangan lupa vomment....

NaveliaHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin