Now 26

322 23 2
                                    

      "Prof. Farid ?" aku dan Mitha mengucapkannya hampir bersamaan namun sedikit berbisik. Mataku dan mata Mitha kini sudah saling beradu tatapan. Varo menatapku sambil meringis prihatin. Ia pasti merasa bersalah karena tidak pernah menceritakan tentang fakta ini.

      Prof. Farid kini bergabung di meja makan bersama kami. Ia duduk paling ujung sebagai kepala keluarga.

      "Maaf yah Om terlambat. Tadi pasien numpuk."

      Semua mengangguk mengerti, termasuk aku dan Mitha. Tio yang menyadari keganjilan pada diriku, menggenggam tangan kananku berusaha menenangkan. Beberapa detik setelahnya, aku juga merasakan genggaman ditangan kiriku. Varo menatapku sambil membisikkan, "Sorry." Aku hanya mendengus kesal.

       "Ya udah yuk kita makan. Kalian pasti sudah lapar." Mendengar perkataan Prof. Farid, Adnan dan Kelvo dengan cekatan mengambil segala macam lauk yang disediakan. Makanan di piring mereka sudah menggunung.

      "Ehm.." aku berdehem untuk mengingatkan dua orang disebelahku ini. Masalahnya, mereka berdua menggenggam tanganku. Bagaimana aku bisa makan? Refleks Tio dan Varo melepaskan genggamannya.

      Setelah makan bersama, kami kembali berkumpul di ruang tengah. Sepertinya malam ini sedikit membosankan karena hanya dihabiskan untuk sekedar berbincang ringan. Padahal aku menginginkan kegiatan yang lebih mengasyikkan seperti maraton film misalnya ?

      Varo kembali memperkenalkan kami kepada papanya. Pada saat memperkenalkanku dan Mitha, Prof. Farid dengan sigap mengatakan "Aku tidak mungkin melupakan muridku sendiri, sejawat kita." Artinya, Prof. Farid masih mengingat wajahku dan Mitha. Tentu saja, mana mungkin ia lupa.

      Aku dan Mitha adalah siswa yang dua bulan lalu terlambat di kuliahnya. Prof. Farid adalah orang yang sangat disiplin, ia tidak akan memperkenankan kuliahnya diganggu oleh siapapun sehingga ia membentakku dan Mitha, menyuruh kami keluar. Lalu pintu dikunci dari dalam.

      Seminggu lalu, aku dan Mitha mengurus kartu hasil studi untuk keperluan mendaftar beasiswa. Di KHS tersebut perlu dicantumkan tanda tangan PD 1, sehingga membuat kami mau tidak mau berhadapan langsung dengan Prof. Farid. Awalnya, aku berusaha tenang karena yakin Prof. Farid sudah tidak mengingat wajahku. Namun, setelah bertemu dengan Prof. Farid, KHS-ku baru ditanda tangani sejam kemudian karena ia mengungkit kesalahanku dan Mitha di masa lalu. Membuat kami harus rela mendapatkan petuah-petuah yang disampaikan dengan nada rendah namun menusuknya sampai ke hati.

      "Navelia, Mitha, sudah tidak sering terlambat kan?" tanya Prof. Farid.

      Aku dan Mitha saling pandang lalu mengiyakan dengan sopan. Jujur, aku tidak suka dengan atmosfer saat ini. Semua terkesan kaku. Setiap orang menjaga ucapannya dan sikapnya karena bisa dilihat bahwa tante Diana dan Prof. Farid sangat elegan serta bersuara tegas membuat kami segan. Rasanya kami berbincang dibawah tekanan, membuat sesak didalam. Bahkan Adnan, Kelvo, dan Tio yang biasanya tetap cerewet dan tidak jaim di depan orang baru termasuk orang tua kami dulu tampak lebih diam, mungkin mereka juga bisa merasakan aura intimidasi dari Prof. Farid dan keeleganan tante Diana.

      Yang membuat atmosfer lebih buruk adalah karena terbentuknya dua kubu perbincangan. Tante Diana asyik berbincang dengan Nindy. Ternyata mereka sama-sama memiliki latar belakang perbankan. Tante Diana juga dulu bekerja di bank, memulai semuanya dari nol. Hingga hampir diangkat menjadi kepala bagian di sebuah cabang akan tetapi batal karena bertepatan dengan masa-masa persiapan pernikahannya dengan Prof. Farid. Sementara untuk menjadi Kabag butuh pelatihan selama berbulan-bulan. Karena sulit membagi waktu antara pekerjaan dan urusan rumah tangga, tante Diana memutuskan untuk berhenti bekerja. Varo mau tak mau ikut bergabung dalam kubu tante Diana untuk jaga-jaga agar tante Diana tidak menanyakan hal-hal yang terlalu pribadi kepada Nindy.

NaveliaWo Geschichten leben. Entdecke jetzt