Bab 4 - Married Couple

Start from the beginning
                                    

Ketika menunduk, Evelyn melihat kemeja putih Arman yang tergantung di bahunya, sementara pria itu menariknya hingga menutupi bagian depan tubuh Evelyn.

"Mandi sana," Arman berkata seraya mundur. "Dari kemaren kamu belum mandi, kan?"

Evelyn ternganga tak percaya. Ia sudah akan protes, tapi ia menutup mulut dan memalingkan wajahnya saat Arman melepaskan kaos yang ia kenakan di hadapan Evelyn.

"Abis kamu mandi nanti, langsung turun ke bawah buat sarapan," ucap pria itu lagi.

Evelyn sudah menoleh untuk membalas Arman, tapi mendapati pria itu berdiri menghadapnya dengan kemeja yang belum dikancingkan, Evelyn kembali menahan kalimatnya dan memutar tubuh.

"Padahal biasanya aku cuma make handuk atau jubah mandi kalau abis mandi," Arman kembali berbicara. "Tapi kamu pasti bakal histeris kalau aku beneran nggak make apa pun di depanmu, kan?"

Evelyn mendesiskan umpatan kesal. "Bilang kalau kamu udah selesai," Evelyn meminta.

"Aku masih ganti celana. Tapi nggak masalah juga meski kamu liat. Toh kita udah nikah," jawab Arman santai.

Evelyn kembali mengumpat kesal. Ia menajamkan telinganya. Setelah mendengar suara ikat pinggang, barulah Evelyn memutar tubuhnya. Ia mendesah lega melihat Arman sudah berpakaian lengkap dan sedang memasang ikat pinggangnya.

"Kalau kamu nggak mau nonton aku tanpa pakaian di sini, trus ngapain dari tadi kamu di sini dan bukannya mandi?" ucap Arman dengan nada meledeknya.

"Ada yang mau aku tanyain sama kamu," balas Evelyn cepat.

"Harus sekarang?" Arman kembali menghampiri Evelyn.

"Kamu mau ke mana?" tuntut Evelyn.

"Ke kantor," jawab Arman santai seraya menarik Evelyn menepi agar ia bisa membuka laci kacanya. Pria itu mengeluarkan dasi berwarna merah marun dengan motif garis.

Evelyn menyipitkan mata. "Kita baru aja nikah kemaren dan kamu udah mau ke kantor?"

"Kemaren aku udah bilang kan, kita nggak bakal pergi bulan madu karena aku nggak bisa ninggalin kerjaanku," Arman menjawab sembari mengenakan dasinya.

Evelyn mendengus tak percaya. Kenapa tidak sekalian saja dia menikah dengan pekerjaannya?

"Kenapa? Jangan bilang kamu kecewa karena aku bakal ninggalin kamu sendirian." Lagi-lagi nada meledek itu.

"Perasaan kemaren kamu yang ribut ngomongin tentang image pernikahan yang sempurna. Tapi kamu langsung pergi ke kantor di hari setelah pernikahan?" cibir Evelyn.

"Masalah image, biar aku yang mikirin itu. Karena itu urusanku." Arman mengencangkan dasinya. "Jadi kamu nggak usah ikut campur. Kamu cuma perlu ngelakuin apa yang aku suruh aja."

Ingin rasanya Evelyn mencekik pria sombong tidak berperasaan ini dengan dasi yang melingkar di lehernya itu.

"Aku turun dulu," Arman berkata seraya menyambar salah satu jas kerjanya, lalu lebih dulu keluar dari ruang ganti itu. "Pas kamu turun nanti mungkin sekretarismu udah datang. Kamu bisa ngomongin jadwalmu sama dia."

"Tunggu!" seru Evelyn ketika Arman hendak membuka pintu. Evelyn keluar dari ruang ganti dan melanjutkan, "Kita turunnya bareng."

Arman mengangkat alis.

"Aku bakal mastiin image pernikahanmu di luar sana baik-baik aja, jadi kamu juga harus ngelakuin hal yang sama buat aku di rumah ini," sebut Evelyn.

"Di rumah ini?" tanya Arman heran.

"Aku juga nggak mau orang-orang di rumah ini mikir kalau kita menikah karena terpaksa. Karena aku pengen keluargaku ngeliat aku baik-baik aja di rumah ini. Bahkan lebih bagus lagi, bisa bahagia di rumah ini," ucap Evelyn. "Jadi di depan para pelayan, di depan papamu, di depan Lyra, di depan keluargaku, pastiin kamu juga jaga image pernikahan sempurna kita."

Marry Me or Be My Wife (End)Where stories live. Discover now