Bab 1

490 11 0
                                    

Tanggal 11 bulan 9. 

Hari kedua setelah hari raya Cong-yang.

Cuaca cerah ceria.

Hari ini bukan hari raya, bukan hari besar juga bukan hari istimewa. Tapi hari paling mujur bagi Siau Ma alias si Kuda Binal, hari paling mujur dalam jangka tiga bulan belakangan ini.

Hari ini Siau Ma hanya berkelahi tiga kali, tiga babak, tubuhnya hanya kena sekali bacokan golok. Luar biasanya adalah sampai saat ini masih belum mabuk.
Malam telah larut, Siau Ma masih berjalan tegap dan kuat dengan kedua kakinya, ini kejadian luar biasa, kalau tidak mau dikata keajaiban.

Bagi orang lain setelah minum arak sebanyak itu, terluka oleh bacokan golok lagi, apa yang dilakukan kecuali telentang di tanah merintih dan meregang jiwa menunggu ajal.
Bagi ukuran Siau Ma, bacokan golok itu tidak dirasa berat, padahal kalau bacokan golok itu ditujukan ke batang pohon sebesar paha, pasti pohon itu roboh terpotong jadi dua, coba bayangkan betapa parah luka yang diderita Siau Ma.
Serangan golok itu tidak cepat, namun pemilik golok itu mahir membelah seekor lalat yang sedang terbang di udara, malah bukan hanya seekor lalat yang berhasil dipotongnya.

Jikalau peristiwa ini terjadi tiga bulan kemudian, meski ada tiga atau lima batang golok membacok tubuhnya, Siau Ma dapat merampas satu dua batang, menendang satu dua batang di antaranya, sisanya yang sebatang dengan mudah dia patahkan jadi dua potong.

Bahwa hari ini si Kuda Binal hanya terkena satu bacokan golok, bukan lantaran tidak mampu berkelit, tidak bisa menghindar, juga bukan karena dia mabuk.
Dia terbacok karena ingin merasakan bacokan golok lawan, ingin menikmati bagaimana rasa dan betapa nikmat bacokan golok Peng-lohou dari Ngo-hou-toan-bun-to yang terkenal lihai itu.
Bacokan itu tentu tidak enak, tidak nikmat, sampai sekarang, bacokan golok di tubuhnya itu masih mengalirkan darah.
Maklum, baja tajam yang beratnya empat puluh tiga kati, kalau membacok tubuh orang, orang itu pasti celaka. Manusia mana yang mau dibacok golok dengan percuma.

Tapi Siau Ma senang, dia gembira. Peng-lohou yang membacok dirinya malah celentang tak bergerak di tanah. Karena saat goloknya membacok Siau Ma, untuk sementara bocah ini bisa melupakan penderitaan lahir batin. Siau Ma memang sengaja menyiksa diri, supaya dirinya menderita. Dengan cara apa saja dia ingin melupakan derita batinnya.

Dia tidak takut mati, tidak takut miskin, biar dunia kiamat, langit ambruk menindih kepalanya juga tidak peduli. Akan tetapi derita batin yang satu ini, membuatnya sengsara.

* * *

Bulan purnama menyinari jalan raya nan sunyi hening, lampu sudah dipadamkan, penduduk sudah tidur lelap, kecuali Siau Ma seorang, di jalan raya tidak kelihatan bayangan manusia. Dari kejauhan, mencongklang datang sebuah kereta kuda yang besar.

Kuda gagah dan tegap, kereta megah dan baru, kabin kereta kelihatan bersih mengkilap seperti kaca, tempat duduknya baru dan empuk. Enam laki-laki kekar duduk berdesakan di tempat kusir, yang memegang tali kendali mengayun cemeti panjang di tangannya, "Tar" suaranya menggelegar di udara malam nan lelap.

Bukan saja tidak melihat, seolah-olah Siau Ma juga tidak mendengar datangnya kereta yang dicongklang cepat di jalan raya. Di luar dugaan, kereta besar itu mendadak berhenti tak jauh di depannya, enam laki-laki berpakaian hitam yang duduk di tempat kusir serentak melompat turun merubung sambil melotot, mendelik gusar, gerak-gerik mereka cukup gesit dan cekatan. Seorang yang berdiri paling depan bertanya sambil menatap tajam, "He, kau ini Siau Ma yang suka mengajak orang berkelahi itu?"
Siau Ma mengangguk, sahutnya, "Betul, kalau kalian ingin berkelahi, carilah diriku."

Orang-orang itu mendengus ejek, jelas Siau Ma dianggap kucing yang sedang mengantuk dan tidak dipandang sebelah mata oleh mereka, katanya, "Sayang sekali, kedatangan kami bukan untuk berkelahi dengan kau."
"O, bukan untuk berkelahi?" Siau Ma menegas.

Serial 7 Senjata (Qi Zhong Wu Qi Zhi) - Gu LongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang