Bab 10

319 10 0
                                    

Di bawah cuaca yang remang-remang, di belakang kuil yang berlapis-lapis, padri tua beralis putih itu duduk bersimpuh memberi wejangan panjang lebar kepada pemuda yang berlutut didepannya.

Dalam detik-detik yang gawat ini, bayangan masa lalu mendadak terpeta dalam benaknya. Petuah-petuah bak mutiara kata yang tulen dan sejati, laksana baja yang ditempa, kembali terngiang di telinganya, Sayang sekali, sejak lama Teng Ting-hou melupakan wejangan gurunya itu, di saat keadaan sudah gawat baru dia teringat, tapi sudah terlambat.

Akhirnya Teng Ting-hou sadar bahwa sekujur tubuhnya seperti dibelenggu kencang oleh suatu arus yang lunak tapi ulet, selunak otot yang mengering, dipotongpun tidak bisa putus. Umpama macan yang kecemplung di air yang dalam, atau lalat yang tersangkut di sarang laba-laba. Laksana bayangan raksasa, telapak tangan Pek-li Tiang-ceng yang mirip kipas itu menindih tubuhnya. Jelas Teng Ting-hou tidak mampu mengelak. Bagaimanakah rasanya mati. Teng Ting-hou sudah memejamkan mata. Terbayang olehnya, di kamar pengantin pada malam pertama pemikahannya, betapa lembut isterinya memberi kenikmatan, tubuhnya yang montok kenyal dan paha yang mulus. Entah mengapa dalam sekejap sebelum ajalnya, semua adegan masa lalu terbayang dalam benaknya. Sandang pangan istri dan anak-anakku yang semua perempuan itu tidak akan kekurangan seumur hidup, tiada persoalan yang perlu dibuat kuatir, aku dapat mangkat dengan rasa lega. Apa betul hatinya lega? Sesat tak mungkin mengalahkan kebenaran, keadilan akhirnya pasti menang. Mengapa justru dia yang kalah?

Walau dirinya kalah, namun ia percaya, keadilan dan kebenaran itu tidak akan pernah tumbang.

Di saat Teng Ting-hou memejamkan mata, di kala jiwanya terancam elmaut, mendadak segulung angin kencang menyelonong dari samping mematahkan tenaga pukulan Pek-li Tiang-ceng, seumpama sinar mentari mengusir bayangan gelap di balik gunung. Demikian pula tenaga besar itu mirip sinar matahari, walau hangat dan lembut, tapi tak boleh dilawan atau ditahan.

Pek-li Tiang-ceng mundur tiga langkah, matanya terbelalak, dengan kaget dia mengawasi orang yang mendadak menyelonong dari pinggir. Waktu melihat orang ini, setelah Teng Ting-hou membuka mata, dia pun kaget dan terkesima.

Tadi orang ini kelihatan loyo dan reyot, bungkuk lagi, kalau berjalan timpang dan terseok-seok, namun sekarang dia berdiri tegak dan angker, sorot matanya pun tidak redup, tapi berubah garang, gagah dan muda bercahaya.

"Kau bukan Oh-lo-ngo?" teriak Teng Ting-hou.

"Ya, bukan."

"Siapa kau?"

Rambut awut-awutan yang sudah beruban itu ternyata rambut palsu, demikian pula kulit muka yang berkerut- merut itu ternyata adalah topeng, setelah rambut palsu dan topeng dikelupas, tampaklah seraut wajah gagah jenaka di balik topeng, wajah yang tidak akan bosan untuk dipandang meski sehari semalam.

Ting Si.

Tanpa kuasa, Teng Ting-hou menjerit kaget, namun girang. "Ting Si?"

Pek-li Tiang-ceng menatapnya nanar. "Jadi kau inilah Ting Si yang pintar itu?"

Ting Si mengangguk, rona aneh terbayang disorot matanya, mimiknya pun ganjil.

"Ilmu silat apa yang barusan kau gunakan?" tanya Pek-li Tiang-ceng sambil menatap tajam.

"Ilmu silat tetap ilmu silat, ilmu silat hanya ada satu jenis, entah ilmu silat untuk membunuh orang atau ilmu silat untuk menolong orang, sama saja."

Bercahaya mata Pek-li Tiang-ceng, tak terduga olehnya pemuda ini bisa mengemukakan falsafat yang mendalam artinya. Seluruh jenis ilmu silat yang ada di dunia ini memang berasal dari satu sumber, semua sama.

Walau makna ini sudah jelas dan gamblang, semua insan persilatan tahu akan hal ini, namun orang yang benar-benar memahami falsafat ini amat jarang, sedikit yang bisa menyelami maknanya.

Serial 7 Senjata (Qi Zhong Wu Qi Zhi) - Gu LongWhere stories live. Discover now