"Yakinlah, dia takkan melakukan perbuatan tercela."

"Demikianlah harapanku. Semoga doaku terkabul."

Mereka berdiri berhadapan dan saling tatap, senyum lebar menghias wajah mereka, perasaan pun menjadi lega longgar. Dengan langkah tegap dan lebar, mereka berjajar keluar dari lorong gelap itu. Sementara itu, malam sudah larut, hawa terasa dingin. Di luar tahu mereka, di suatu tempat yang gelap di atas sana, sepasang mata sejeli mata kucing tengah mengawasi gerak-gerik mereka. Bola mata siapakah itu?

Apakah nasib itu? Apakah nasib mirip tambang iblis, bagai ular beracun membelit kencang badan manusia, meski punya kekuatan raksasa sekalipun, tenaga takkan mampu dikerahkan, mati kirtu.

Mungkin juga secara tiba-tiba, nasib akan merebut sesuatu yang paling berharga dalam kehidupan, demikian halnya, waktu Ting Si merebut Ngo-hoa-coan-ki dulu. Ada kalanya, nasib dapat membelenggu dua orang yang pada hakikatnya tidak punya sangkut-paut, meski meronta dan ingin berpisah pun tidak mungkin bebas lagi.

Rumah paling tinggi dan paling megah di kota kecil ini adalah Ban-siu-lau.

Saat itu, Ting Si rebah telentang berbantal dua ta-ngannya di atas wuwungan Ban-siu-lau. Rebah tenang dan diam tak bersuara, juga tidak bergerak, telentang mengawasi bintang-bintang di langit.

Nasib seumpama tambang iblis membelenggu dirinya, sedemikian kencang sehingga dirinya tidak leluasa bergerak. Demikian pula perasaan hatinya saat itu, laksana tambang yang ruwet, tak bisa dibuka lagi.

Keruwetan apa yang bisa dilepas? Hanya keruwetan yang diikat sendiri dapat dibuka. Demikian pula keruwetan yang mengganjal dalam hati, sayang keruwetan yang satu ini bukan dia sendiri yang mengikatnya.

Masa kecilnya dulu dialami bagai mimpi buruk, riwayat hidupyang sengsara, mengenaskan.tapij uga penuh dilembari perjuangan yang gigih dan berat, meronta dalam kesengsaraan sudah menjadi modal hidupnya, bergelut dengan penderitaan adalah keahliannya. Kejadian masa lalu, pengalaman hidup yang penuh pahit getir, malu dibicarakan dengan orang lain.

Setiap persoalan tentu punya keruwetan yang berbeda. Kesepian yang tak berujung pangkal selalu menghinggapi sanubari, melembari kehidupannya. Kesepian adalah segi kehidupan yang mengerikan, membayangkan rasa sepi itu, mengkirik bulu kuduk Ting Si.

Kesepian berarti sebatangkara. Menyaksikan Ong-toasiocia dipeluk Teng Ting-hou di tempat gelap, melihat mereka keluar dari lorong gelap sambil bertatap muka dengan senyum manis. Rasa sepi kembali menggelitik sanubari Ting Si, rasa kesepian itu memang sudah berakar dalam lubuk hatinya sejak lama. Entah mengapa, dia merasa dirinya dicampakkan, dilupakan dan dikhianati. Dicampakkan atau dilupakan juga merupakan salah satu unsure yang mengandung kesepian, merupakan unsur yang sukar ditahan, membekas paling dalam.

Akan tetapi, Ting Si juga sadar, akibat dari semua ini adalah karena dia sendiri yang membuatnya. Sikapnya yang ketus, tutur kata yang dingin dan yang utama karena dia menolak permintaan nona itu, adalah logis kalau mereka sekarang melupakan dirinya.

Menyadari akan kesalahannya sendiri, Ting Si tidak menyesal, tidak perlu mengomel juga tidak iri, sanubarinya hanya merasa bersyukur sekaligus memujikan, semoga mereka hidup akur sampai hari tua. Rasa syukur yang suci lagi murni, namun dilandasi derita batin. Jika tahu betapa berat dan mendalam penderitaan batinnya, maka akan paham dan maklum, betapa menakutkannya 'salah paham' itu.

Waktu angin malam berhembus dari puncak gunung di kejauhan sana, suara kentongan pun berbunyi tiga kali. Mendadak Ting Si berjingkrak bangun, dengan kecepatan yang tidak terukur dia meluncur kepuncak gunung di kejauhan itu. Puncak gunung yang diliputi kegelapan terasa dingin dan berkabut tebal, lereng gunung yang semula hijau permai kini dibungkus kegelapan yang pekat tak berujung pangkal.

Serial 7 Senjata (Qi Zhong Wu Qi Zhi) - Gu LongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang