'Oppa! Eonni! Hentikan!' pekik gadis itu di balik punggung Hiro.

Aku tidak mempedulikan pekikan gadis itu. mata Sei tertuju pada tumpukan pedang kayu yang ada di pojok ruangan. tanpa pikir panjang aku mengejarnya dan menembakkan beberapa peluru udara kearah Sei. sei meraih sebuah pedang dan mengayunkannya kearahku dengan tangan kirinya. Sei tidak leluasa menggunakan tangan kanannya.

Aku membungkuk dan meraih sebuah pedang kayu sebelum ayunan pedang kayu Sei nyaris mengenai pelipis kiriku. Kakiku mundur beberapa langkah, menjaga jarak dari lelaki yang dulu kupercaya.Susah payah aku mencari lelaki yang dulu kupercaya dalam diri lelaki berambut merah yang ada di hadapanku. apa lelaki itu telah pergi dan tidak akan kembali lagi?

'Oppa! Hentikan! Sei Oppa!' pekik gadis itu lagi.

Sei tidak bergeming. Teriakan gadis itu tidak lebih dari angin lalu. Dan mata itu.. aku sangat mengenalnya.. mata yang dipenuhi keinginan untuk menghancurkan sesuatu – dan kini mata itu tertuju pada Zen. aku menghela nafas panjang. Nanti aku harus menginterogasi Zen, memastikan apa dia punya masalah pribadi dengan Sei yang belum ia selesaikan – andai kami bisa keluar dari ruangan ini dalam keadaan utuh.

'kau meminta Hiro membawaku kesini – untuk ini?' tanyaku tidak percaya.

'Eonni! Bukan! Jangan salah paham, Eonni!' gadis itu setengah berteriak.

'bahkan dia yang menjawab pertanyaan yang seharusnya kau jawab,' aku tertawa kecil menatap gadis yang ketakutan melihatku. Aku menghela nafas panjang. Entah kenapa aku merasa seperti orang bodoh. Dan aku tidak pernah mengizinkannya memanggilku 'Eonni.'

'Eonni! Dengar dulu! aku dan Sei Oppa-'

'Sei Oppa?' aku mendengus, 'luar biasa.. sebenarnya apa yang kulewatkan selama sebelas hari terakhir? Dia hamil? Janin itu milikmu? Apa aku masih harus membereskan kekacauan yang kau buat?'

'Jangan ganggu mereka,' kata Kai di balik punggungku.

'tapi – tapi Mika-' suara Zen terdengar panik.

'kalau kau ingin Mika selamat, tutup mulutmu dan jangan lakukan apapun,' potong Kai.

Kumohon, Kai, katakan hal yang sama pada gadis itu!

Aku menjatuhkan pedang kayu dan pistol yang kugenggam, 'tidak ada gunanya,' kataku, 'kalau memang tidak ada yang ingin kau bicarakan, aku permisi. Ada tamu yang harus kusapa di aula.'

Sesuatu mengayun kearahku saat aku berbalik. Spontan aku menunduk dan meraih kembali pedang kayu itu.

'aku belum mengizinkanmu pergi, Mika,' kata Sei dingin. Ia mengayunkan pedangnya lagi – mati-matian aku menangkis ayunan pedang kayunya.

'lalu kenapa kau tidak menjawab?' tanyaku saat ia berhenti menghujaniku dengan ayunan pedangnya yang sangat merepotkan.

'kalian.. kenapa kalian tidak hentikan mereka!?' tanya Zen.

'mereka tidak akan berhenti sampai mereka ingin berhenti,' jawab Hiro, 'biarkan saja sampai mereka puas.'

'tapi-'

'tunggu dan lihat saja,' potong Ryouta.

'kubilang, jangan!' Kai setengah berteriak.

'kalau kalian hanya diam dan menonton, terserah kalian! Tapi aku tidak akan tinggal-'

'jangan salah paham,' geram Kai, 'yang terbaik yang bisa kami lakukan saat ini adalah memastikan mereka tidak saling bunuh dan memastikan kau serta gadis bodoh itu tetap hidup.'

'apa?' Zen sulit mempercayai apa yang ia dengar.

'begitulah. Mereka tidak bisa dihentikan hanya dengan satu atau dua orang,' kata Hiro lemas.

mistakesWo Geschichten leben. Entdecke jetzt