05

306 42 6
                                    

Aku naik bus yang salah.

Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana caranya aku bisa pulang?

Kuputuskan untuk turun di halte dekat gedung itu dan duduk di depan gedung itu, persis seperti pertama kali aku menginjakkan kaki disini meski saat ini matahari tidak lagi bersinar di atas kepalaku. Waktu itu aku bisa sampai ke apartemen Rika berkat alamat yang Unknown berikan. Tapi seingatku apartemen itu bernama..

Entah.

Aku tidak terlalu ingat. Terlalu banyak hal aneh yang terjadi hari itu sehingga aku tidak memperhatikan detail seperti nama apartemen itu. atau mungkin kedai kopi itu. apa namanya? Kedai kakek? Kedai nenek? Citarasa kakek?

Putus asa aku mencari semua nama itu dan kali ini internet tidak bisa membantuku. Lunglai aku berjalan tanpa arah. Kalau aku menelepon Seven, aku yakin aku akan jadi bahan tertawaan semalam suntuk. Sudah cukup aku menghiburnya dengan masalah hantu tadi pagi.

V.

V pasti tahu alamatnya, tapi V bahkan tidak bisa dihubungi.

Agh, apa yang harus kulakukan?

Mengumumkan di messenger bahwa aku salah naik bus, aku tersesat dan aku tidak tahu jalan pulang? Seven mungkin akan membantuku, setelah ia selesai dengan tawanya yang nyaris membuat gendang telingaku pecah.

Ponselku berdering.

Zen.

'Halo,' kataku lirih.

'Oh, Mika? Cepat sekali. sedang apa? memikirkanku? Wah, kebetulan sekali, aku juga sedang memikirkanmu,' kata Zen.

'mungkin kita berjodoh,' balasku asal.

'Haha, jodoh? Mungkin juga.. tapi rasanya kita lebih seperti Romeo dan Juliet,' suara Zen yang ringan dan bersemangat memenuhi telingaku. Mau tidak mau harus kuakui bahwa suaranya sedikit mengurangi kepanikanku, 'tapi kita tidak akan berakhir seperti mereka. tidak ada yang bisa menghalangi kita! Kalaupun ada, aku pasti bisa mengatasinya!'

Aku tertawa kecil, 'Rasanya seperti punya seorang ksatria yang akan selalu melindungiku.'

'Bukan sekedar ksatria! Ksatria dengan baju besi yang mengkilap! Dengan kuda putih, pedang.. atau tombak? Mana yang lebih kau suka? Pedang atau tombak?'

'Pedang.. mungkin?' jawabku lirih.

'Mika? Apa kau sedang di luar?' tanya Zen.

'iya..'

'Sedang makan malam? Atau-'

'Zen..' potongku, 'aku tersesat. Aku tidak tahu ini dimana.. aku tidak bisa pulang..' kataku memelas.

'Eeeh?? Yang benar saja! Mika, kau dimana? Kau - kau ada di tempat ramai, kan?'

Kusebutkan nama gedung tempatku menunggu.

'Tidak jauh. Oke, tunggu sebentar. Jangan kemana-mana! Jangan bicara dengan orang asing!'

Sambungan itu terputus.

Aku tidak yakin dia bisa menemukanku. Dia tidak tahu wajahku seperti apa atau baju apa yang kukenakan saat ini. apa dia benar-benar bisa menemukanku?
Andai ia tidak bisa menemukanku, setidaknya ia telah berusaha, kataku dalam hati.

Dua puluh tiga menit empat puluh dua detik kemudian, Zen meneleponku lagi.

'Mika! Aku ada di dekat gedung itu. kau ada dimana?' tanya Zen.

'Aku.. aku bisa melihatmu, Zen,' jawabku saat melihat lelaki berambut silver itu di kejauhan.

'Oh, ketemu,' kata Zen. Wajahnya berbinar melihatku dan ia melambai kearahku dengan senyum lebar di wajahnya. Nafasnya sedikit tidak beraturan dan keringat membasahi dahinya. Apa dia berlari sampai kesini?

mistakesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang