02

517 54 1
                                    

Ia mematung di hadapanku, tak sepatah kata pun keluar dari bibirnya yang tertutup rapat. Sinar di matanya telah sirna, hanya ada bayangan kosong menghiasi mata sewarna langit senja itu. Dia lelah, hanya itu yang kutahu pasti.

'aku,' bisiknya. Aku nyaris tidak bisa mendengarnya.

Tanpa pikir panjang aku berjalan mendekat, tapi jarak antara aku dan dia tetap sama. Kupercepat langkahku, tapi tidak ada perubahan yang terjadi.Sekeras apapun usahaku untuk mendekat, aku tidak bisa mencapainya.

Apa?

Apa yang ingin ia katakan?

Tolong, kumohon, apapun, tapi tolong jangan katakan itu.

'aku,' bisiknya lagi, 'membebaskanmu,' lanjutnya dengan senyum tipis di bibirnya.

'jangan!' pekikku.

Spontan aku membuka mata. Dokumen milik Rika yang berserakan memenuhi pandanganku. Mimpi, kataku dalam hati. tidak dapat kupungkiri, aku merasa lega karena itu hanya mimpi. Setelah mengatur nafasku yang sedikit tidak beraturan dan menyeka keringat dingin di dahiku. Kutegakkan tubuhku hingga bayanganku terpantul di kaca yang berada tepat di atas meja rias milik Rika. Di atas meja itu hanya ada beberapa jenis lotion dan sebotol parfum berwarna pink yang mungkin sudah kadaluarsa.

Sekilas kuperhatikan bayangan rambut hitamku yang berantakan, mata hitam dan kulit pucat karena jarang terkena sinar matahari serta sedikit jejak air liur di ujung bibir merah mudaku. Aku segera menghilangkan jejak itu dengan punggung tanganku. Tidurku terlalu nyenyak, kataku dalam hati. tapi masih tidak cukup untuk menghilangkan kantung mataku yang kini telah memiliki kantung mata. Aku tersenyum kecil mengingat hari-hari tanpa istirahat, nyaris tanpa tidur dan sepotong sandwich bersamanya. Sekarang aku ada disini, hari-hari itu terasa seperti mimpi.

Ah.. aku ingin kembali.

Aku mulai membongkar dokumen milik Rika - hal terakhir yang kulakukan sebelum aku tertidur - mengeluarkan beberapa ring binder yang berderet di lemari disisi tempat tidur.

Lagi-lagi ponsel itu berdering tiada henti.

Aku meraihnya dan memandang angka yang tertera pada layar. Pukul tiga dini hari. Orang gila mana yang sibuk mengobrol pukul tiga pagi?

Sudahlah, biarkan saja mereka sibuk dengan obrolan mereka. Aku meraih sebuah ring binder berisi profil tamu tiga tahun yang lalu dan perlahan larut didalamnya. Tamu yang Rika undang berasal dari berbagai kalangan. Petani bayam, pengrajin kayu sampai daytrader dan importir buah-buahan. Dan dalam sekejap imajinasiku menjadi liar. Dengan akses pada petani bayam, aku yakin dia bisa membuat banyak project baru, entahlah, bayam kalengan? Saripati bayam?

Ah, lihat, pengrajin perak. Seingatku sudah lama dia ingin membuat project yang berhubungan dengan perak.Aku yakin ini kesempatan bagus. Aku hanya perlu menghubungi pengrajin ini dan membuat janji dan..

Aku terdiam.

Yeah, benar, mana mungkin aku membuat janji untuk orang yang tidak bisa kuhubungi. Bodoh sekali.
Kukendalikan imajinasi liarku dan lanjut membaca setiap huruf yang tertera pada profil pengrajin perak itu, berusaha sekuat tenaga tidak mengacuhkan ponsel yang berdering lagi, lagi dan lagi.

Aku menyerah.

Kututup dokumen itu dan kuraih lagi ponsel itu dan membuka aplikasi dengan 883 notifikasi pesan baru. Seingatku hanya enam orang yang menjadi anggota - jangan masukkan aku ke dalam hitungan - dan hampir seribu pesan baru dalam semalam? Aku hanya menepuk dahiku dan tersenyum kecil melihatnya. Rasanya aku tidak ingin membaca pesan mereka satu demi satu.

Saat aku masuk, hanya Jumin yang tersisa.

'...belum tidur?' sapanya sebelum aku sempat menutup aplikasi itu. Aku menghela nafas panjang. Aku tidak ingin mengobrol dengan Jaehee atau Jumin. Aku tidak ingin mereka tahu siapa 'Mika' yang bicara dengan mereka melalui aplikasi ini.

mistakesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang