01

1K 66 6
                                    

Ia mengirimku kesini.

Hanya berbekal sebuah ponsel yang bukan milikku dan sebuah tas berisi pakaian. Aku membuka dompet hitam yang tergeletak di dalam tas tangan berwarna hitam yang selalu kubawa kemanapun aku pergi. Hanya ada dua buah kartu kredit, tiga buah kartu atm, kartu identitas dan surat izin mengemudi yang berlaku di seluruh dunia, serta beberapa lembar uang yang berlaku di negara ini.

Sempat terlintas di benakku, apa ia begitu ingin menyingkirkanku?
Kalau memang itu yang ia mau, yang perlu ia lakukan hanyalah menyuruhku pergi dan jangan pernah menunjukkan batang hidungku lagi di hadapannya. Aku pasti menurut. Aku tidak mungkin melanggar perintahnya. Tidak mungkin.

Aku menatap langit biru dengan deretan awan putih berarak tepat di atas kepalaku.

Ini bukan pertama kalinya aku menginjakkan kaki di negeri ini, tapi negeri ini tetap terasa asing bagiku. Kendala bahasa? Tidak juga. Makanan? Air? Udara? Entahlah. Bagaimanapun juga, rumah adalah tempat terbaik, kan?

Dan rumahku adalah disisinya.

Dia yang mengulurkan tangan padaku meski aku selalu menolaknya, memaksaku berada di sisinya, di bawah naungan sayapnya yang terlalu kokoh dan kini ia mengirimku kesini.

Aku tertawa kecil.

Ternyata sudah waktunya aku bangun dari mimpi ini, kataku dalam hati.

Sekilas aku memandangi gedung bertingkat yang menjulang tinggi sepanjang mataku memandang, dengan lalu lintas yang padat namun teratur dan jalanan penuh sesak. Hampir semua orang sibuk dengan ponselnya.

Yeah. Ponsel.

Andai ponselku ada di tanganku, pasti tidak begini ceritanya. Setidaknya aku bisa sekedar chatting dengan teman-temanku, atau menelepon mereka atau sekedar mencari foto kucing di internet.

Aku menghela nafas panjang.

Kembalikan ponselku, bodoh!

Dan ponsel yang sejak tadi duduk manis di dalam tas kini mulai bergetar.

Pesan? Telepon?

Mungkin pemilik ponsel ini mencari ponselnya.

Aku sendiri tidak tahu dari mana ia mendapatkan ponsel ini.

Hm? Sebuah aplikasi? Sejenis messenger?

Aku menyentuh simbol aplikasi itu, dan seseorang bernama 'Unknown' mengirimkan pesan untuk siapapun yang memiliki ponsel ini. Sekarang ini, akulah pemilik ponsel ini, jadi tidak ada salahnya kalau pesan ini kubuka, kan?

'...Halo...?'

Mencurigakan.

Aku menggeret koper merah yang penuh dengan pakaianku menuju sebuah bangku dari kayu yang berada di bawah pohon besar berdaun rindang yang tidak kuketahui namanya.

Siapa? Unknown?

'?' balasku bingung.

'akhirnya, syukurlah, ada yang menjawab pesanku,' balasnya lagi.

'kau siapa?' jariku bergerak begitu saja.

'akhirnya tersambung, syukurlah. Maaf, aku yakin kau pasti kaget. Tidak setiap hari kau mendapat pesan dari orang yang tidak kau kenal, kan?'

Rasanya tidak.

Selama bersamanya delapan tahun terakhir ini, tidak jarang ponselku tidak berhenti berdering, pesan dari nomor yang tidak kukenal berisi ancaman bahkan beberapa kali aku diculik dan harus bernegosiasi dengan sebuah pistol menempel di pelipisku - tapi, yeah - memang tidak setiap hari aku mendapat pesan dari orang yang tidak kukenal. Masih ada beberapa hari dalam hidupku yang aman dan damai.

mistakesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang