08

239 35 3
                                    

Limo ini berhenti tepat di depan sebuah apartemen di pinggir kota. Bangunannya sudah termakan usia dan sedikit tidak terawat. Zen tinggal disini?

Paman itu mengantarku sampai ke depan pintu, sampai aku bertemu Zen. jumin hanya memberiku waktu dua jam untuk bertemu Zen, tapi entah kenapa aku ingin mengabaikan perkataannya.

'Mika!' Zen menyapaku di depan pintu.

'Zen, bagaimana kakimu?' tanyaku sambil melangkah tepat di belakangnya, 'maaf aku tidak sempat menyiapkan apapun untukmu..'

'jauh lebih baik,' jawabnya ringan, 'tidak apa-apa.. aku senang kau datang kesini, Mika.. duduklah, anggap rumah sendiri..'

Kuperhatikan setiap gerak gerik Zen. ternyata benar, dibandingkan semua selfienya, semua fotonya yang ada di internet dan majalah, Zen asli jauh lebih tampan.

'Zen?' panggilku saat Zen berjalan masuk, 'Zen?'

'tunggu sebentar, aku sedang - hmm.. apa tidak ada.. sepertinya tidak ada.. pagi tadi aku hanya membeli bungeoppang.. tapi seingatku..'

'Zen?' panggilku lagi, 'kenapa?'

'aah.. aku harus ke supermarket,' kata Zen canggung.

'aku saja yang pergi,' aku tidak mungkin membiarkannya pergi sendiri.

'kalau begitu, kita pergi bersama? Kalau begitu kita ke supermarket saja.'

'apa tidak apa-apa? kakimu..'

'aku tidak mungkin membiarkanmu pergi sendirian. aku tidak ingin kau tersesat. Saat ini aku tidak bisa lari ke tempatmu, Mika..'

Aku tersenyum kecil dan akhirnya mengangguk setuju. Aku berjalan pelan di sisinya, mendengakkan kepalaku hanya untuk menatap matanya saat aku bicara dengannya.

'kalau sedekat ini, mana mungkin aku tersesat!' omelku sambil mendorong keranjang belanjaan yang masih kosong.

Zen tertawa sambil mengacak rambutku, 'aku ingin pergi belanja denganmu, setidaknya satu kali.'

'hei, rambutku susah rapi,' protesku sambil merapikan rambutku yang sedikit berantakan, 'jadi, mau makan apa malam ini?'

'eh? Makan malam? Kau akan tinggal sampai makan malam?' tanya Zen.

'ah, benar, dua jam,' kataku cepat.

'jangan pedulikan apa yang dia katakan!' protes Zen.

'lalu bagaimana caranya aku pulang?'

'tidak usah pulang, tinggal disini saja,' gumam Zen. ia memalingkan wajahnya, tapi aku bisa melihat telinganya bersemu merah. Aku bisa membayangkan semerah apa wajahnya saat ini.

'brokoli, kau suka brokoli?' tanyaku asal, 'atau jamur? Pasta?'

'aku bisa makan apa saja,' jawab Zen.
Aku mendelik kearahnya dan mengambil tiga kilo cabai merah dan dua buah paprika merah yang tampaknya sangat menggoda.

'cabai? Paprika? Kau ingin membunuhku atau apa!?' protes Zen.

'katamu kau bisa makan apa saja,' kataku sebal. Kukembalikan cabai merah dan paprika merah itu ke tempatnya berasal.

Aku tidak mungkin memasak sup tahu untuk Zen. kalau begitu..
Setelah memenuhi keranjang belanja kami dengan aneka bahan makanan dan minuman - serta membayar semuanya tanpa mempedulikan protes Zen di sampingku, akhirnya kami kembali ke apartemen Zen.

'tunggu sebentar ya,' kataku sambil membawa semua yang kami beli ke dapur. Kukeluarkan apa saja yang akan kumasak malam ini - meninggalkan Zen di ruang tengah dengan semangkuk anggur hitam tanpa biji.

mistakesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang