Chapter 22 : I Love You, Harry.

311 51 4
                                    

[Short re-chapter]

Sekarang aku tak tahu harus berbuat apa. Hitung-hitung, aku baru saja makan tadi dan kue-kue dari malam kemarin masih bertumpuk di kulkasku. Kini, aku sudah tak punya hape lagi, yang setidaknya untuk menghibur diriku sendiri yang begitu kesepian ketika bolos kampus.

Dengan bodohnya, aku menerima ajakkan Harry untuk bolos. Ya, sebenarnya kukira dia akan mengajakku ke suatu tempat untuk merayakan keberhasilan misi bolos kelas, tapi nyatanya bahkan aku hanya ditinggalkan seorang diri tanpa internet. Memang, realita tak seindah drama korea.

Oh, aku benar-benar bosan sekarang! Harry, kau kemana, sih?!

+++

Setelah banyak berpikir, aku memutuskan untuk berendam dan membersihkan badanku dahulu, sambil memikirkan apa aktivitas selanjutnya—yang kuharap takkan membuatku bertambah jenuh.

Kira-kira sudah setengah jam lamanya aku berendam, aku membilas tubuhku lalu mengeringkannya dengan handuk kering. Sesudah seluruh badanku dirasa kering, aku langsung memilih bajuku untuk bersantai. Aku memutuskan untuk mengenakkan sweater putih dengan celana santai putih senada. Selanjutnya, aku menyisir rambutku yang kini tampak sudah mulai panjang.

[Pict on mulmed]

Pun, aku membuka kulkas dan mengambil sepotong kue choco lava dari café  tempo hari, ketika malam kemarin Harry tak menghabiskan kuenya. Lalu aku duduk di depan televisi, berniat menonton film. Aku menekan berulang kali tombol remote untuk mencari acara tv yang menarik perhatianku, tapi hasilnya nol.

'Payah sekali! Ini benar-benar salah Harry! Mulai detik ini, eh pertama kali berpapasan dengannya, aku benci Harry!' batinku seakan berteriak penuh kekesalan.

Aku menghela nafas ketika Harry tak kunjung datang menemaniku. Bukannya aku ingin ia agar dia selalu ada disampingku, melainkan sebuah ganjaran yang harus dia lakukan. Jujur saja, aku malas untuk sendiri. Sepertinya mulai sekarang aku harus mulai mencari pacar yang bisa menemaniku siang dan malam, huh.

Mendadak, aku mendapati pintuku diketuk. Dengan segera, aku membukakan papan kayu tersebut. Tebak siapa yang ada dibalik pintuku? Panjang umur kau, Styles!

Tanpa sepatah katapun terlontar dari mulutnya, lelaki ikal yang sedari tadi kutunggu-tunggu itu langsung melenggang masuk dan membanting tubuhnya keatas ranjangku. Aku hanya berdecak pasrah, menutup pintu kembali, lalu mendaratkan bokongku dihadapan televisi.

Beberapa menit berlalu, tak ada yang membuka pembicaraan. Aku masih menyibukkan diriku dengan mengganti-ganti saluran televisi, sementara Harry berguling-guling di kasurku—entah melakukan apa. Sedari tadi aku belum melirik apa yang Harry lakukan.

Karena tak ada acara yang menarik perhatianku, aku akhirnya memutuskan untuk menyikat habis kue cokelat yang ada di pangkuanku. Terlintas di pikiranku untuk mengobrol dengan Harry, ketimbang harus larut dalam kejenuhan lagi.

Pun, aku membalikkan tubuhku, menghadapnya. Tenyata sejak tadi lelaki ikal ini sedang sibuk bermain dengan iPhone miliknya sambil berguling-guling ria diatas tempat tidurku.

"Hei, kau dari mana saja?" tanyaku memecah keheningan, berniat mengajaknya bercakap.

Ia tak meladeni pertanyaanku barusan dan masih asik dengan iPhone-nya sendiri. Mau bagaimana lagi? Beginilah nasib ketika diabaikan orang yang sedang sibuk bermain dengan handphonenya, sementara diri sendiri tak lagi punya handphone. Oh, sungguh mengenaskan!

Aku membuang nafas kasar, penuh kesal. Detik selanjutnya, bantal di dekatku telah mendarat di wajah Harry, untuk mencari perhatiannya. "IKAL JELEKK!!!"

"Ish! Diamlah!" Bukannya marah padaku dan beralih dari iPhone-nya, ia malah melempar kembali bantal tersebut padaku. Sialnya, bantal tersebut lagi-lagi tepat mengenai wajahku. Kapan pernah aku beruntung sejak ia datang ke dalam kehidupanku?

Aku pun bangkit dari posisi dudukku dan berbaring disebelahnya untuk sekedar melihat apa yang sedang ia lakukan dengan iPhone-nya—hingga sama sekali tak dapat beralih dari gadgetnya.

Bertepatan dengan gerakanku itu, Harry langsung membalikkan badannya menghadap arah lain, memunggungiku. Kini, aku hanya dapat memutar kedua bola mataku.

Sudah beberapa lama dengan posisi kami seperti ini, aku masuk dalam jurang kebosanan lagi. Pun, aku mencubit pinggangnya dengan kuat hingga lelaki ikal nan mengesalkan itu kembali menghadapku.

Ia akhirnya membuang iPhone-nya ke sembarang arah lalu mengerutkan keningnya padaku, raut wajahnya menampakkan kekesal. "Kau ini kenapa, sih?!" tanyanya geram.

"Dasar ikal! Kau mengajakku bolos bersama, tapi malah meninggalkanku mengenaskan disini sendiri tanpa gadget! Hampir mati tau, rasanya!" ujarku naik satu oktaf.

Harry mengambil nafasnya. "Nih, ambilah! Lagipula, dari tadi kan sudah aku temani, gadis bodoh! Kau anggap aku ini apa?!" Ia melempar kotak yang masih disegel.

Sayang sekali, aku sama sekali tak peduli apa yang baru saja ia berikan padaku. Tanpa melihatnya, aku langsung menaruhnya ke tempat yang lain dan melanjutkan debatku. Tentu saja, aku tak mau kalah. Tak ada kata kalah berdebat dengan lelaki gila dalam kamusku.

"Tapi, sedari tadi kau tak menanggapiku, sinting!" Aku memanyunkan bibirku, menatapnya dengan penuh benci.

Kukira dia akan meminta maaf, tetapi dia malah menaruh jari telunjuknya di depan bibirku. "Maksudmu apa manyun-manyun? Minta dicium?" tanyanya mengalihkan pembicaraan.

Seketika, diriku membeku, jantungku seakan berhenti berdegup. Segera, aku menggigit bibirku dan menjauhkan jarinya dari pada bibirku. "Dasar gak nyambung!"

Lelaki sinting itu malah terkekeh lalu memutar balik tubuhnya menghadap langit kamar. Kulihat, ia hanya memamerkan kedua gua yang bersembunyi di balik senyumnya itu sambil menatap kosong langit-langit kamar.

Dengan detak jantung yang serasa keras dan tak beraturan, tiba-tiba hawa disekitar tubuhku terasa panas tak keruan. Aku pun meraba lenganku sendiri, memastikan bahwa aku tidak sakit panas, tapi tak sedikitpun ada rasa panas disana.

"Harry, apa kau merasa panas?" tanyaku memastikan.

"Tidak," balasnya singkat. Apakah ada yang salah dengan diriku?

Aku mengedarkan pandanganku ke seluruh penjuru kamar, kemudian terhenti pada pendingin ruangan. "Oh pantas saja, ac belum dinyalakan, sih.." kataku sambil tertawa hambar.

Selanjutnya, aku langsung bangkit dari posisi tidurku, menyalakan pendingin ruangan dan mengatur suhunya. Hmm, sepertinya memang aku kepanasan karena ini. Baguslah, berarti tak ada yang salah dengan tubuhku.

"Amy.." Harry tiba-tiba menghampiriku. Aku hanya menaikan kedua alisku, menjawab panggilannya. "Kau panas?" Air wajahnya menunjukkan kekhawatiran.

Lalu Harry menyentuh dahiku dan leherku dengan punggung tangannya. Aku hanya bisa diam melihat tingkahnya. "T-tidak.." jawabku sedikit gugup. Bagaimanapun, aku sendiri tak tahu kenapa aku seketika menjadi gugup seperti ini.

Harry mendekatkan wajahnya lagi padaku sampai hanya menyisakan beberapa centi dari wajahku. "Benarkah?" timpalnya dengan nada menggoda. Oh, aku sepertinya sudah gila menyebutnya sedang berusaha menggodaku.

Tiba-tiba wajahku kembali memanas serta degup jantungku seakan terdengar hingga ke telingaku sendiri. Buru-buru aku mundur beberapa langkah, menjauhkan diriku darinya lalu membuang mukaku ke arah yang lain.

"Ha, sepertinya memang benar." Harry langsung melepaskan tangannya dari padaku, dan mulai menjauhiku.

Aku kembali menghadapnya dan mengerutkan alisku, heran dengan ucapannya yang menggantung. "A-apa?"

Lelaki di hadapanku menaikkan salah satu ujung bibirnya, memasang seulas senyuman licik. "Kau mulai mencintaiku, Amy."

-

A/N

Aku cuman mau bilang:

VOTE COMMENT AND SHARE TO YOUR FRIEND!!


*Double update till Dec, 25, 2017.

XOXO. Lots of love!

-Janx

Night Changes™ // h.s.Where stories live. Discover now