Zen tetap masuk ke dapur meski sudah berkali-kali kularang.

'sudah kubilang, aku akan membuat makan malam untukmu, Zen! aku tidak akan memasukkan apapun yang tidak bersahabat dengan perutmu, aku janji!' kataku putus asa sambil mendorong lelaki jangkung itu keluar dari dapur.

'aku tahu, tapi seharusnya aku yang masak untukmu, Mika,' protes Zen.

'dengan kaki seperti itu? tidak, terima kasih. Kau tidak boleh masuk ke dapur atau ini terakhir kalinya kita bertemu! Mengerti!?'

Zen menurutiku dengan berat hati. tapi dari tempatnya duduk, dia masih bisa melihat apa saja yang kumasukkan dalam makanannya. Seharusnya Zen tidak perlu khawatir.

Ponsel di saku jeansku berdering tanpa henti. Kulihat Zen sibuk dengan ponselnya, sambil sesekali melirik kearahku. Bahkan ponsel itu masih menyita perhatiannya saat aku membawakan semangkuk sup ayam untuknya.

'siapa?' tanyaku sambil duduk di sisinya.

'Yoosung. Dia ingin tahu apa yang sedang kita lakukan,' jawab Zen. kuambil ponsel itu dari tangannya dan mengaktifkan kamera depan ponsel itu.

'senyum,' kataku sambil mengambil beberapa foto dengan ponsel Zen, lalu mengirim sebuah foto ke messenger. Kuletakkan ponsel itu di meja kecil di hadapan Zen dan menukarnya dengan sup ayam yang masih hangat.

Zen mematung. Ia menatap setiap potongan wortel dan ayam yang mengambang di sup itu.

'kenapa? Tidak suka sup ayam?' tanyaku penasaran.

Ia menggeleng, 'aku tidak ingat kapan terakhir kali seseorang membuatkan makanan hangat untukku,' senyum canggung mengembang di wajahnya, 'terima kasih, Mika..'

'kalau begitu cepat temukan gadis yang tepat untukmu.. lalu menikah.. aku yakin setiap hari akan ada makanan hangat yang istimewa untukmu..' kataku sambil membaca apapun yang Zen tulis di messenger selama aku memasak.

Aku tertawa kecil membaca pertanyaan Yoosung, 'apa dia cantik?'

'di mataku, luar biasa cantik!' balas Zen.

Aku tertawa kecil, apa Zen mengatakannya pada setiap orang yang ia temui?

'...kau saja?' tanya Zen.

'apa?' aku tidak mendengar apa yang Zen katakan. Mataku masih terpaku pada pesan-pesan di messenger yang belum kubaca.

'bukan apa-apa,' lagi-lagi Zen memalingkan wajahnya.

'ah, Jumin memintaku bicara denganmu tentang model makanan kucing. Kau tidak tertarik, kan?'

'tentu saja tidak! Sudah kubilang aku alergi! Dengar huruf K dari Kucing saja sudah membuatku bersin!'

'baiklah, aku akan bicara dengan Jumin,' kataku santai, 'tapi.. tentang peran bersama Echo Girl ini.. apa tidak bisa kau pertimbangkan lagi?'

'ini kesempatan bagus, Mika! Tidak mungkin kulewatkan! Selain itu pementasan ini juga akan disiarkan di TV! Keren, kan!?'

'iya, tapi-'

'tenang saja, aku yakin semuanya akan berjalan lancar..'

'begitukah..?' tetap saja aku merasa ada yang janggal. Persis seperti saat dia akan menjalin kerjasama dengan seorang politikus. Aku berulang kali mengingatkannya untuk mempertimbangkan kembali kerjasama itu, tapi ia tidak mendengarkan. Akhirnya pihaknya menderita kerugian besar dan sejak saat itu ia belajar mendengarkan pendapatku tentang semua hal, termasuk memilih taplak meja dan gorden.

Sama seperti saat itu, aku merasa ada yang tidak beres tapi aku tidak bisa mengatakan apa-apa. Tidak ada bukti. Tidak ada yang tahu sebelum terjadi. Dan tentunya tidak ada yang mempercayaiku sebelum semuanya terjadi. Karena itu aku belajar menutup mulutku dan sekarang aku selalu berhasil melakukannya.

mistakesWhere stories live. Discover now