CHAPTER 6 - [Your Best Friend is Your Biggest Enemy]

8K 1.1K 77
                                    

Seusai acara, Hee-ra buru-buru mengajak keluarganya pergi, tak berniat untuk sekadar mengucapkan selamat pada Jong-in maupun Emma. Sang ibu juga tak protes, ia bisa mengerti perasaan Hee-ra yang tengah terluka, meskipun dalam hati, ia tetap berasumsi bahwa adegan ciuman Jong-in dan lawan mainnya sudah diatur.

Tak ada suara terdengar kecuali alunan musik klasik serta mesin sepanjang perjalanan. Hee-ra terus menewarang keluar jendela, sementara Se-hun megamati dari samping. Pria itu tersenyum tipis. Ia senang, dengan kejadian ini, berarti hubungan Hee-ra dan Jong-in tidak akan sebaik sebelumnya, tapi, di sisi lain ia juga sedih, Se-hun tak suka melihat raut patah hati Hee-ra.

Bahkan sesampainya di rumah, Hee-ra langsung ke kamar tanpa mengeluarkan sepatah kata apapun. Hal ini sudah cukup membuat KaYng So-hee khawatir. Tapi mau bagaimana lagi? Ia tak ingin ikut campur dalam urusan percintaan putrinya.

Hee-ra mematikan ponsel, kemudian melemparkan badan ke kasur tanpa berganti baju atau sekadar melepas sepatu. Ia terlalu lelah—bukan, hatinya terlalu lelah.

Rasa pedulinya pada Jong-in seolah luntur malam ini. Masa bodoh berapa kali pria itu akan mencoba menelepon atau mengirim pesan, ia tak berniat menyalakan ponsel. Ia butuh waktu untuk sendiri, untuk menerima kenyataan bahwa Jong-in membiarkan Emma menciumnya.

Dalam diam dan kegelisahannya, hawa dingin berhasil membuat Hee-ra menyerah dan terlelap. Tidur begitu dalam sampai-sampai tiada bayangan akan kenangan pahitnya barusan.

Gagang pintu bergerak, seorang pria berkaus coklat masuk begitu saja. Ia langsung duduk di pinggir ranjang Hee-ra, memandang gadis itu dari atas ke bawah secara seksama. Ketika mendapati Hee-ra masih megenakan sepatu, Se-hun segera bergeser dan melepaskan sepatu tersebut dari kaki Hee-ra. Takut kalau gadisnya terluka.

"Kenapa kau bebal sekali? Apa satu kaki tak cukup membuatmu sadar bahwa kesehatan itu mahal?" Se-hun mendesah.

Setelah melepaskan sepatu dari kaki Hee-ra, Se-hun kembali mendekat, kali ini ia mengusap lembut kening gadis itu. Menyingkirkan poni yang mengganggu pandangannya dan mengecup sejenak puncak kepala Hee-ra.

"Tidur yang nyenyak, sayang. Kuharap besok kau bisa melihat kesungguhan hatiku."

Setelah puas mengamati wajah Hee-ra, Se-hun segera beranjak. Ia tentu tidak ingin mendengar teriakan penolakan dari Hee-ra ketika mengetahui dirinya tengah berada di sana.

Pagi-pagi sekali, Jong-in telah menunggu di depan gerbang rumah Hee-ra. Berharap gadis itu segera keluar dan ia bisa menjelaskan kejadian sebenarnya. Namun nihil, hampir satu jam berlalu, belum ada tanda-tanda kehadiran Hee-ra. Apa dia tahu kalau Jong-in sudah menunggu di luar? Makanya Hee-ra memilih untuk tidak keluar.

Sebagai seorang pria, seharusnya Jong-in memberanikan diri untuk menekan interkom dan bertanya pada siapapun yang menyahut mengenai keberadaan Hee-ra.

Ya! Benar, kenapa ia tak melakukannya sejak tadi?

Tunggu dulu, bagaimana kalau yang muncul di layar bukan Hee-ra atau orang tuanya, melainkan Se-hun? Jelas dia tidak akan membiarkan Jong-in menemui adiknya. Menyebalkan sekali.

Setelah sempat berpikir beberapa detik, Jong-in akhirnya memberanikan diri untuk menekan tombol di interkom. Benaknya terus berdoa semoga Hee-ra atau orang tuanya yang menerima. Ia tak suka pada Se-hun, bukan, lebih tepatnya Jong-in tak begitu nyaman apabila harus berhadapan dengan Se-hun.

Sayangnya, keberuntungan tak berpihak padanya. Wajah dingin itu muncul, seorang pria bermata tajam menunjukkan wajah di layar dengan angkuhnya, bersikap seolah Jong-in tak seharusnya berada di sini.

Salted Wound [Sehun - OC - Kai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang