Sedikit ragu aku melambai kearahnya. Zen berjalan kearahku dengan langkah penuh percaya diri. jaket kulit berwarna hitam yang ia kenakan kontras dengan kulitnya yang pucat. Dan perkiraanku tepat. aku tampak seperti kurcaci di sampingnya.

Kuhentikan langkahku tepat di hadapannya tapi ia tetap melambai dan ia melewatiku begitu saja. aku menepuk dahiku. Dulu kejadian seperti ini sangat sering terulang. Tapi sejak aku berdiri di sisinya, kejadian ini nyaris tidak pernah terjadi. aku tidak bisa berkomentar, hanya tersenyum geli.

Aku menoleh - Zen menghampiri seorang wanita berambut sebatas bahu dalam balutan dress ungu tanpa lengan yang tampaknya sedang menunggu seseorang.

'Mika?' panggil Zen.

Gadis itu menggeleng. Ia berbalik dan meninggalkan Zen.

'Zen..' panggilku sambil melambai kearahnya.

'Mika!' Zen segera menghampiriku, 'maaf, tadi aku salah orang. Kupikir kau lebih-'

'lebih tinggi?' potongku dengan senyum usil mengembang di wajahku. aku harus mendengakkan kepalaku saat bicara dengannya. Sebatas dadanya saja aku nyaris tidak sampai.

Zen salah tingkah.

'terima kasih sudah datang,' kataku akhirnya.

'tidak masalah. Ayo, kuantar pulang.'

'tapi..'

'tapi?'

'aku tidak tahu harus-'

'itu Zen!' pekik seseorang. dalam sekejap semua mata tertuju pada Zen. Beberapa orang gadis bahkan memberanikan diri untuk menyapa, berfoto dan meminta tanda tangan Zen. Zen bagai magnet yang menarik semua gadis yang kebetulan lewat.

Rasanya ini pernah terjadi, kataku dalam hati.

Yeah. Pernah.

Maaf, tapi sekarang ini aku lebih membutuhkan dia daripada kalian!
Dengan segenap daya dan upaya yang bisa kulakukan, akhirnya aku berhasil menyentuh lengan jaket Zen dan menggenggamnya erat. Beberapa kali aku menarik tangannya, tapi gadis-gadis itu jauh lebih kuat dari dugaanku.

Baiklah kalau begitu. Kalian yang minta.

Aku meraih sisi jaket Zen, 'Oppa!' teriakku.

'O - oppa?' Zen menoleh kearahku dengan tatapan tidak percaya.

'Oppa.. aku takut..' kataku sambil berlindung dibalik jaket Zen, 'Oppa.. ayo pulang..' lanjutku dengan sedikit terisak. Kutundukkan kepalaku sehingga tidak ada yang bisa melihat apakah aku benar-benar menangis ata hanya pura-pura.

'Adikmu, Zen? Maaf, ya kami membuatmu takut.. tapi kami tidak jahat.. ini, permen, mau?' seorang dari mereka mengeluarkan beberapa jenis permen mint. Aku tidak bergeming, hanya mempererat genggamanku di jaketnya.

'Oppa.. takut..' bisikku dengan suara bergetar.

'Tidak apa-apa.. jangan takut, ya.. kita pulang sekarang,' kata Zen akhirnya.

'Benar?'

Zen mengangguk, 'Maaf, tapi aku harus pergi sekarang, maaf..' Zen merangkul pundakku dan berjalan meninggalkan kerumunan.

'Kami yang minta maaf.. kami tidak bermaksud membuatmu takut.. maaf ya..' kata seseorang sambil menepuk kepalaku.

Aku tidak menjawab, hanya menundukkan kepalaku.

'Maaf, dia sangat pemalu..' kata Zen, 'tetap dukung aku, ya,' lanjutnya sambil mengedipkan mata kirinya.

Aku menghela nafas lega saat kami duduk di anak tangga yang berada tepat di depan pusat perbelanjaan.

mistakesWhere stories live. Discover now