Sambil menggadangi si Puteri Malam, In Tiong juga ingat kepada Thio Tan Hong. Dia ingat budi orang. Berhasilnya tugasnya ini juga sebagian besar disebabkan bantuan sangat berharga dari Tan Hong itu. Maka ia merasa sangat menyesal yang di antara kedua keluarga ada permusuhan besar. Ia tidak dapat pergi ke rumah Tan Hong, ke rumah musuh kakeknya. Tan Hong sendiri pun tidak dapat mengunjungi padanya. Maka hal ini membuat ia masgul.

Mengenai permusuhan kedua keluarga, Tantai Mie Ming telah berikan jasa baiknya,Jenderal ini telah jelaskan kepada In Tiong perihal cita-citanya Tjong Tjioe, bahwa Tan Hong tidak mengandung sesuatu prasangka. Maka ia dianjurkan suka bersahabat dengan Tan Hong, supaya permusuhan dapat dihabiskan. Tapi di depan matanya berbayang surat wasiat kakeknya itu, ia jadi bersangsi. Tidak dapat ia pergi ke rumah musuhnya. Toh ia merasa berat akan berpisah dari anak muda she Thio itu, tetap ia ingat budi orang...

"Mungkinkah besok Tan Hong datang untuk berangkat bersama-sama aku?" demikian In Tiong pikir.

Karena pikirannya ini, hati In Tiong menjadi bertentangan sendirinya. Di satu pihak ia ingin Tan Hong datang untuk berangkat bersama, di lain pihak ia harap-harap si anak muda tidak muncul...

"Jikalau dia datang dan berangkat bersama aku, bagaimana nanti aku dengan ayahku?" demikian kesangsiannya. "Bagaimana dengan In Loei? Dapatkah In Loei mengurbankan perasaan hatinya? Bukankah nanti, ayah akan caci aku dan In Loei sebagai anak-anak poethauw?"

In Tiong kuatir dikatakan sebagai anak poethauw —tidak berbakti. Maka itu, ia lantas menjadi menyesal dan berduka. Kusut pikirannya memikirkan permusuhan turun temurun itu.

In Tiong meloneng terus, sampai jam empat. Di saat ia memikir untuk masuk tidur,untuk dapat melupakan segala apa, satu pengiringnya datang dengan tindakan cepat.

Iapun dengar suara berisik di sebelah luar.

"Ada apa?" ia tanya.
"Seorang yang bertopeng, yang mengenakan pakaian untuk jalan malam, telah nerobos masuk kemari, dia ingin sangat menghadap thaydjin," demikian ia diberitahukan. "Dia masuk dengan jalan melompati tembok. Kelihatannya dia sebagai orang jahat tetapi mungkin bukan..."

In Tiong menjadi heran.

"Baik, bawa dia menghadap!" ia berkata akhirnya. Ia berpikir dengan cepat.
Dengan lekas satu anak muda dengan pakaian serba hitam dibawa masuk, mukanya bertutupkan topeng, dandanannya sebagai orang Mongol, tetapi tubuhnya kecil dan langsing, sangat berbeda dengan kebanyakan pahlawan Mongolia.

"Kau ada punya urusan apa, waktu tengah malam begini datang untuk mohon bertemu dengan aku?" In Tiong segera menanya. "Siapakah yang menitahkan kau datang kemari?"Anak muda itu, yang nampak cuma sepasang matanya yang celi sekali, mata itu memain dengan tajam.
"Mohon thaydjin suruh mundur dahulu orang di kiri kanan," katanya pelahan.
Tentu saja permintaan ini sangat mencurigakan, maka orang-orangnya si utusan justeru maju semakin dekat.
"Hati-hati thaydjin memperingatkan yang satu, sedang kawannya maju untuk menggeledah.
Si anak muda mundur, sinar matanya menyatakan ia berdongkol dan gusar.

In Tiong lihat sikap orang itu.
"Pergi kamu mundur!" ia titahkan orang-orangnya sambil memberi tanda dengan tangannya. "Kami perutusan dari negara besar, kami biasa bersikap baik terhadap siapa juga, jangan kamu kuatir."

Dengan terpaksa pengiring-pengiring itu undurkan diri.
In Tiong sendiri yang tutup pintu.
"Sekarang kau dapat berbicara, bukan?" ia bertanya sambil tertawa.
Tetamu tidak diundang itu singkap topengnya begitupun mantelnya, maka terlihatlah ia sebagai satu nona bangsa Mongol yang cantik.
"Aku ialah puterinya Yasian!" demikian kata-katanya yang pertama.

In Tiong terkejut. Ia sudah menduga pasti bahwa orang satu nona, tetapi yang ia tidak sangka bahwa nona ini ada puterinya perdana menteri Watzu itu.

Thian San 2 : Dua Musuh Turunan (Peng Cong Hiap Eng)Where stories live. Discover now