XVIII

561 3 0
                                    

Untuk sekian lama, In Loei berdiri tegak, tak bergeming. Ia bagaikan terpaku. Syukur
untuknya, berselang sesaat, ia sadar kembali. Segera ia menghela napas, untuk melegakan hati. Ia hirup hawa yang berbau harumnya bunga di dalam taman itu. Habis itu, dengan bersemangat, ia mendekam di jendela, untuk memasang kuping.

"Walaupun Toto Puhwa adalah raja Watzu, kekuasaan pemerintah berada ditangan Yasian," demikian terdengar suaranya Tan Hong. "Di samping Yasian ini, pangeran Atzu juga mempunyai sebagian kekuasaan atas tentara. Maka itu kenyataannya, Watzu adalah negara yang diperintah tiga orang. Ong Tjin menyarankan untuk menahan Pangeran Atzu,turut penglihatanku, inilah ada atas usulnya Yasian."

"Habis, bagaimana sekarang?" terdengar Ie Kiam menanya.

"Meminjam golok untuk membunuh orang, itulah suatu siasat untuk menyingkirkan lawan yang tanggu," Tan Hong berkata pula. "Aku kenal baik, Yasian itu ada orang macam apa. Dia bercita-cita sangat besar. Dia pandang dirinya sebagai pengganti dari Djenghiz Khan. Maka itu, lambat laun, dia pasti akan merampas tachta kerajaan. Dia dapat membedakan antara Toto Puhwa dan Atzu, di antara raja Watzu dan pangerannya itu. Teranglah dia percaya, kalau dia sudah dapat menyingkirkan Atzu, dengan gampang nanti dia dapat me- rampas tachta kerajaan."
"Mendengar kau, terbukalah hatiku yang cupat," kata Ie Kiam sambil menghela napas.
"Harus disayangi bahwa pihak kita sama sekali tak mengetahui keadaan dalam dari musuh
sebagaimana yang kau mengetahuinya....."
"Walaupun demikian, apabila benar terjadi perang saudara di dalam negara Watzu, itu
pun berarti rejekinya kerajaan Beng," kata Tan Hong.

Tiba-tiba anak muda ini tertawa menyeringai, matanya dialihkan ke arah jendela.

In Loei terkejut, dengan cepat ia umpetkan diri di antara pohon bunga. Ia berpikir keras, saking tak mengertinya.

"Thio Tan Hong anggap kaisar Beng sebagai musuh turunan, kenapa sekarang dia agaknya tengah bekerja untuk kerajaan Beng itu?" ia berpikir, heran.

Tidak sempat si nona berpikir lama, atau ia sudah dengar pula suaranya pemuda she Thio itu, mengingat siapa senantiasa hatinya goncang.

"Ingin aku menjelaskan tentang Tantai Mie Ming." demikian si mahasiswa berkuda putih. "Dia sebenarnya ada orang bangsa Han kelahiran negara Watzu. Dan dia bersahabat sangat erat dengan tiwan Atzu. Baharu kemarin aku bertemu dengan Tantai Mie Ming dan pasang omong dengannya, aku telah minta dia suka beri nasihat dan anjurkan ayahku agar ayah membantu memperbesar gelombang, untuk menyulut api dari sebelah dalam, supaya dengan begitu bisalah terjadi perang saudara di dalam negeri Watzu."

"Maukah ayahmu berbuat demikian?" Ie Kiam tanya.

"Untuk tidak mendusta." kata Tan Hong, "ayahku itu mempunyai cita-cita untuk merampas kerajaan Beng, akan tetapi di samping itu, ia tak lupa bahwa ia sendiri adalah putera Han, maka itu, di dalam hal ini, sulit bagiku untuk mengatakan dari sekarang bagaimana perkara ini nanti akan berakhir. Gagalkah atau berhasil?....."

"Jikalau begitu, sieheng," tiba-tiba Ie Kiam berkata kepada Tan Hong. "kenapa tidak kau sendiri saja yang menganjurkan ayahmu itu?"

"Sekarang ini belum dapat aku lekas-lekas pulang ke Watzu," Tan Hong akui terus terang. "Kedatanganku ke Tionggoan ini adalah untuk satu tugas yang sangat penting.

Hendak aku mencari satu benda berharga yang mengenai nasibnya negara." Ie Kiam sibuk juga.
"Kekacauan di dalam negeri Watzu itu jadi boleh diharap dan boleh tidak," ia kata,"sebaliknya tindakan Watzu untuk menerjang Tionggoan ada seumpama, alis akan segera terbakar..... agaimana sekarang?"

"Sebenarnya tak usah kita berkuatir," Tan Hong jawab. "Tionggoan besarnya berlipat puluh kali dibanding dengan negeri Watzu itu, bila semua rakyat dapat bersatu hati, tak usah kita kuatirkan musuh yang tanggu itu!"

Thian San 2 : Dua Musuh Turunan (Peng Cong Hiap Eng)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang