VII

644 7 0
                                    

Atas desakan itu Cui Hong melejit ke samping, sikut kirinya dilonjorkan untuk dipakai membentur tubuh Toa Hay, atas mana tubuh besar dari putera Han Tocu segera terhuyung, rubuh terbanting.
Cio Eng lompat maju guna membangunkan pemuda itu.
"Hong-jie, lekas haturkan maaf!" kata tuan rumah ini.
"Tidak apa," kata Toa Hay," Nona Cio, kau lihai sekali, aku..aku.."
Nyata pemuda ini tolol dan polos, hampir ia mengatakan,"....aku tidak berani ambil kau sebagai isteriku." Baiknya Han Tocu awasi dia dengan mata melotot dan ia melihatnya, hingga tak jadi dia berbicara terus.

Begitu Toa Hay mundur, ia digantikan oleh Too An, putera Lim Chungcu. Pemuda ini maju dengan perlahan, sambil mengoyang-goyangkan kipasnya.
"Aku juga ingin menerima pelajaran beberapa jurus, harap kau suka mengalah, siemoay," kata dia, suaranya seram dan luar biasa. Nampaknya ia halus bagaikan wanita, demikian juga lagu suaranya. Tapi ia mengerti Tiam-hiat-hoat, ilmu menotok jalan darah, maka setelah dilipat kipasnya, tahu-tahu kipas itu dipakai menyodok iga si nona.
Cui Hong berkelit, terus saja ia bersilat pula dengan "Pat-kwa Yu-sin-ciang" untuk membuat lawan itu lelah dan kabur matanya, seperti tadi ia berbuat terhadap Toa Hay.
Too An cerdik, tidak mau ia menyerang sembrono, sebaliknya, dengan tenang ia lindungi dirinya. Ia pun tiak gencar putar tubuhnya seperti Toa Hay tadi, ia cuma memasang mata, maka juga, sewaktu-waktu dapat ia balas menyerang dengan totokannya.
Nona Cio menjadi hilang sabar.
"Dia pasti bukan orang benar," ia pun berpikir. "Lihat matanya yang demikian lihai! Dia menjemukan, tidak boleh dia dibiarkan mencapai maksudnya.'
Nona ini tidak sudi menikah dengan pemuda lawannya itu, ia pun lantas perhebat serangannya, tubuhnya bergerak sangat lincah mengitari si anak muda.
Too An benar-benar lihai, ia tabah dan teliti, dengan sabar ia jaga dirinya.
Lima puluh jurus sudah lewat, Cui Hong tetap belum berhasil menjatuhkan lawan ini, Too An dalam ketenangannya telah berpikir," Aku hendak lihat, berapa banyak kau punya tenaga untuk melayani aku." Dan ia terus berlaku sabar.
Mereka bertempur terus sampai tiba-tiba selagi ia merangsak, Cui Hong tersenyum, hingga tampak kedua baris giginya yang putih halus dan sepasang sujennya yang manis. Sebagai orang cantik, dengan senyumnya, tentu sekali nona ini kelihatan sangat menggiurkan.
Hati Too An goncang, ia sangat tertarik, hingga ia berpikir," Orang seperti aku, yang berkepandaian silat tinggi, pasti aku membuat hatinya kagum." Maka ia anggap nona itu tentu menaruh hati padanya, nona itu mungkin suka mengalah, karenanya, di waktu ia menutup diri, ia pun tersenyum.
Sekonyong-konyong saja Cui Hong berseru," Maaf!" Lalu dengan mendadak kedua tangannya dimajukan ke muka Too An, tangan yang satu menyusul yang lain, hingga si anak muda terperanjat. Ia kaget waktu tamparannya kena ditekan si nona, sampai ia berkaok, matanya pun kabur, tanpa ampun lagi, ia rubuh di lantai panggung.
Lim Chungcu mendongkol bukan main menyaksikan puteranya, yang sedikit lagi akan menang, dengan mendadak kena dikalahkan, akan tetapi ia tidak bisa berbuat apa-apa. Pertandingan tlah dilakukan secara adil.
"Tidak apa, tidak apa!" Cio Eng cepat berkata. "Eh, anak Hong, kenapa kau gerakkan tanganmu secara sembrono sekali?"

Justeru itu Too An bangkit.
"Nona Cio, aku terima pengajaranmu!" katanya sambil tertawa dingin, lalu tanpa berkata apa-apa, berbareng dengan ayahnya ia melompat turun dari panggung.
Melihat itu Cio Eng menggeleng-gelengkan kepalanya. Tapi kemudian sambil urut-urut kumisnya dan tertawa ia berkata," Anakku telah beruntung menangkan dua pertandingan, maka sekarang adalah giliran Bu ki Sieheng yang memberikan pengajaran padanya, supaya dia jangan jadi terlalu besar kepala."
Bu Ki adalah nama putera See Ceecu. Cio Eng kenal baik sekali dengan anak muda itu, baik kepandaiannya maupun tabiatnya. Pemuda itu telengas, di dalam Rimba Hijau, dia terkenal tanpa kebijaksanaan. Mesi demikian, jago tua ini sadar, manusia tak ada yang seratus persen sempurna, maka ia anggap tidak terlalu mengecewakan ia mendapat menantu seperti Bu Ki.
Cio Eng juga pikir, pastilah Bu Ki senang sekali dengan pertandingan ini, karena anak muda itu pasti berada di atas angin, akan tetapi kesudahannya ia menjadi heran sekali.
Tiba-tiba saja Bu Ki kerutkan alisnya dan berkata," Sudahlah, tak usah aku turut bertanding lagi, karena akhirnya aku akan kalah."
Semua tamu terkejut karena herannya, mereka melongo.
"Cio Hiantit, mengapa kau mengatakan demikian?" ia tegur. "Mungkinkah anakku tak dapat diajar?"
Bu Ki tertawa meringis, dengan perlahan ia angkat lengannya, lalu ia gulung lengan bajunya, maka tampaklah tanda bekas luka yang panjang dan dalam pada lengannya sampai tulangnya kelihatan.
"Kau kenapa Hiantit?" tanya Cio Eng terperanjat.
Bu Ki memandang sekelebat ke bawah pangggung.
"Kemarin ini perahuku karam di dalam sungai," ia menjawab, suaranya menyatakan penasarannya. "Hm! Aku telah dicurangi satu bangsat tidak dikenal!"
See Ceecu yang bernama To melanjutkan cerita puteranya," Kemarin aku titahkan Ouw Lo-jie bersama dia pergi mengejar seekor kambing dari Utara. Tapi tak disangka, kambing itu dengan diam-diam dilindungi satu piauwsu yang lihai sekali dan Bu Ki kena dilukai."
Dengan "kambing" See To maksudkan orang yang ia hendak jadikan korban pembegalan.
Cio Eng terperanjat, ia heran sekali, ia tahu Ouw Loo-ji itu adalah bawahan Hu-ceecu, dan kepandaiannya adalah lebih tinggi daripada See Bu Ki. Ini adalah luar biasa jika mereka berdua kena dikalahkan satu piauwsu.
"Nah, Cio Toako, bagaimana pendapatmu?" tiba-tiba See To menanya.
Cio Eng berdiam sebentar, kemudian ia tertawa.
"Nyatakah piauwsu itu seorang pandai!" katanya. "Entah siapa dia itu dan dimana adanya dia sekarang?" Ingin sekali aku menemui dia itu, supaya dapat aku mengadakan perdamaian di antara kamu kedua pihak."

Thian San 2 : Dua Musuh Turunan (Peng Cong Hiap Eng)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang