VIII

741 9 0
                                    

In Lui terperanjat menampak golok melayang ke arah kepalanya, dengan sebat ia berkelit.
Berbareng dengan itu satu penyerang yang bersenjatakan tombak gaetan seperti arit, juga menjeri seperti Bu Ki, malah dia terus rubuh tanpa bangun lagi, karena dia juga merasa dirinya tertusuk jarum, sampai gaetannya, yang terlepas, menyambar dadanya sendiri.
"Bagus! Bagus! " si mahasiswa berseru dengan pujiannya sambil tertawa, apabila dia saksikan "piauwsunya" lolos dari bahaya dan dua lawannya terluka. "Hai piauwsuku yang baik, senjata rahasiamu bagus sekali!"

Mendengar teriakan itu, In Lui sadar dengan mendadak.
"Musuh banyak, au sendirian, tidak dapat tidak, mesti aku gunakan senjata rahasia!" demikian ia pikir. Maka ketika ia sedang bebas, tangan kirinya merogo ke sakunya, untuk meraup piauw Bwee-hoa Ouw-tiap-piauwnya. Itu segera ia menyerang.
Belum lama In Lui muncul di dunia kangouw, ia sudah mendapat julukan "San Hoa Lie-hiap" itulah karena pandainya ia menggunakan piauwnya, ini kali ia gunakan senjata rahasia itu, dalam sekejap saja ia membuat musuh-musuhnya kaget dan repot. Berulang kali terdengar suara nyaring dari bentroknya pelbagai piauw dengan senjata-senjata lawan, yang mengadakan penangkisan, sebagai kesudahannya, kecuali See To, si imam dan tauwto, yang lainnya rubuh sebagai korban.
Tauwto dan imam itu adalah orang-orang lihai undangan See To untuk membantu ceecu ini, mereka heran melihat senjata-senjata rahasia. Mereka insyaf bedanya senjata rahasia In Lui dari senjata rahasia yang bermula. Mereka tiba-tiba mengerti, selagi dikepung rapat, bagaimana In Lui dapat kesempatan akan mengunakan senjata rahasianya itu. Tapi, kalau senjata itu bukan dilepaskan In Lui, mesti disitu bersembunyi seorang lihai lain yang membantu pemuda ini.
Akhirnya si tauwto berseru, "Siong Sek Tooheng, kau tahan dia, libat padanya! See Ceecu, kau rampas pedangnya! Hendak aku melihat-lihat!"
Dan "Sret!" terdengar suara halus atau lengan si tauwto kena tertusuk.
Si imam berbaju hijau adalah orang terlihai di antara tiga orang ini, ia telah memasang mata sejak tadi, maka kali ini ia dapat lihat si mahasiswa yang sedang bercokol di atas batu, telah bergerak tubuhnya. Tidak tempo lagi, ia berseru, "Suheng, itu kambing yang main gila!" Lalu ia lompat melewati In Lui, guna menyeranga anak sekolah itu.
"Tolong! Tolong!" si mahasiswa menjerit-jerit, tubuhnya gemetar.
Siong Sek Tojin ada satu murid tingkatan kedua dari Bu Tong Pay, partai yang tersohor dengan ilmu pedang Citcapji-ciu Lin-hoan Toat-beng-kiam, maka itu bisa dimengerti bagaimana hebatnya ketika ia tikam si mahasiswa, akan tetapi kali ini, ujung pedangnya lewat di dekat iga, sama sekali tidak mengenai atau menyinggung bajunya. Karena itu, ia lantas ulangi serangannya, beruntun sampai empat kali.
Bukan main repotnya si mahasiswa, dia berteriak-teriak, dia berlompatan, untuk menyingkir dari ancaman sasarannya, kelihatannya dia seperti sedang bermain-main.
In Lui terkejut mendengar jeritan si mahasiswa. Ia sekarang menjadi rinan karena Siong Sek Tojin meninggalkan padanya, akan tetapi meski demikian, ia mesti berkelahi secara sungguh-sungguh, sebab si tauwto lihai dengan goloknya dan See Ceecu berbahaya dengan tangannya.
"Apakah aku keliru melihat orang?" nona ini berpikir. "Benar-benarkah si mahasiswa tidak mengerti silat?"
Karena ia berpikir, ia jadi alpa, maka satu kali, hampir ia kena bacok si tauwto. Ia jadi sangat mendongkol terhadap si mahasiswa itu, maka juga, di dalam hatinya, ia berkata pula, "Menjemukan mahasiswa itu! Aku tolongi dia, dia sebaliknya permainkan aku! Biar, habis ini tak akan aku perdulikan lagi padanya."
Nona ini mendelu, ia tak tahu, Siong Sek Tojin terlebih mendelu pula menghadapi mahasiswa itu hingga dia seperti kalap. Sebab setiap kali dia menikam, setiap kali juga dia gagal, sasarannya senantiasa meleset. Dan si mahasiswa sendiri masih saja berteriak "Tolong! Tolong!"
Kemudian dengan mendadak si mahasiswa tertawa terbahak-bahak.
"Ha, kiranya kau sedang permainkan aku?" dia berseru. Terus saja dia menghitung. "Satu! Dua! Tiga!" terus sampai "Dua puluh!" Dia menghitung setiap kali dia ditikam.
Disaat dia menghitung sampai dua puluh, Bu Ki yang terkena jarum tetapi tidak parah lukanya, sudah merayap bangun, terus ia ambil goloknya, lantas ia menghampiri dengan diam-diam pada si anak sekolah.
Anak sekolah ini berkelahi sambil tiap-tiap kali kelitkan diri, ia tidak melihat ke kiri dan kanannya. Maka leluasa Bu Ki mendekatinya, untuk lantas lompat dibarengi dengan bacokannya. Tapi mendahului itu, tangan si mahasiswa melayang ke belakang, tepat mengenai hidung orang, hingga hidung itu menyemburkan darah hidup.
"Manusia tolol!" bentak si mahasiswa. "Telah aku tolongi kau, kau sebaliknya menghendaki jiwaku, jikalau aku tidak hajar padamu, kau tidak akan insyaf! Apakah kau tidak diajar aturan? Apakah si bangsat tua she See mengajar kau membalas kebaikan dengan kejahatan?"
Bu Ki kelabakan karena hidungnya bercucuran darah, ia mesti bekap hidungnya itu. Gagallah bokongannya. Tapi kata-kata si mahasiswa membuat See To, Bu Ki dan In Lui menjadi sadar. Ketika malam itu Bu Ki bersama Hu-cee-cu membokong di kuil tua, dia mestinya terbinasa di ujung pedang In Lui, akan tetapi secara menggelap ada orang menolongnya, tangan In Lui kena dihajar senjata rahasia hingga ujung pedangnya nyasar, dan Bu Ki lolos dari bencana. Tentang kejadian itu, Bu Ki telah katakan pada ayahnya, mereka menduga-duga, sama sekali mereka tidak menyangka si mahasiswalah yang menolongnya. Karena ini, See To jadi melengak. Tapi justeru itu, In Lui menyerang, ia kena dibacok kopiahnya hingga rusak. Ia jadi sangat gusar. Di dalam hatinya, ceecu ini berpikir, "Aku hendak mencuri permata dan kudanya, dia sebaliknya diam-diam membantu aku! Tidakkah ini aneh?" Ia tidak berpikir lama, dia sudah lantas sambar muka In Lui. Juga si tauwto turut menyerang, sebab tauwto ini panas hatinya. Dia satu jago di Jalan Hitam tetapi hampir dia celaka di tangan "pemuda" ini. Tauwto ini telah berpikir, In Lui mesti dirubuhkan dulu, baru nanti mereka kepung si mahasiswa.
Repot In Lui didesak secara hebat, sampai tak sempat ia memperhatikan si anak sekolah, lebih-lebih ketika See To menyambar dadanya dan si tauwto membacok mukanya. Tapi justeru itu, bentrokan senjata terdengar keras dan lelatu api muncrat, dibarengi dengan jeritan si tauwto yang kemudian disusul dengan teriakan si mahasiswa. "Hai, pendeta, kaulah yang paling menjemukan, hendak aku berikan tanda mata padamu!" Setelah ini, tidak ayal lagi, si tauwto lari kabur, diikuti oleh See To.
Pada saat si "pemuda" itu terancam bahaya, si mahasiswa sudah tunjukkan kesebatannya yang luar biasa, ia lompat ke arah si tauwto, golok siapa ia tangkis dengan pedang Siong Sek Toojin yang ia rampas. Hebat tangkisan itu, golok kaytoo menjadi kutung karenanya. Tauwto itu kaget dan jeri, begitu juga See Ceecu, maka keduanya segera angkat kaki.
Si mahasiswa lantas tertawa berkakakan, lalu sambil melemparkan pedangnya kepada Siong Sek Toojin, dia berkata dengan logat anak sekolah, "Menipu uang dan merampas jiwa, itulah perbuatan tak berperikemanusiaan, dan tidak tahu tenaga sendiri, itu namanya tolol. Manusia tak berperikemanusiaan dan tolol, bukankah perbuatannya onar belaka? Ini, aku kembalikan pedangmu, supaya kau belajar lebih jauh lagi sepuluh tahun!"
Imam itu menjadi sangat lesu.
"Tolong kau sebutkan namamu," ia minta.
Si mahasiswa tertawa.
"Apakah kau berniat balas dendam kepadaku?" dia tanya.
"Tidak," sahut si imam.
"Jikalau tidak, untuk apa kau tanya namaku? Aku tidak berani bermusuh dengan kau, aku juga tidak ingin bersahabat denganmu, karena kita bukan musuh dan bukan sahabat, buat apa kita saling berkenalan?"
Siong Sek Toojin membungkam, ia menghela napas, tapi karena ia sangat mendongkol, ia patahkan pedangnya itu, sesudah mana ia ngeloyor pergi. Seorang diri ia bersumpah untuk selanjutnya tidak lagi menggunakan pedang.
Kembali si mahasiswa tertawa besar.
"Baik, pergilah kamu semua!" katanya sambil terus mendekati sekalian lawannya, untuk mendupak pergi.
Orang-orang yang diserang senjata rahasia In Lui terkena urat-uratnya hingga mereka tak dapat bergerak, sekarang setelah didupaki si mahasiwa, darahnya jalan pula, hingga mereka dapat bergerak lagi.
In Lui heran yang si anak muda dapat menyadarkan orang-orang itu sedang ia tahu, totokan piauwnya adalah totokan istimewa.
Si mahasiswa rupanya dapat melihat keheranan orang, sambil tertawa, dia berkata, "Kemarin kau pecahkan totokanku, sekarang aku pecahkan kepunyaanmu, tidakkah itu sama saja?"
Tapi tetap In Lui heran.
See Bu Ki telah saksikan perbuatan si anak sekolah, seperti lupa pada hajaran si anak sekolah tadi, ia lantas menghampiri, untuk memberi hormat sambil menjura, "Kau telah menolongi jiwaku, kau telah hajar aku dengan tanganmu, maka itu di belakang hari, aku pun hendak memberi ampun satu kali pada jiwamu dan menghajar kau satu kali juga!"
Mendengar itu dan melihat kelakuan orang, si anak sekolah tertawa.
"Aku tolong kau karena aku pandang muka si bangsat tua she See, dari itu tidak usah kau ingat budi," ia kata. "Kau hendak memberi ampun satu kali pada jiwaku, itulah tidak usah, tetapi bahwa kau hendak membayar satu tanganmu, untuk itu aku menanti. Kau kalah dari Siong Sek Toojin, kau mestinya pulang dulu untuk belajar lagi dua puluh tahun! Nah, pergilah lekas!"
See Bu Ki itu cupat pandangannya, bisa dimengerti bagaimana ia mendongkolnya. Ia pandang si mahasiswa dan In Lui dengan mata mendelik, lalu ia ajak kawan-kawannya berlalu.
Si mahasiswa menggeleng-gelengkan kepala, ia tertawa melenggak.
"Orang she See itu mempunyai nama kosong belaka di jalan hitam," katanya, "maka aku tidak sangka dia demikian tak berguna!"
Ia nampaknya jadi sangat kecele.
In Lui sebenarnya berniat berlalu, akan tetapi mendengar perkataan orang itu, ia menoleh. Ia anggap orang telah menghina golongan Jalan Hitam.
"Bagaimana dengan Kim-to Ceecu dari Gan-bun-kwan luar?" dia tanya. "Apakah dia tak dapat dihitung sebagai satu orang gagah?"
Berubah wajah si mahasiswa, tetapi cepat sekali, ia tersenyum. Ia menggoyang-goyangkan kepala pula.
"Kim-too Ceecu dan See Bu Ki, ayah dan anak, tak dapat dipandang sama," sahutnya. "Mengenai mereka itu ada perbedaan waktunya. Untuk menyebut dia sebagai orang gagah itulah belum dapat!"
Mendongkol In Lui.
"Baiklah!" serunya, "di kolong langit ini rupanya cuma kau seorang yang gagah!"
Karena tetap masih mendongkol, ia lantas bertindak pergi, akan berlalu dari rimba itu. Belum jauh ia berlalu atau satu bayangan orang berkelebat di depannya.
"Saudara kecil, perlahan sedikit!" demikian suara bayangan itu, ialah si mahasiswa. "Menurut aku, kaulah si orang gagah!"
In Lui melengak tapi segera ia angkat kakinya, untuk pergi terus. Ia bertindak ke kiri, si mahasiswa cegat ia , ia bertindak ke kanan, masih ia dihalangi. Ia bertindak pula ke kiri dan ke kanan, tetap ia dirintangi. Si mahasiswa bergerak dengan sebat sekali.
"Kenapa kau cegat aku?" bentak si "pemuda" hatinya panas sekali. Kali ini ia terus lompat, untuk dengan mendadak melewati si mahasiswa itu.
Maka gusarlah si "pemuda" hingga ia mendelik.
"Kau.....kau berani menghina...." Bentaknya. Hampir ia mengatakan "nonamu". Syukur dapat ia cegah itu di tenggorokannya, habis mana terus saja dengan pedangnya ia tikam tenggorokan si mahasiswa, hingga orang menjadi kaget, baiknya dia dapat lompat mundur.
Menyusul tikamannya itu, si "pemuda" perdengarkan seruan kaget, terus ia meringis. Tangan kanannya, yang mencekal pedang, telah turun sendirinya. Begitu hebat tikamannya itu, ketika tikaman itu tidak mengenai sasarannya, tangannya terlonjorkan kaget sekali, sedang tubuhnya tertahan kuda-kudanya. Tiba-tiba saja ia merasakan sakit karena lengannya bagaikan copot dari pundaknya.
Si mahasiswa lihat itu.
"Mari aku tolong sambung lenganmu," katanya sambil maju, dengan niat memberikan pertolongannya.
"Jangan kau pedulikan aku!" bentak si "pemuda". Ia mencekal lengan kanannya itu dengan tangan kiri, ia mendorong dengan dikagetkan, dengan begitu, ia sambung pula lengan itu, kemudian dengan membalik tubuh, membelakangi si mahasiswa, ia buka tangan bajunya, terus ia obati lengan yang seperti copot itu. Sebenarnya ia ingin lantas berlalu dari situ, baru ia berniat angkat kaki, untuk berlari pergi, atau sekonyong-konyong ia rasakan tubuhnya lemah. Segera ia insaf, karena telah bertempur terlalu lama, tenaganya menjadi habis sendirinya.
Si mahasiswa mendekati, ia menjura.
"Aku mohon maaf," katanya perlahan. "Saudara kecil, hatimu polos dan baik, kau dapat menolong sesamanya, ingin aku bersahabat denganmu. Sekian lama, baru aku ketemukan orang dengan pribadi sepertimu ini. Aku biasa beradat tinggi, andai kata aku telah berbuat salah terhadapmu, sukakah kau memaafkannya."
Dengan matanya yang bersinar hidup, ia awasi wajah orang.
Mukanya In Lui bersemu dadu, Di matanya, di dalam hatinya, ia merasa si mahasiswa ini luhur budi pekertinya, kelakuannya dapat membuat orang kagum.
"Kenapa kau mencaci Kim-too Ceecu?" akhirnya ia tanya, sambil tunduk.
Tertawa anak sekolah itu.
"Orang yang kau kagumi belum tentu dikagumi juga olehku," katanya. "Kenapa kau seperti hendak memaksakan supaya orang turut padamu? Lagi pula, aku tidak mencaci dia. Mungkin dia mempunyai bagian-bagian yang membuatnya orang kagum, akan tetapi.....Sudahlah, terlalu panjang untuk diuraikan, lebih baik aku tidak mengatakannya."
Tergerak hati In Lui.
"Apakah kau datang dari luar Gan-bun-kwan?" dia tanya.
Si mahasiswa mendongak, ia tertawa.
"Sang kapu-kapu terumbang-ambing karena tak ada gunanya, dia terhanyut sampai di sungai dan telaga, tak usahlah tuan menanyakan sebabnya," ia bersenandung, seorang diri. Lalu ia tertawa pula, suaranya mengharukan.
"Mestinya dia punyakan riwayat sedih," pikir In Lui, "riwayat yang sama dengan lelakon hidupku. Aku tak sudi orang mengetahui tentang diriku, maka buat apa aku menanyakan tentang dia?"
Oleh karena ini, dengan tiba-tiba nona ini menaruh rasa simpati terhadap si anak sekolah.
"Baik," katanya kemudian, "tak nanti aku ganggu pula padamu. Disini kita berpisah!"
Si mahasiwa tertawa pula.
"Saudara kecil," katanya, "hari ini kau telah menjadi piawsuku, sudah seharusnya aku undang kau minum arak. Kali ini kau telah berjasa, wajib kau menerima hadiah, dan tidak lagi aku mengatakan kau penganglap!"
In Lui tidak menjadi gusar. Ia anggap biasa saja seperti orang sedang bersenda gurau. Ia lantas memandang ke sekitarnya.
"Di hutan sebagai ini dimana ada arak?" tanyanya kemudian.
Si anak muda tidak menjawab, dia hanya perdengarkan suitan nyaring dan panjang, setelah itu terdengar jawaban yang berupa bengernya kuda, habis mana, dalam sekejap saja, tampak dua ekor kuda lari muncul dari dalam rimba. Itulah kuda putih dari si mahasiswa disusul kuda merah si nona.
"Lihat, mereka telah mendahului bersahabat!" kata si anak sekolah sambil tertawa.
Kuda putih itu menghampiri majikannya, dan si mahasiswa lantas mengulurkan tangannya, guna menurunkan satu kantong kulit dari bebokongnya, dari dalam kantong itu ia keluarkan satu gendul arak warna merah.
"Kau telah lelah, silahkan kau minum lebih dahulu," katanya seraya mengangsurkan gendul itu kepada si nona.
In Lui sambuti gendul itu, ia irup araknya. Tiba-tiba ia kerutkan alisnya.
"Ah, kiranya benar kau datang dari Mongolia!" ia kata.
Arak itu ada arak susu dari Mongolia, arak yang keras sifatnya dan sarinya agak asam. In Lui kenali arak ini, karena semasa kecilnya pernah ia turut ayahnya meminumnya. Ia tidak suak arak yang keras, karenanya, tak dapat ia melupakan arak ini.
Dengan sepasang matanya yang jeli, si mahasiswa mengawasi.
"Apakah kau juga datang dari Mongolia?" ia Tanya. "Melihat kau begini lemah lembut, mestinya kau kelahiran daerah Kanglam yang indah."
Tersenyum In Lui karena pujian itu.
Tiba-tiba si mahasiswa bertepuk tangan hingga menerbitkan suara nyaring. Terus ia tertawa.
"Kapu-kapu telah hanyut, untuk apa menanyakan tentang sumber asalnya?" katanya. "Bukankah air mengalir dan mega yang melayang harus dibiarkan sekehendak hatinya? Kau tak usah bertanya aku, aku juga tak usah bertanya perihalmu. Dalam halku ini, keliru aku sudah menanyakan kau berasal darimana."
In Lui heran, hingga tak dapat ia kendalikan hatinya.
"Pada malam itu, apakah kedua orang Tartar itu hendak paksa kau pulang?" dia tanya tanpa merasa.
Si anak muda tenggak araknya, ia tersenyum, tidak ia menjawab.
In Lui tidak mendesak, hanya seorang diri, ia berkata, "Di antara Watzu dan Tiongkok akan terbit perang, karena kau satu putera Tiongkok, kau telah lari dari wilayah Tartar itu, bukankah begitu?"
Si mahasiswa tertawa meringis. Ia tenggak pula araknya, ia tidak menjawab, ia seperti membiarkan si "pemuda" menduga-duga.
In Lui angkat mukanya, ia tatap wajah orang.
"Dua orang Tartar itu mengejar kau untuk ditawannya, kenapa kau bantui aku membunuh yang satu dan sebaliknya kau tolongi yang lainnya?" tanyanya.
Lagi-lagi si mahasiswa tenggak araknya. Tiba-tiba saja ia tertawa.
"Saudara kecil, sungguh kau gemar menanya!" katanya. "Tahukah kau, orang macam apa yang telah aku tolongi?"
"Dialah murid Tantai Mie Ming!" sahut In Lui cepat. Dia seperti keterlepasan buka mulut.
Si mahasiswa melirik orang di hadapannya, nampaknya ia merasa aneh. Ia lalu tertawa tawar.
"Yang terbinasa adalah salah satu pahlawannya To Hoan," katanya perlahan. Dan begitu ia berkata, terus ia tutup mulutnya.
In Lui heran. Ia berpikir," Tantai Mie Ming adalah pahlawan paling tangguh dan paling dipercaya dari Thio Cong Ciu dan yang mati itu adalah pahlawan To Hoan...Thio Cong Ciu dan To Hoan adalah menteri-menteri dari Watzu, apakah bedanya antara kedua menteri itu? Kenapa sekarang pahlawan To Hoan dibinasakan dan pahlawan Thio Cong Ciu dilepaskan?"
Benar-benar si nona tidak mengerti, hingga ia ingin menanyakannya. Akan tetapi, ketika ia tampak orang repot menenggak susu macannya, ia batalkan niatnya itu, ia anggap percuma saja untuk menanyakannya pula.
Masih si mahasiswa menenggak araknya, lalu ia goyang-goyangkan gendulnya, nampak ia terkejut.
"Ah, tinggal separuh lagi," katanya. Ia nampaknya menyesal.
"Apa sih lezatnya arak itu?" kata In Lui tertawa. Dimana-mana di Tiongkok ada orang yang menjual arak! Apakah itu semua tak cukup banyak untuk kau minum?"
Berduka nampaknya si anak sekolah, ia kata, "Orang meninggalkan kampung halamannya, rendah terpandangnya, barang-barang meninggalkan tempat asalnya, mahal harganya, itulah sebabnya kenapa aku hargakan arak ini."
Ia bawa gendulnya ke hidungnya dan menciumnya.
Melihat kelakukan orang itu, In Lui ingat halnya semasa kecil, selagi berumur tujuh tahun. Itu waktu bersama engkongnya, ia baru balik ke Tionggoan. Setibanya di luar kota Gan-bun-kwan, engkongnya meraup tanah, berulang kali tanah itu diciumnya, romannya sangat bersungguh-sungguh. Ingat ini, tiba-tiba ia tanya si mahasiswa, "Apakah kau orang Han?"
Agaknya heran anak sekolah itu.
"Kau lihat aku, apakah aku tak mirip orang Han?" dia balik menanya.
In Lui menatap muka orang. Ia dapatkan orang beralis kereng dan mata jeli, romannya sangat ganteng, jangan kata di Mongolia, sekalipun di Kanglam sukar untuk mencari orang secakap dia. Menatap wajah orang, mukanya menjadi dadu sendirinya.
"Biar kau telah menutup mata dan menjadi abu, kau tetap orang Han!" ia kata. Tiba-tiba ia menjadi jengah sendirinya, ia insyaf bahwa ia telah kelepasan berbicara.
Kedua mata si mahasiswa bersinar.
"Benar, benar sekali!" katanya. "Meski aku mati menjadi abu, tetap aku seorang Han! Mari minum!"
Ia buka tutup gendulnya itu, kembali ia menenggak.
In Lui tertawa menampak kelakuan orang itu.
"Kau minum bagaikan ikan lodan atau kerbau, dengan beberapa ceguk saja, arakmu kering, apakah tidak saying?" dia tanya.
Memain mata si anak muda, terus ia tertawa bergelak.
"Hari ini adalah hari yang paling menyenangkan bagiku, sudah seharusnya aku minum sampai puas!" katanya.
"Apakah itu yang paling menyenangkan kau?"
Si mahasiswa tertawa.
"Pertama-tama aku dapat bersahabat dengan orang semacam kau, dan kedua karena aku peroleh mustika yang langka!" sahutnya. "Mari, mari, saudara kecil! Aku undang kau minum arak sambil memandang gambar yang indah!"
Ia rogoh kantong kulitnya, akan keluarkan segulung kertas, yang mana, ia beberkan di antara sampokan angin, terus ia gantung di cabang sebuah pohon.
"Kau lihat!" katanya pula. "Bukankah ini mustika yang langka?" Dengan "mustika" ia maksudkan gambar yang ia anggap berharga itu ia maksudkan gambar yang ia anggap berharga itu.
In Lui ada turunan orang berpangkat, engkongnya pernah menjadi hamba negeri kelas satu dan bertanggung jawab sebagai satu utusan, sedang ayahnya, mulanya satu pembesar sipil kemudian menjadi seorang peperangan, maka ayah itu pandai ilmu surat. Demikian In Lui, sejak ia masih kecil sudah ia belajar surat, sudah ia mengenal gambar-gambar lukisan, maka tahulah ia gambar mana yang berharga, mana yang tidak. Sedang gambar ini adalah gambar yang Cio Eng gantung di Eng Chong Lauw, loteng tempat menyimpan barang-barang berharga. Tadi malam ia tak lihat nyata gambar itu, sekarang dapat ia memandangnya dengan tegas. Itu ada pemandangan alam di dalam kota, ada airnya, pepohonan, dan ada juga orangnya, lukisannya bagus, mirip karya satu pelukis pandai, hanya bila dipandang terlebih lama, masih ada kekurangannya. Maka itu, ia tertawa di dalam hatinya.
"Mahasiswa ini masih kurang pemandangannya tentang seni lukis," pikirnya.
Si mahasiswa tenggak habis araknya yang terakhir, ia tertawa.
"Apakah kau tak nampak keindahan pada gambar ini?" dia tanya.
In Lui belum menyahuti atau si mahasiswa sudah menghampiri gambar itu, untuk terus diusap-usap, untuk dipandang dan dipandang pula, kemudian ia bernyanyi dengan nada tinggi. "Siapakah yang menyanyikan lagu Souwcu dan Hangciu? Bunga teratai menyiarkan harumnya sepuluh lie dan kembang kui-hoa tiga musim, tetapi rumput dan pohon kayu tidak kekal, mereka mengenangkan penderitaan sungai Tiang-kang dari berlaksa tahun! Ya, ya , penderitaan sungai Tiang-kang dari berlaksa tahun..."
Kata-kata yang terakhir itu diucapkan secara bersenandung.
In Lui berpikir, "Orang-orang tua dahulu mengatakan, bernyanyi keterlaluan menyebabkan tangisan, sekarang mendengar nyanyian ini, itu sama hebatnya seperti mendengar tangisan."
Ia tengah berpikir begitu atau di luar dugaannya, benar-benar si mahasiswa menangis, tangisannya keras dan menyedihkan sekali, hingga umpama kata menyebabkan "daun-daun rontok dan burung-burung terbang pergi".
Bingung In Lui, tak tahu ia, kenapa si mahasiswa berduka, kenapa ia menangis, begitu sedih.
Hebatnya, lama anak sekolah ini menangis, hingga si nona menjadi tambah bingung. Bukankah anak sekolah ini orang asing baginya? Bukankah dia satu anak muda? Cara bagimana ia dapat menghiburnya? Ia pun tidak dapat meninggalkannya, itulah perbuatan tidak pantas. Habis, apa yang mesti dilakukan?
Masih si mahasiswa menangis, makin lama makin sedih, mengenaskan mendengarnya, hingga tanpa merasa, si nona turut mengucurkan air mata di luar keinginannya.
Si mahasiswa lihat orang menangis, ia lantas seka air matanya, dengan tiba-tiba ia ia berhenti menangis, ketika ia angkat kepalanya, mendongak, dengan tiba-tiba pula ia tertawa terbahak-bahak.
"Fui!" In Lui berseru. "Apakah kau telah mabuk?" tegurnya. "Kenapa kau tertawa dan menangis tidak keruan? Apakah sebabnya?"
Si mahasiswa mengawasi orang, ia menunjuk.
"Kau juga sudah mabuk!" katanya. "Toh, sama saja bukan?"
In Lui tunduk, ia lihat bajunya, yang pun basah dengan air mata. Ya, tanpa alas an, ia turut orang menangis. Ia jengah sendirinya, tetapi segera ia tertawa.
Si mahasiswa tertawa pula, bergerak-gerak, lalu ia bersenandung pula, "Makin kalap, makin gagah, itu baharulah orang kenamaan sejati. Bia menangis, bisa tertawa, itulah bukannya orang yang biasa....Kalau mestinya menangis, menangislah, kalau mestinya tertawa, tertawalah! Kenapa mesti malu-malu tak ada perlunya? Kita adalah orang-orang dari satu golongan, kita menangis, kita tertawa, apakah anehnya?"
Dengan kedua tangannya, ia gulung gambar itu, kembali ia bersenandung, "Sungai Tiangkang terus-menerus mengalir ke timur...menaruh kaki di tanah daerah asing, tetapi cita-cita belum tercapai....Bila memandang kembali kepada enam puluh tahun yang lampau, sungai di Selatan, di padang pasir di Utara, tidakkah itu sangat mendukakan orang?"
Tergerak hati In Lui mendengar itu. Ia berpikir pula, "Ketika tadi malam si mahasiswa ini pergi ke Hek-sek-chung mengambil gambar, Cio Eng mengatakan sudah menanti enam puluh tahun. Kenapa jumlah tahun itu akur satu dengan lain? Teka-teki apakah tersembunyi di dalam ini? Si mahasiswa baharu berumur dua puluh lebih, dan usianya Cio Eng belum lewat enam puluh tahun, maka apakah yang diartikan dengan enam puluh tahun itu?"
Ia pikirkan, ia pikirkan pula, masih ia tidak mengerti, sampai ia dengar pula kata-kata perlahan dari si mahasiswa.
"Hari ini aku tertawa puas, menangis pun puas, sayang sekali, araknya sudah habis..." demikian katanya. Rupanya dia sangat menyesal atau sengit, dia banting gendul araknya ke tanah hingga gendul itu pecah hancur.
Aneh kelakuan si mahasiswa ini, tetapi pada itu In Lui lihat suatu tenaga menarik yang luar biasa.
Waktu itu, matahari sudah menunjukkan lewat tengah hari.
"Ah, sudah waktunya kita berpisah..." kata si nona. Tapi, ia mengatakan ini dengan agak sedih. Ia seperti merasa berat untuk berpisahan.
"Kau hendak pergi kemana?" Tanya si mahasiswa. "Apa kau hendak kembali ke Hek-sek-chung?"
"Tak perlu kau ketahui itu," jawab In Lui.
Si mahasiswa tertawa.
"Apa yang kau perbuat tadi malam, semua telah aku lihat!" katanya.
Teringat pada kejadian di dalam kamar, muka In Lui menjadi merah.
"Nona Cio cantik luar biasa," kata si mahasiswa, "dia juga mengerti ilmu silat. Saudara kecil, mengapa kau menampik, tak mau kau menikah dengannya?"
"Aku mau atau tidak, apa sangkutannya dengan kau?" In Lui balik menjawab.
Mahasiswa itu tertawa pula.
"Jikalau malam itu aku tidak mengacau, tidak nanti kau dapat lolos dari Hek-sek-chung," dia kata. "Kenapa kau tidak menghaturkan terima kasih terhadapku?"
Mau atau tidak, In Lui tersenyum.
"Kita, bangsa orang gagah, kita memang tak boleh terjeblos dalam jebakan sang cinta," berkata si mahasiswa. "Imanmu teguh, saudara kecil, aku kagum terhadapmu."
Kembali merah wajah In Lui. Ia jadi jeri untuk bicara lebih lama dengan anak muda ini, ia kuatir rahasianya nanti terbuka, maka tanpa berkata suatu apa lagi, ia lompat ke atas kudanya, yang terus dikaburkan.
Baharu ia keluar dari rimba, atau di belakangnya, ia dengar suara kelenengan kuda, hingga ia mesti berpaling, rupanya kuda putih si mahasiswa telah menyandak padanya.
"Saudara kecil, aku ingin bicara padamu!" kata si mahasiswa.
In Lui tahan kudanya.
"Bicaralah!" katanya.
Si mahasiswa perlambat jalan kudanya, hingga berendeng dengan kuda si "pemuda".
"Di dalam wilayah Shoasay ini, Cio Eng dan See To sangat berpengaruh," kata si mahasiswa sambil tersenyum, "maka bila kau berjalan seorang diri saja, pada akhirnya kau bukannya dicandak Cio Eng, untuk dibawa pulang untuk dijadikan babah mantunya, melainkan kau akan dibekuk si orang she See ayah dan anak itu, untuk disiksa mereka. Karenanya, baiklah kau berjalan bersama-sama aku, aku akan menjadi piauwsu pembelamu."
In Lui anggap, berjalan bersama itu ada alasannya, akan tetapi, belum sempat ia menjawab, si anak muda sudah menanya pula kepadanya, "Sebenarnya kemana kau hendak pergi?"
"Ke Pakkhia," jawab In Lui.
"Sungguh kebetulan!" seru si anak sekolah. "Aku juga hendak pergi ke kota Pakkhia! Baiklah kita mengaku engko dan adik satu sama lain."
In Lui tertawa, ia anggap orang lucu.
"Aku belum tahu she dan namamu, mana dapat kita berbasa secara demikian?" katanya. "Apa aku mesti selalu panggil engko saja padamu?"
Anak sekolah itu tersenyum.
"Aku she Thio, namaku Tan Hong," jawabnya. "Tan dari tan-sim (putih bersih) dan Hong dari pohon hong."
In Lui tertawa.
"Satu nama yang bagus!" pujinya. "Akan tetapi di Mongolia tidak ada pohon hong, maka itu, dari mana kau ambil namamu ini?"
"Hiantee, namamu?" Tanya si anak sekolah, yang tidak menjawab. Ia pun sudah lantas berbasa "hiantee" (adik).
"Aku orang she In dan namaku cuma satu, Lui," sahut si "pemuda". "Lui dari pwee-lui (pusuh bunga)."
"Sungguh nama yang indah!" tertawa si mahasiswa. "Cuma nama itu sedikit berbau nama wanita. Di perbatasan tanah asing dimana ada es dan salju jarang tertampak busu bunga, dari itu, dari arti apa namamu diambil?"
Wajah In Lui berubah.
"Cara bagaimana kau ketahui aku menjadi besar di perbatasan tanah asing yang ber es dan bersalju itu?" dia tanya.
Si anak sekolah tertawa.
"Dari arakku!" sahutnya. "Begitu kau ceguk arakku, aku mengetahuinya. Bukankah caramu tadi membeber sendiri tentang asal-usulmu?"
In Lui berpikir, lantas ia tertawa sendirinya, ia merasa kurang senang hatinya. Dilihat dari sikap anak sekolah itu, mungkin dia masih mengetahui terlebih banyak tentang dirinya.
Dengan berbicara terlebih jauh maka tahulah In Lui bahwa Thio Tang Hong ini luas pengetahuannya, tentang ilmu bumi, perihal ilmu alam begitupun pengetahuan ilmu surat, syair, dan ilmu silatnya. Dengan sendirinya, ia jadi merasa sangat tertarik, hingga tanpa merasa, ia kurang akan penjagaan atas dirinya. Selama berjalan, asyik sekali mereka pasang omong.
Tanpa merasa, sang sore telah datang pula.
Thio Tan Hong menunjuk dengan cambuknya.
"Di depan sana ada sebuah dusun," katanya, " sudah tiba saatnya untuk kita bermalam."
Ia bunyikan cambuknya untuk melarikan kudanya.
In Lui telad anak sekolah itu, maka kaburlah kuda mereka, hingga sebentar kemudian tibalah mereka di tempat yang ditunjuk anak sekolah itu. Dengan lantas mereka cari rumah penginapan.
"Berikan kami sebuah kamar besar yang menghadap ke selatan," Tan Hong minta.
"Kita inginkan dua kamar!" In Lui campur bicara.
Kuasa hotel menggeleng-gelengkan kepala.
"Yang betul, satu atau dua?" ia tegaskan.
"Dua kamar!" sahut In Lui cepat dan keras. "Dua kamar!"
Thio Tan Hong mengawasi juga, ia tertawa.
"Baiklah, dua kamar!" sahutnya.
"Apakah tuan-tuan berdua saja?" masih pengurus hotel itu menanya.
"Ya, Cuma kita berdua," jawab si anak sekolah.
Pengurus itu heran, ini tampak pada wajahnya. Akan tetapi dua kamar ada terlebih banyak daripada satu kamar, sewanya jadi bertambah, maka ia tidak menegaskan terlebih jauh. Ia lantas ajak kedua tetamunya untuk periksa kamarnya, habis mana, ia undurkan diri untuk menyediakan barang santapan bagi mereka.
Di dalam kamarnya, Thio Tan Hong tertawa.
"Hiantee, bukannya aku pelit mengeluarkan lagi beberapa potong perak," kata dia. "Dengan berada berdua kita dapat pasang omong. Tidakkah itu lebih baik? Kenapa kau menghendaki dua buah kamar?"
"Kau tidak tahu, hian-heng," sahut In Lui, yang pun berbasa "kakak", "seumurku paling takut aku tidur bersama-sama orang lain."
Tan Hong tertawa pula.
"Pantas di Hek-sek-chung kau tak mau tidur sama-sama Cio-siocia!" katanya.
Merah wajahnya In Lui, lantas ia alihkan pembicaraannya.
Si anak sekolah juga tidak menanyakan lebih jauh.
Habis bersantap malam, dua sahabat ini tidur dalam kamarnya masing-masing.
In Lui tidak tengan hatiny, ia palang pintu kamarnya, ia tutup jendelanya, malah di waktu merebahkan diri, ia tidak salin pakaian. Tidak dapat ia lantas tidur nyenyak, masih ia pikirkan si anak sekolah, ia ingat akan kata-katanya dan tertawanya. Ia malah tidak rapatkan matanya.
Ketika terdengar kentongan tiga kali, hotel sudah sangat sunyi. Sampai saat itu, baharu In Lui merasakan hatinya tak terlalu tegang lagi, ia merasa lega, ia malah tertawa sendirinya.
"Tampaknya anak sekolah itu, walaupun ia berandalan, ia bukannya seorang ceriwis..." ia berpikir.
Oleh karena hatinya lega dan merasa ngantuk, In Lui lantas saja tidur pulas. Tidak tahu ia, berapa lama ia sudah tidur, tiba-tiba secara layap-layap ia tampak si anak sekolah mendatangi, mendekati pembaringannya, sambil membungkuk ia tersenyum. Ia kaget, ia hunus pedangnya, berbareng mana, si anak sekolah menjerit, lalu dalam sekejap saja, dia bermandikan darah seluruh tubuhnya. In Lui kaget sekali, hingga ia berseru. Adalah pada waktu itu, ia dengar ketokan pada jendela.
"Hiantee, lekas kemari!" demikian suaranya Thio Tan Hong.
In Lui berbangkit, ia kucek-kucek matanya. Insyaflah ia bahwa ia sedang bermimpi. Ia dengar suaranya Thio Tan Hong, ia kenali. Ia menjadi heran, hingga ia ragu-ragu, ia tengah bermimpi atau bukan.
Kembali terdengar suara Tan Hong, kali ini disusul dengan ringkikan kuda yang berirama sedih. Maka tak ayal lagi ia lompat turun. Syukur untuknya, ia tidur tanpa salin pakaian. Dengan lantas ia dapat buka pintu, untuk lari keluar.
Dari wuwungan rumah, terdengar Thio Tan Hong berseru, "Orang telah mencuri kuda kita! Mari lekas, kita kejar! Lekas!"
Kuda Ciauw-ya Say-cu-ma dan kuda merah dari Thio Tan Hong dan In Lui ada kuda-kuda pilihan, tidak sembarang orang dapat mendekati kedua binatang itu, malah kuda Tan Hong bengis sekali dan mengerti, kecuali tuannya, lain orang tidak dapat mengendalikannya. Karena itu, Tan Hong sangat percaya kudanya itu, barangnya yang berharga pun ia biarkan di bebokong kuda, sama sekali ia tidak kuatirkan apa-apa, maka itu, adalah di luar sangkaan, kali ini ada orang yang mencuri kuda itu. Pastilah pencurinya seorang yang sangat cerdik atau suatu ahli. Tidak perduli ia bernyali besar dan tabah, Tan Hong toh gentar juga.
In Lui lompat naik ke atas genteng.
"Dapatkah kita susul mereka?" ia Tanya.
"Kuda kita tentu tak sudi turut lain orang, mesti dapat kita susul," jawab Tan Hong. Ia rogo sakunya, akan keluarkan sepotong perak, yang mana ia lemparkan ke dalam rumah. Sampai pengurus hotel itu mendusin, mendengar suara yang berisik.
"Uang sewa kamarmu di lantai!" teriak Tan Hong, habis mana ia lompat pergi.
In Lui segera ikuti kawan ini.
Di sebelah depan mereka masih terdengar ringkiknya kuda.
Pengejaran dilakukan terus sampai di sebuah tegalan. Di bawah rembulan yang remang-remang, dibantu dengan cahaya bintang-bintang, segera tertampak kedua kuda-kuda itu, kuda merah di sebelah depan, kuda putih di sebelah belakang. Kedua kuda itu lari dengan berjingkrakan, terang keduanya tak sudi lari, keduanya berontak.
Pun si pencuri kuda tampak juga. Mereka mengenakan pakaian biru, muka mereka ditutupi topeng. Masing-masing memegang sebatang hio, yang apinya menyala, hingga sinar api itu mirip dengan cahaya bintang, terutama di tempat yang gelap tampak tegas. Dan dengan hio itu, tiap kali mereka suluti tubuh kuda. Itulah cara paksaan untuk membikin kuda lari, tidak perduli kuda itu meringkik kesakitan dan terus berjingkrakan. Kedua pencuri itu mengepitkan kaki mereka dengan keras, hingga kuda jadi tidak berdaya, saking sakitnya, mau juga kuda itu lari. Disebabkan sering berjingkrak, kedua kuda itu tak dapat lari jauh, atau segera Tan Hong dan In Lui dapat menyusul.
Sakit hati Tan Hong dan In Lui mendengar suara kuda mereka yang tersiksa, itu, sambil mengejar, mereka memanggil-manggil.
Ciauw-ya Say-cu-ma sudah lantas dengar suara majikannya, dia berjingkrak keras, karena mana, si penjahat lagi-lagi menyulut tubuhnya.
Selagi mengejar terus, Thio Tan Hong perdengarkan seruannya yang nyaring, menyusul mana tangannya terayun, hingga belasan sinar perak menyambar ke arah kedua pencuri kuda itu. Tapi mereka seperti punya mata di batok kepala mereka, atas datangnya serangan itu mereka jatuhkan diri, akan sembunyi di perut kuda.
Thio Tan Hong sayangi kudanya, ia tidak mau serang kudanya itu, ia cuma serang si pencuri, karenanya, serangan senjata rahasia itu jadi gagal, tidak ada sebuah jua dari jarumnya yang mengenai sasarannya.
Oleh karena sakitnya, kedua kuda itu kabur keras, ke arah gunung.
Berdua In Lui, Tan Hong mengejar terus, sampai tiba-tiba terdengar kedua pencuri kuda itu tertawa berkakakan, iramanya seperti tertawa wanita. Tentu saja In Lui jadi terperanjat bahna herannya.
Di atas tanjakan pun segera terlihat cahaya api berkelap-kelip bagaikan kunang-kunang bermain di antara gombolan rumput. Tanjakan itu sunyi dan seram nampaknya, sampai In Lui bergidik sendirinya.
Tiba-tiba saja Tan Hong tertawa nyaring.
"Apakah benar ada si cantik manis yang menjadi pencuri dan di tengah malam buta berkawan dengan iblis?" katanya nyaring. "Kembalikan kudaku! Tidak sudi aku bertempur dengan wanita!"
Ia lantas lompat, untuk mendaki tanjakan itu, In Lui ikuti padanya.
Sementara itu terdengar suara nyaring dari wanita, "Eh, besar juga nyali si pencuri mustika!"
In Lui lantas lihat dua ekor kuda, yang mengangkat tinggi kaki depannya, hingga kedua binatang itu bagaikan orang tengah berdiri di tanjakan yang satu di depan, yang lain di belakang. Kedua kuda itu tidak berbunyi juga tidak bergerak, maka di bawah sinar rembulan yang suram, nampaknya aneh dan luar biasa. Tanpa merasa, In Lui perdengarkan suara tertahan.
Thio Tan Hong sebaliknya, tertawa dingin.
"Oh, kiranya kamu yang main gila!" demikian si mahasiswa.
In Lui tenangkan dirinya, ia pasang matanya. Kali ini ia dapat melihat lebih tegas. Ia tampak empat orang tengah berdiri di tanjakan, masing-masing mengangkat sebelah kakinya, sebagai orang sedang menindak turun di tangga loteng, akan tetapi wajah mereka "diam", mereka bagaikan patung-patung saja. Mereka adalah empat saudagar barang permata yang sedang berurusan dagang dengan Cio Eng, keadaan mereka sekarang ini mirip benar dengan keadaan mereka tadi malam setelah mereka ditotok Tan Hong.
Melihat keadaan orang itu, In Lui menghela napas lega. Ia kagum untuk orang yang pandai menotok itu, yang dapat menotok orang-orang ini tanpa mereka ini bisa berdaya. Ia menduga, mereka ini adalah pencuri-pencuri kuda, rupanya mereka mencuri untuk membalas dendam yang kemarin mereka ditotok.
Tanpa kuatir suatu apa, In Lui segera hampirkan keempat saudagar itu.
"Tadi malam aku telah membebaskan kamu dari totokan, kenapa sekarang kamu berbalik mengganggu kuda kami!" ia tegur mereka itu.
Empat saudagar itu tidak menjawab, mereka tetap diam sebagai patung.
Tiba-tiba dari atas tanjakan terdengar suara, "Apakah tetamu sudah datang? Bawa mereka ke dalam kuburan!"
Meneliti suara itu, seolah-olah datangnya dari dalam tanah, seperti jauh, seperti dekat. Mendengar itu, In Lui treperanjat. Itulah suara yang menandakan bahwa orang yang berkata-kata itu mempunyai iweekang (ilmu dalam) yang sempurna. Menduga orang itu tentulah musuh, In Lui lantas bayangkan bahwa ia tengah menghadapi lawan yang merupakan memedi.
Menyusul mana suara dalam itu, dari antara tumpukan batu-batu gunung segera tampak munculnya dua tubuh bagaikan bayangan. Mereka ini mengenakan baju hijau, mata mereka masing-masing menyorot tajam. Karena muka mereka ditutupi topeng, mata mereka pun mirip dengan kunang-kunang yang bercahaya di tempat gelap. Mereka tak mirip wanita Tionghoa. Tapi keduanya terus menekuk lutut mereka, untuk memberi hormat.
"Silahkan!" demikian mereka mengundang.
"Lebih dahulu tolongi kuda kita, baharu kita bicara!" kata Tan Hong.
"Tuan kami pesan supaya tuan jangan berkecil hati," kata salah satu penyambut ini. "Katanya tanpa diambilnya tindakan ini, tidak nanti kita dapat pimpin tuan dan kawanmu datang kemari."
"Siapa tuan kamu itu?" Tanya In Lui, karena ia lihat orang bersikap hormat.
Salah satu penyambut itu tertawa, ia menoleh pada kawannya.
"Ya, aku sampai lupa pada aturan kamu kaum Rimba Hijau dari Tionggoan," katanya. "Ji-so, tolong serahkan karcis undangan kita!"
Penyambut yang kedua itu, yang berada di sebelah belakang, sudah lantas putar tubuhnya, kemudian setelah berbalik pula, ia serahkan apa yang dinamakan karcis undangan, ialah dua potong tulang kepala manusia.
Melihat kartu nama semacam itu, wajah Tan Hong berubah.
In Lui juga terperanjat, akan tetapi ia kuasai dirinya.
"Kartu undangan ini istimewa sekali!" katanya.
Kedua penyambut itu tidak menjawab, terus mereka jalan di sebelah depan.
Tan Hong dekati In Lui, di kuping siapa ia segera berbisik, "Lekas kau singkirkan diri! Majikan mereka adalah Hek Pek Mo-ko!..."
"Hek Pek Mo-ko...." In Lui ulangi, lalu dalam sekejap saja, ia sadar. Ia segera ingat keterangannya Ciu San Bin tentang kedua orang aneh dari kaum kangouw pada jaman itu, dua "manusia aneh" yang paling ditakuti.
Hek Pek Mo-ko itu katanya berayah orang India, yang datang ke See-chong atau Tibet, untuk berniaga, lalu ia masuk kebangsaan Tibet, dia menikah dengan satu nona Tibet, dari siapa dia peroleh sepasang anak kembar, yang masing-masing berkulit putih dan hitam, yang romannya luar biasa. Menurut bahasa Hindu tua, iblis jahat dipanggil "mo-ko" karenanya orang memanggil kedua anak itu, sang kakak Hek Mo-ko dan sang adik Pek Mo-ko. Ayah mereka pandai ilmu silat India, mereka dapat mewariskan kepandaian ayah mereka itu, yang dicampur dengan ilmu silat Tibet dan Mongolia juga, maka mereka mempunyai rupa-rupa ilmu silat hingga kesudahannya mereka jadi lihai sekali. Katanya setelah memasuki umur belasan tahun, Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko pergi berpesiar sampai di Tionggoan dimana kabarnya, di Kwie-ciu (Canton) mereka telah menikah dengan anak seorang saudagar hartawan bangsa Iran. Untungnya kedua saudara ini, mereka juga pandai bahasa Tionghoa, Iran, Tibet, dan Mongolia disamping bahasanya sendiri, bahasa India. Mereka seperti dapat keluar dan masuk tanpa ketentuan.
Di beberapa tempat mereka mempunyai rumah, hingga mereka bisa tinggal dan berdiam dimana mereka suka. Mereka mempunyai banyak harta dan barang permata, umpama kata ada pembesar Rimba Hijau rakus yang menginginkan permata mereka, pasti mereka akan mendapat bagian, setelah disiksa, dia baharu dibinasakan. Maka kaum Jalan Putih dan Jalan Hitam pandang mereka ini sebagai bintang bencana. Apa sebabnya mereka suka membawa-bawa barang permata, tidak ada orang yang ketahui jelas, orang cuma bisa duga, permata itu berasal curian atau memangnya barang dagangan. Tidak ada orang yang berani menanyakannya. Sedang sebenarnya, mereka adalah tukang-tukang tadah, mereka bisa beli permata dari begal tunggal, yang mereka biasa jual ke India atau Iran, hingga mereka menjadi aman. Maka itu, mereka kenal baik banyak begal atau penjahat tunggal. Demikian, Hon-thian-lui Cio Eng adalah langganan mereka. Empat saudagar, yang malam itu In Lui lihat, ada pembelinya. Tentu sekali in Lui, juga Thio Tan Hong, tidak ketahui rahasianya Cio Eng serta tukang tadah itu. Walaupun demikian, Tan Hong tahu tanda rahasia dari Hek Pek Mo-ko, ialah tengkorak manusia, karena mana, ia kisiki In Lui untuk lari menyingkir.
Tapi In Lui berpikir lain, bukan dia kabur, dia justeru tersenyum.
"Bukankah tadi kau menyuruh aku menjadi piauwsu?" katanya. "Maka sekarang, tak dapat tidak, aku mesti menyertai kau!"
Tan Hong percaya orang tak tahu lihainya Hek Pek Mo-ko, ia memikir untuk menjelaskannya, akan tetapi, untuk itu, ketikanya tidak ada. Untuk itu, ia mesti bicara banyak. Ia lihat tegas, kedua wanita Iran itu tiap-tiap kali berpaling ke arahnya. Karenanya, ia jadi mengeluh sendirinya.
"Ah, kau belum tahu lihainya kedua hantu itu..." demikian keluhnya dalam hati.
Tan Hong keliru apabila ia menduga In Lui tidak tahu ancaman bahaya, In Lui justeru tak hendak meninggalkan dia pada saat seperti itu. Ia ingin turut bersama.
Kedua wanita Iran itu jalan di muka untuk memimpin, mereka melalui jalan belukar yang banyak batunya, di antara pelbagai kuburan, sesaat kemudian tibalah mereka di depan sebuah kuburan besar luar biasa.
Segera terdengar suara nyaring dari dalam kuburan itu, "Apakah yang datang itu dua bocah cilik?"
Kedua wanita itu tertawa.
"Benar!" terdengar pula suara dari dalam kuburan itu. "Bawa mereka masuk!"
Satu wanita mendekati pintu kuburan, ia gunakan sebelah tangannya untuk menekan, atas itu terdengarlah suara berisik pada daun pintu.
"Brak!" demikian terdengar suara nyaring dan berisik, karena daun pintu itu segera rubuh menggabruk. Dia terus tertawa, dia pun berkata, "Tidak usah kau mengundang lagi, aku sendiri dapat datang!"
Kuburan itu mempunyai thia, yaitu ruang muka, yang indah perabotannya, yang mirip dengan ruang suatu istana. Disini dipasang dua puluh empat lilin yang besar, yang membuat ruangan menjadi sangat terang. Rupanya itu adalah suatu istana di dalam tanah, yang ada hubungannya dengan dunia luar, karena dengan berada di dalam ruang itu, orang tidak bernapas sesak.
In Lui segera lihat sebuah meja besar di tengah ruangan itu. Meja itu adalah meja marmer. Di tengah-tengah meja duduk dua orang, yang romannya benar-benar luar biasa. Rambut mereka bergelintir, hidung mereka bengkung, muka mereka, yang satu putih meletak, yang lain hitam legam, hingga perbedaan antara kedua orang itu sangat tegas. Di kedua sisi mereka duduk masing-masing dua orang Han, yaitu keempat saudagar barang permata itu. Maka, mengenal mereka itu, In Lui berkata dalam hatinya, "Terang sudah, kuburan ini mempunyai pintu belakang...."
"Apakah mereka berdua ini yang mencuri permata?" Tanya Hek Pek Mo-ko, kedua orang dengan roman luar biasa itu.
"Itulah yang usianya terlebih tua," sahut satu saudagar. "Yang lebih muda itu ada babah mantunya Cio Eng, dia tidak turut mencuri, dia malah telah menolongi kami dengan membebaskan kami dari bekas totokan."
Hek Moko manggut.
"Kau berdiri di pinggir!" kata dia pada In Lui, tangannya menunjuk.
Tapi In Lui membangkang.
"Aku datang bersama-sama dia," katanya. "Kenapa aku mesti berdiri di pinggir?"
Pek Moko kerutkan alisnya.
"Bocah cilik, kau tidak tahu apa?" katanya.
Hek Moko menuding Tan Hong.
"Eh, bocah gede, besar nyalimu!" katanya. "Kenapa kau berani datang-datang ke Hek-sek-chung untuk mencuri permata dan melukai orang? Kenapa kau pun berani menghajar rubuh pintuku ini? Apakah kau anggap kami dapat dibuat permainan?"
Thio Tan Hong tidak menjawab, dia hanya balik menanya.
"Berapa lama sudah kamu sampai di Tionggoan?" demikian pertanyaannya.
"Apakah maksudmu?" Tanya kedua hantu ini, dengan murka.
"Pernahkah kamu dengar satu pepatah Tionghoa yang mengatakan dendam ada kepalanya, hutang ada tuannya?" Tan Hong tanya pula. "Jangan kata aku memang tidak pergi ke Hek-sek-chung untuk mencuri, taruh kata benar apa hubungannya dengan kamu berdua? Cio Eng toh tidak menginginkan kamu yang campur tahu perkara itu?"
Muka kedua hantu itu mendadak berubah.
Thio Tan Hong tak menggubris, ia hanya menambahkan, "Adalah kamu yang mencuri kuda kami, kenapa sekarang kamu herankan yang aku hajar rusak daun pintumu? Lagi pula tempat ini bukannya tempatmu, tempat ini adalah tempat orang mati!"
"Apakah kamu kira cuma kamu sendiri yang boleh menguasai lain orang?" Tan Hong tertawa. "Aku lihat, lebih baik kau tutup rapat pintu kuburanmu ini, jangan kau pergi keluar lagi!"
"Apa katamu?" tegaskan Pek Moko, si Hantu Putih.
"Ini adalah kuburan suatu pangeran!" kata Tan Hong.
"Ia ada pangeran dari kerajaan Chin. Habis kau hendak apa?" tanya Pek Moko.
"Ada pepatah yang mengatakan. Menutup pintu besar untuk menjadi raja" sahut Thio Tan Hong, "maka itu jikalau sekarang kamu tutup kuburan ini, bukankah kamu pun boleh menjadi raja, sedikitnya kamu bisa menjadi pangeran Chin! Sebenarnya, untuk menjadi raja tidak ada artinya."
Murka kedua hantu itu dipermainkan secara demikian. Tanpa terlihat gerakan mereka, tahu-tahu mereka sudah mencelat dari kursi mereka masing-masing sampai kepada Tan Hong, empat tangan mereka menyambar ke arah batok kepala orang.
In Lui terkejut hingga ia keluarkan seruan tertahan.
Menyusul sambaran empat tangan itu, terlihatlah berkelebatnya satu sinar putih bagaikan rantai. Sebab Thio Tan Hong, dengan kesebatannya, telah hunus pedangnya, yang berkelebat mirip bianglala.
Kedua hantu Hitam dan Putih ini perdengarkan seruan, "Pedang yang bagus!" Diantara satu suara "Bret!" terlihat tubuh mereka bergerak-gerak bagaikan bayangan.
Pada saat itu juga terdengar tertawanya Thio Tan Hong, yang menyambungi, "Bagus, bagus! Hek Moko dan Pek Moko mengerubuti satu bocah!"
Mendengar ejekan itu, kedua hantu itu sudah lantas jumpalitan mundur, hingga di lain saat keduanya sudah duduk bercokol pula di kursi mereka masing-masing, muka mereka menyeringai. Mereka ini tidak pandang Thio Tan Hong sebagai tandingan mereka, barusan mereka menyerang disebabkan hawa amarah mereka yang meluap dengan tiba-tiba, hingga mereka melakukan sesuatu yang melanggar hokum rimba persilatan. Mereka percaya, dengan satu kali turun tangan, mereka dapat mencekik si "bocah gede" itu. Tidak tahunya, meleset dugaan mereka, hingga mereka menjadi malu sendirinya, mereka jadi jengah.
Luar biasa sebat Tan Hong menghunus pedang, cepat sekali ia gerakkan pedangnya itu, meskipun sekali berkelit, bajunya kena disambar hingga baju itu robek, di lain pihak, pedangnya sudah memapas kopiah orang sampai rambutnya ikut terpapas pula. Dan hebatnya, karena perbuatannya itu, Hek Pek Moko pun akan tercela karena mereka telah menghina orang yang terlebih muda.
Hek Moko, si Hantu Hitam, lantas mengawasi Tan Hong.
"Bagus ilmu pedangmu!" katanya. "Mari, mari kita mencoba-coba!"
Kali ini hantu itu tidak lagi memandang orang sebagai "bocah", ia anggap sekarang boca itu adalah pantarannya, maka itu, ia telah ubah sikapnya, ia sudah lantas menantang.
Thio Tan Hong tersenyum, ia awasi kedua hantu itu.
"Bagaimana kehendakmu?" ia tanya. "Kamu berdua hendak maju berbareng atau melayani satu dengan satu? Bagaimana kalau kalah? Dalam hal ini, perlu mengatur terlebih dahulu!"
Hek Moko gusar sekali.
"Kamu berdua, kita juga berdua, tidakkah itu berimbang?" katanya.
Hek Moko kesohor, sekarang ia ingin bertanding satu sama lain, itu artinya ia sudah lantas merasa agak jeri.
Akan tetapi Thio Tan Hong kata, "Urusanku ini tidak ada hubungannya dengan saudaraku ini! Adalah aku seorang diri yang akan melayani kami.."
"Jikalau demikian," kata Hek Moko, "baik, aku sendiri yang melayani kau."
Tapi In Lui campur bicara.
"Kita datang berdua, maka itu aku juga hendak melayani kamu!" demikian katanya.
"Bagus, bagus!" Pek Moko turut berbicara, "Jikalau kamu turun tangan berbareng, aku suka turut menemani kamu!"
"Sudahlah, jangan terlalu banyak omong!" Hek Moko menjadi tidak sabaran. "Aku akan layani kau seorang!" ia maksudkan Thio Tan Hong, "Jikalau saudaramu tidak turun tangan! Tidakkah ini jelas?"
In Lui masih hendak bicara, tetapi Tan Hong cegah dia.
"Sudahlah, saudara yang baik! Kau biarkan aku yang mencoba-coba dulu. Umpama kata aku tidak berdaya, baharulah kau turun tangan. Apakah itu tidak terlambat?"
Hek Moko tidak perdulikan kedua saudara itu sedang berebut omong, ia ulurkan sebelah tangannya ke arah tembok, dari situ ia menarik sebatang tongkat kemala, yang mengeluarkan sinar terang bercahaya hijau, setelah itu ia berbangkit dari kursinya, ia bertindak ke ruang yang lega.
"Mari, mari!" ia menantang. "Jikalau aku menang maka kuda dan permatamu, semua itu akan menjadi kepunyaanku!"
"Jikalau kau yang kalah, bagaimana?" tanya Tan Hong.
"Jikalau aku yang kalah, maka tempat ini akan menjadi kepunyaanmu!" hantu itu berjanji.
Kuburan itu adalah tempat Hek Pek Moko menyimpan harta besar mereka, di antaranya ada barang berharga yang hampir semahal sebuah kota. Hek Moko anggap, taruhan ini adalah taruhan yang pantas sekali.
Akan tetapi Thio Tan Hong berpikir lain. Dia tertawa.
"Siapa kesudian menjadi tuan dari guha hantu ini!" katanya mengejek.
"Habis, apa yang kau kehendaki?" tanya si Hantu Hitam.
"Kau mesti obati kuda kami hingga sembuh!" dia menjawab.
Hek Moko juga tertawa bergelak.
"Inilah gampang!" jawabnya. "Aku biasa berdagang, aku hargakan perkataanku. Baik kita omong secara pantas. Aku pun tidak menginginkan bendamu. Di antara banda kita, sukar untuk menetapkan harganya. Sekarang terserah kepadamu! Nah, majulah!"
Thio Tan Hong lantas rapikan dandanannya. Ia loloskan baju panjangnya, yang kena dirobek kedua hantu itu.
"Dengan dandananku ini, aku mirip dengan satu pengemis...."katanya, yang terus merobek baju panjangnya itu. Ia sekarang dandan dengan singset, nyata ia telah pakai baju kutang yang tersulamkan dua ekor naga emas tengah bertarung di tengah laut yang bergelombang. Di antara cahaya lilin, baju kutang itu nampaknya indah.
In Lui lihat baju kutang itu, ia heran.
"Apakah benar di Mongolia juga ada sulaman Souwciu?" tanya ia pada dirinya sendiri. Tapi ia tak sempat berpikir lama, atau pertandingan sudah lantas dimulai.
"Kau yang mulai!" Tan Hong tantang lawannya, setelah ia selesai dandan dan beri hormat sambil menjura.
Hek Moko dapat kesan baik untuk kelakuan dan kesopanan orang itu, ia merasa puas hingga ia tersenyum, akan tetapi meskipun demikian, denan tiba-tiba saja ia mulai dengan serangannya, tongkatnya menyambar ke arah muka.
Thio Tan Hong tidak menjadi kaget karena serangan mendadak itu, malah dengan gesit ia telah angkat pedangnya, untuk menangkis, hingga tidak ampun lagi, kedua senjata telah beradu satu sama lain hingga terdengar suara yang keras dan nyaring. Sinar pedang pun menyilaukan mata.

VI
In Lui terperanjat melihat bentroknya kedua senjata itu.
"Aku tidak sangka, tongkat kemala itu, ada barang mustika juga," pikirnya.
Kedua senjata seperti menempel satu dengan lain, karena masing-masing tidak menarik kembali tangan mereka, sebaliknya, mereka saling menekan.
Kedua pihak berdiri tegak dengan kuda-kuda mereka, keduanya sama-sama empos semangat, untuk mengerahkan tenaga mereka. Karena ini, dalam sekejap saja, keduanya mulai mengalirkan keringat di jidat mereka.
Tegang hati In Lui menyaksikan pertempuran adu tenaga dan keuletan itu.
"Secara begini, tidakkah keduanya akan sama-sama bercelaka?" demikian ia pikir pula. Ia jadi berkuatir.
Tak lama kemudian terdengar seruan Hek Moko, tubuh siapa terus mencelat. Menyusul itu terdengar pula suara kedua senjata.
Di pihak lain Thio Tan Hong pun mencelat mundur, dengan begitu, senjata mereka jadi terlepas dan terpisah. Selagi lompat, Tan Hong perdengarkan seruan, "Celaka!"
In Lui terkejut hingga hendak ia hunus pedangnya, Cuma sebelum ia sampai berbuat begitu, ia segera dengar tertawanya Tan Hong.
"Tidak apa, tidak apa!" demikian Tan Hong buka mulutnya. "Kiranya kau adalah seekor keledai tua! Sekian lama senjata kita sudah bentrok tapi kau tidak mampu berbuat suatu apa! Haha haha! Namamu kosong belaka! Nyata kau tidak sanggup memukul mundur satu bocah! Hahahaha! Haha haha!"
Suara tertawa itu belum berhenti atau Hek Moko, dalam murkanya yang hebat, sudah berseru nyaring sekali.
"Bocah, kau tidak tahu mampus!" Lalu tubuhnya mencelat maju, sinar hijau dari tongkatnya pun berkelebat, sinar itu menyambar ke arah jidat si orang she Thio.
Sebenarnya In Lui ingin tertawa mendengar kata-kata Tan Hong, tapi ia terhenti di tengah jalan, sebaliknya ia menjerit, "Oh!" disebabkan serangan si hantu yang sangat dashyat itu.
Tiba-tiba terdengar pula tertawa nyaring dari Tan Hong yang terus berkata dengan keras, "Lihat, lihat! Si bocah akan kemplang kepala si keledai tua!"
Atas datangnya serangan dashyat itu, Tan Hong menyamping satu tindak, sambil mundur ia angkat pedangnya, dengan itu ia membalas menabas ke arah lengan orang.
Hek Moko pun sangat awas dan gesit sekali, lekas-lekas ia tarik kembali tangannya.
Tan Hong tahu orang lihai, sengaja ia mainkan lidahnya guna membikin orang mendelu. Ia dapat menduga, Hek Moko mulanya tidak pandang mata padanya, maka ia dipanggil bocah, dari itu, sengaja ia gunakan perkataan bocah itu untuk membuat orang panas hati. Dalam hal ini, ia berhasil membakar hatinya si Hantu Hitam.

Thian San 2 : Dua Musuh Turunan (Peng Cong Hiap Eng)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang