XXVI

492 6 0
                                    

Itulah batu permata yang Tjioe Kian haturkan kepada In Loei dan In Loei menyerahkannya lebih jauh kepada Tjoei Hong, selaku tanda mata, kemudian In Loei serahkan pada Tjioe San Bin dengan permintaan supaya San Bin nanti mengatakan pada Tjio Eng, untuk menjelaskan duduknya hal, agar pernikahannya dengan Tjoei Hong dapat dibatalkan.

Tjoei Hong lihat batu permata itu, yang membawa peranan, mukanya menjadi merah,ia likat sendirinya.

San Bin majukan kudanya, hendak ia serahkan batu itu kepada In Loei, tetapi Si Nona In tertawa sambil berkata: "Permata itu asalnya kepunyaan keluargamu sendiri, untuk apakah hendak dikembalikan kepadaku?"

Lantas ia tepok kudanya, untuk dilarikan berendeng bersama Tan Hong! Keras larinya kuda mereka, dalam sekejap saja mereka sudah lenyap, hingga tinggallah San Bin yang mengawasinya sambil menjublak...

Benar-benar cepat Tan Hong dan In Loei kaburkan kuda mereka, pada hari kedua mereka telah lintasi kota Ganboenkwan, di tempat perbatasan kedua bangsa Ouw dan Han.
Di tempat pengembalaan orang Mongolia, adalah umum yang kaum wanitanya menunggang kuda, oleh karena itu, In Loei tidak perlu salin pakaian lagi, ia tetap dandan sebagai satu nona.

Puas hati Tan Hong menyaksikan si nona duduk di atas kudanya di tanah datar berumput hijau. Ia tertawa sendirinya.

"Jikalau aku berada terus bersama kau," katanya, gembira, "meskipun seumur hidupku aku mesti tinggal merantau, sudi aku, puas hatiku!"

In Loei singkap rambutnya, ia menoleh sambil melirik.

"Hai, engko tolol mengucapkan kata-kata tolol!" katanya tertawa.

Berdebar hati Tan Hong, hampir tak dapat ia kuasai dirinya.

Habis perang, kota Ganboenkwan dan sekitarnya jadi tidak keruan macam. Waktu itu pun tentera kerajaan Beng, yang mesti menempati kota itu, masih belum tiba, yang ada hanya beberapa serdadu saja.

Melihat keadaan kota, Tan Hong berdiam, pikirannya bekerja. Ia menyayangi kota itu.

Selagi berpikir, tiba-tiba ia dengar In Loei menarik napas.

"Adik kecil, kau kenapa?" ia tanya.

"Aku teringat kepada keadaan waktu aku masih kecil, ketika itu aku ikut kakek pulang," sahut si nona, "Ah, tanpa merasa, sepuluh tahun sudah lewat... Ya, di sini aku ingat benar. Waktu itu adalah tanggal lima belas bulan sepuluh. Di sini kakekku menyerahkan surat wasiatnya, yaitu kulit kambing yang berdarah..."

Mendapat kenang-kenangan ini, wajah si nona menjadi guram. Ia berdiam. Tan Hong juga berdiam.

"Begitulah hidupnya manusia!" kata si pemuda kemudian. "Berapa lama manusia dapat hidup? Baiklah kau jangan mengingat-ingat pula hal yang tak menyenangkan itu..."

Keduanya menjalankan kuda mereka dengan perlahan-lahan.

"Hidup manusia, benar-benar aneh," kata In Loei kemudian.
"Kenapa aneh?" tanya Tan Hong sambil mengawasi.

In Loei pandang pemuda itu, sinar matanya berarti. Agaknya hendak ia bicara, tetapi selalu urung.

"Manusia memang mengalami banyak perubahan di luar dugaannya," kata Tan Hong.

"Lihat saja aku sebagai contoh. Tadinya aku pikir, selama hidupku ini tidak nanti aku keluar pula dari Ganboenkwan, siapa sangka, hari ini aku toh berada di sini! Maka itu, apa yang kau katakan aneh, bukan aneh. Adalah hal, yang dilihatnya tak mungkin terjadi,pada suatu waktu terjadi dengan tiba-tiba..."

Kata-kata pemuda ini mengandung arti.

In Loei berdiam. Pada otaknya berkelebat surat wasiat kakeknya, dan wajah bengis dari kakaknya. Tapi ketika ia angkat kepalanya, ia tampak roman tampan dan menarik dari Tan Hong yang tersung ging senyuman, dalam sekejap saja, hilanglah mega gelap bagaikan tersapu angin...

Thian San 2 : Dua Musuh Turunan (Peng Cong Hiap Eng)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang