XXXII

1K 13 0
                                    

Ada dua orang yang tengah berbicara di ruang tetamu itu. Yang satu Topuhua kenali sebagai ayahnya. Yang lain adalah kepala rumah tangga gedung perdana menteri yaitu Tjongkoan Wotjaha.

"Utusan kerajaan Beng akan berangkat begitu terang tanah, apakah barang-barang hadiah kita sudah sedia semua?" demikian suaranya Yasian.
"Semua sudah disediakan lengkap," jawab Wotjaha.
"Bocah she In itu benar-benar sukar dilayaninya," Yasian berkata pula. "Aku bersyukur kepada langit dan bumi, seperginya dia, kita bakal merasa aman dan senang..."
"Bukankah Thaysoe hendak mengantar padanya?" sang kepala rumah tangga tanya.

"Kau saja yang wakilkan aku," perdana menteri itu jawab. "Kau berikan alasan bahwa aku sedang sakit. Sri Baginda sendiri turut mengantar untuk memberi selamat jalan.Itupun sudah suatu kehormatan besar baginya."

Tidak tertarik hatinya Topuhua akan mendengarkan pembicaraan itu, maka ia ingin kembali ke kamarnya untuk tidur. Tapi belum sampai ia angkat kakinya, ia lantas mendengar hal lainnya.
"Meriam besar itu hebat, bagaimana kau rasa, suaranya akan dapat terdengar sampai di luar kota atau tidak?" demikian pertanyaannya Yasian kepada hambanya itu.

"Mungkin terdengar tetapi hanya sebagai suara petasan saja," sahut orang yang ditanya. "Gedungnya Thio Tjong Tjioe itu terpisah dari pintu kota kira-kira sepuluh lie lebih, suara meriam juga jauhnya sepuluh lie, tetapi di waktu terang tanah, mereka tentunya sudah meninggalkan kota, sedang tembok kota pun sangat tebal, maka suara meriam itu tidak nanti terdengar nyata. Hamba percaya suara meriam itu tidak akan menimbulkan kecurigaan orang."

Topuhua terperanjat. Suara meriam? Gedungnya Thio Tjong Tjioe? Itu toh rumahnya Thio Tan Hong!
"Lain daripada itu, belum tentu meriam akan ditembak," terdengar pula suaranya
Wotjaha. "Di bawah ancamannya meriam, mustahil mereka tidak akan menjadi jinak dan akan ikat diri sendiri untuk menyerah terhadap keputusan Thaysoe?"
"Thio Tjong Tjioe dan puteranya adalah bangsa yang keras adat," berkata Yasian.
"Lebih-lebih Thio Tan Hong, dia lebih suka menyerah kepada ke lemah lembutan daripada kekerasan. Aku lebih percaya mereka itu lebih suka mengorbankan diri daripada menyerah secara terhina..."

Perdana menteri itu berhenti sebentar, terdengar dia menghela napas.

"Thio Tan Hong itu pandai ilmu surat dan silat, dialah satu anak pandai," dia berkata pula. "Maka sayang sekali dia tidak sudi bekerja di pihakku, sebaliknya di mana-mana dia justeru mengganggu aku. Orang semacam dia itu jikalau diijinkan pulang ke negerinya,dia mesti akan menjadi ancaman bencana bagiku. Ah, harap saja seperti katamu dia suka menyerah kepadaku, jikalau tidak, dengan tidak pedulikan kesusahan hatinya Topuhua,harus aku singkirkan padanya!"

Yasian ini sudah dengar keterangannya Ngochito dan Ma I Tjan, maka tahulah dia,orang yang menolongi In Tiong yang membekuk See Too, yang memusnahkan lima ratus serdadu pilihannya, semuanya itu adalah perbuatannya Thio Tan Hong, maka itu ia kaget berbareng gusar sekali. Tentu saja, karena perbuatan Tan Hong itu, hendak ia membalas sakit hati. Demikian ia kirim Ngochito ke rumahnya Tjong Tjioe, untuk ancam Tjong Tjioe dan Tan Hong menyerah terhadapnya. Kalau Tjong Tjioe dan puteranya terpaksa ditembak mati dengan meriam, itu harus dilakukan sesudah berangkatnya utusan kerajaan Beng.

Terbangun bulu ramanya Topuhua mendengar tindakannya ayahnya itu, ia kaget dan sangat berkuatir untuk Tan Hong. Nyata sekali bahwa Tan Hong terancam bahaya maut.

Ia menjadi bergelisah di waktu ia mendengar suara kentongan sudah tiga kali. Itulah tanda bahwa segera juga sang fajar akan menyingsing.

Syukur juga, setelah bicara sampai di situ, Yasian dan hambanya pada undurkan diri.

Topuhua sudah lantas undurkan diri ke dalam kamarnya. Ia hanya bingung juga disebabkan kamarnya berada di depan kamar ayahnya itu, selagi ia rebahkan diri untuk berpura-pura tidur, kamar ayahnya itu masih terang dengan cahaya apinya, malah di antara kain jendela terlihat satu tubuh jalan mundar-mandir menandakan sang ayah masih belum naik tidur. Mestinya ayah itu pun tengah bergelisah...

Thian San 2 : Dua Musuh Turunan (Peng Cong Hiap Eng)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang