XIX

771 7 1
                                    

Thio Tan Hong lompat naik ke atas panggung dengan sikap yang tenang dan wajah berseri-seri. Seperti biasanya, dia dandan dengan pakaian putih, pun ikat kepalanya putih juga. Sepatunya adalah sepatu yang enteng. Indah gerakannya ketika tubuhnya mencelat ke atas panggung Ioeitay, bagaikan "pohon kemala ditiup angin" atau "bunga lay beterbangan antara salju." Dia pun muda dan cakap romannya, halus gerak-geriknya.
Para kiedjin bersorak, waktu mereka menyaksikan munculnya saingan ini.

"Sungguh satu pemuda yang cakap!" raja memuji setelah menyaksikan kiedjin No. 15 ini. Hingga ia berkata kepada Kong Tiauw Hay: "Orang ini sepantasnya turut dalam ujian Boen tjonggoan....."

"Ya," sahut Kong Tiauw Hay, acuh tak acuh, sebab kedua matanya sedang menatap Thio Tan Hong. Terang nampaknya, dia heran atau curiga....."

Sesampainya di atas panggung, Tan Hong tidak segera tantang In Tiong, dia hanya memandang sekelebatan, menyapu dari kaisar sampai kepada yang lainnya.

Terkejut Kaisar Kie Tin ketika sinar matanya bentrok dengan sinar mata Tan Hong,tanpa merasa, ia bergidik sendirinya. Kaisar ini heran sekali, orang ada demikian lemah lembut, kenapa matanya tajam sekali, pada sinarnya seperti berbayang "hawa pembunuhan." Tentu sekali raja ini tidak tahu, leluhur Thio Tan Hong adalah musuh besar dari leluhurnya sendiri — musuh dalam perebutan negara.
Munculnya Tan Hong tidak hanya mengejutkan In Loei seorang. Ie Kiam dan In Tiong juga tak Menyangkanya sama sekali. Ie Kokioo berpikir: "Tan Hong adalah seorang luar biasa, telah berulang kali aku menganjurkan dia bekerja untuk pemerintah, untuk itu bersedia aku menanggung dia dengan rumah tanggaku, dengan jiwaku, dia senantiasa menampiknya, kenapa sekarang dia muncul di sini hendak memperebutkan segala gelar Boe tjonggoan?"

In Tiong sebaliknya berpikir: "Binatang ini adalah pengchianat yang bekerja untuk bangsa Watzu, kenapa dia datang untuk perebutkan gelaran Boe tjonggoan denganku? Apa tidak baik jikalau aku beber saja rahasianya? Tapi dia ditanggung oleh Thio Hong Hoe, pemimpinku, bagaimana?" Karena ini, terpaksa ia bungkam, ia cuma telan sendiri kemendeluannya.

Tak berayal lagi, Thio Tan Hong menghadap In Tiong. Ia bersenyum lebar dengan tangannya di gagang pedang. Dengan dalam ia menjura, terus ia berkata dengan hormat:
"Saudara In, aku mohon belas kasihanmu....."

In Tiong gusar bukan kepalang, kedua matanya sampai bersinar bagaikan api menyala, akan tetapi dia berada di atas panggung, dia mesti kendalikan dirinya, dia harus mengindahkan adat istiadat, maka itu, dia pun membalas menghormat sambil menjura, cuma waktu dia buka suara, walaupun perlahan, dia kata: "Hari ini jikalau bukannya kau yang mati, aku yang mampus!"

Akan tetapi Tan Hong tertawa.

"Itulah tak usah!....." katanya, sabar.

Belum orang menutup mulutnya, In Tiong sudah mulai menyerang. Setelah mereka satu pada lain memberi hormat, tak perlu lagi mereka main hormat-hormatan terlebih jauh. Gerakkannya adalah "Kwahouw tengsan," atau "Menunggang harimau mendak gunung."

In Loei telah menyaksikan itu, tanpa merasa, tubuhnya mengeluarkan keringat dingin.
Ia berkuatir tak terkira.

Di atas panggung, Tan Hong telah perdengarkan seruannya, "Bagus!" lalu tubuhnya bergerak, mengegos dari bacokan In Tiong, atas mana, In Tiong, menyusul dengan bacokan lagi dari samping. Ia jadi penasaran karena bacokannya yang pertama itu dengan mudah dapat dielakkan lawan.

Kali ini Tan Hong mencoba tenaga orang, ketika ia melewatkan bacokan itu, ia bentur lengan pemuda she In itu, hingga terjadilah satu peraduan tangan yang keras. Ia pakai tangan kanan, In Tiong tangan kiri.

"Nyata Taylek Kimkong Tjioe dari Toasoepee bukan nama belaka!" kata Tan Hong dalam hatinya setelah benturan itu, terus saja ia balas menikam.

"Bagus!" seru In Tiong tanpa disengaja ketika ia berhasil mengelakan diri dari tikaman yang berbahaya itu. Ia juga kagumi liehaynya lawan ini.

Thian San 2 : Dua Musuh Turunan (Peng Cong Hiap Eng)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang