X

644 7 0
                                    

In Lui terperanjat apabila ia sudah pandang muka orang yang baru datang ini. Ia kenali orang itu adalah si orang Tartar, si bangsat dengan siapa ia pernah bertempur di luar kuil tua pada malam itu. Dia adalah murid Tantai Mie Ming.
Ketika Ciu San Bin sudah melihat tegas, ia lompat sambil membacok, mulutnya pun mengucapkan "Orang Tartar bernyali besar! Kau telah nyelundup ke Tionggoan, kau hendak berbuat apa?"
San Bin segera kenali musuh negaranya, sebab Tantai Mie Ming bersama muridnya itu pernah membawa pasukan tentara menyerang Ciu Kian dan dia pernah bertempur dengan musuh ini.
Murid Tantai Mie Ming itu, yang bernama Katalai, begitu dia masuk ke dalam pekuburan, lantas dia memanggil dengan suara keras, "Thio Siangkong!" Dia kaget apabila tiba-tiba dia dibentak dan diserang. Akan tetapi dia tabah dan sebat, maka dia sempat mencabut sepasang gaetannya, untuk dipakai menangkis, hingga kedua senjata bentrok keras, suaranya nyaring.
"Apakah kau telah membunuh Thio Siangkong?" tanya Katalai dengan bentakannya.
"Sekalipun kau, hendak aku mencincangnya!" jawab San Bin sengit, kembali dia membacok.
Katalai menangkis, lalu ia balas menyerang, maka dengan begitu, mereka jadi bertempur. Tapi orang Tartar itu menyerang hebat, ia sudah lantas mendesak, dari itu tidak lama, ia telah membikin San Bin kewalahan, sampai orang she Ciu ini cuma bisa menangkis, tidak mampu ia membalas menyerang. Hingga pertempuran jadi tidak seimbang.
Cui Hong berkuatir melihat pemuda itu bakal kena dikalahkan, di dalam hatinya, dia kata, "Toapeh ini kurang ajar, akan tetapi mesti aku bantu dia!" Dengan sendirinya, ia akui orang sebagai toapehnya, paman dari pihak "suaminya". Maka lantas ia hunus goloknya, terus ia maju menerjang, hingga orang Tartar itu kena dikepung berdua.
Dibanding dengan Katalai, Cui Hong kalah tenaga, akan tetapi dia menang enteng tubuh, dia jauh terlebih gesit, maka dengan andalkan kegesitannya itu dapat dia berikan bantuan berharga pada San Bin, hingga San Bin tidak lagi terdesak, malah sesaat kemudian, keadaan jadi berbalik, Katalai adalah yang kena didesak mereka itu.
Katalai tahu diri, selagi berkelahi, dia berseru keras, sepasang gaetannya juga bekerja, untuk menyerang dengan hebat kedua lawannya. Nyata ia telah gunakan siasat. Sebab begitu mendesak, dia lantas lompat mundur, dia putar tubuhnya, untuk segera lari keluar kuburan.
San Bin lompat untuk mengejar, di belakang dia, Cui Hong menyusul, dari itu, sebentar saja, ketiga orang itu sudah lenyap dari dalam kuburan.
In Lui yang menyaksikan pertempuran itu, goncang hatinya. Ia lantas angkat kepalanya, untuk memandang Thio Tan Hong. Justeru itu, si anak muda pun memandang padanya sambil tersenyum, agaknya dia hendak bertanya, "Kau lihat, adakah aku satu pengkhianat atau bukan?"
In Lui sangat percaya Ciu Kian dan puteranya, coba ia tidak berada bersama Tan Hong selama beberapa hari, hingga ia dapat menyaksikan kelakuan orang, begitu mendengar ucapan "pengkhianat" dari San Bin, tentu ia sudah tikam pemuda di sisinya ini. Akan tetapi sekarang, pikirannya jadi berlawanan satu dengan lain. Tidak nanti San Bin lancang menuduh, tapi juga Tan Hong tidak pantas ia menjadi pengkhianat bangsa. Selama bergaul rapat beberapa hari, dari jemu ia menjadi gemar bergaul dengan orang she Thio ini, malah agaknya ia menaruh penghargaan.
"Dia baru kembali dari Mongolia, "demikian ia berpikir lebih jauh, "mungkin dia telah menyingkirkan diri dari negara asing, karena mana bangsa Mongolia jadi hendak membekuk dia kembali ... Mungkin karena itu, San Bin menyangka dia ada satu pengkhianat."
Tidak lama In Lui berada dalam kesangsian, lantas ia dapat tenangkan diri. Begitulah ia tersenyum sendirinya.
"Toako, aku percaya kau," katanya kemudian dengan perlahan.
Wajah Tan Hong pun menjadi terang, nyata sekali ia gembira.
"Hiantee," katanya, dengan perlahan, "seumurku kau adalah sahabatku satu-satunya yang mengenal diriku. Sekarang lanjutkan semedhimu. Malam ini hendak aku perdengarkan kau dongeng yang kesatu."
Tan Hong bertindak keluar dari kamar rahasia, ia pergi menutup pintu depan, yang ia ganjal dengan dua potong batu besar yang panjang, hingga tanpa tenaga seribu kati, sulit untuk orang membuka pintu kuburan itu.
In Lui melanjutkan istirahatnya, semedhinya. Ia rasakan darahnya mengalir dengan sempurna, ia merasa tubuhnya jadi sehat sekali.
Waktu telah berlalu, tidak ada sinar terang lagi yang molos masuk dari sela-sela di atas wuwungan, itu tandanya bahwa sang magrib telah datang.
Hek Pek Moko mempunyai persediaan barang makanan di dalam istananya itu, maka Thio Tan Hong bisa menyalakan api, untuk masak bubur, untuk memanaskan daging dan ayam. Lalu ia suguhkan makanan itu pada In Lui, hingga si nona menjadi bersyukur sekali.
Tan Hong mengawasi sambil tersenyum ketika ia berkata," Kesehatanmu telah maju baik, akan tetapi kau masih belum boleh bicara banyak. Kau cuma harus dengarkan aku, tidak boleh kau banyak menanya. Sekarang hendak aku mulai dengan dongengku yang pertama. Nanti setelah selesai aku ceriakan tiga dongengan, baru aku tuturkan jelas tentang diriku kepadamu."

Thian San 2 : Dua Musuh Turunan (Peng Cong Hiap Eng)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang