XXXI

747 5 0
                                    

Tengah Tan Hong dan In Loei saling berhadap-hadapan tanpa mengatakan sesuatu,oleh karena hati mereka masing-masing sedang pepat sekali, adalah Tantai Mie Ming menggeleng-geleng kepala, ia menghela napas perlahan. Sejak tadi, iapun berdiam saja bahna masgul dan bingungnya. Tapi kali ini ia berbisik di kupingnya si anak muda.

"Kau dapat melepaskan negara kerajaan Beng yang luasnya sembilan laksa lie, yang indah pemanda ngan alamnya, mustahil kau pun tidak dapat membiarkan satu wanita?" jenderal Watzu ini berkata dengan perlahan, yang dekatkan mulutnya kepada kuping orang. Tan Hong agaknya terperanjat.

"Apa?" ia menegaskan.

"Ayahmu mengharapkan kau untuk membangun pula kerajaan Tjioe," Tantai Mie Ming menerangkan, "dan kau sendiri, untuk tak membiarkan daerah Tionggoan yang indah dan luasnya sembilan laksa lie itu terjatuh ke dalam tangan bangsa asing, setelah kau menempuh bahaya, untuk itu kau telah serah kan harta dan peta bumi kepada pemerintah yang sekarang ini, hingga kau telah menolong kerajaan Beng yang menjadi musuh keluargamu itu! Tidakkah dengan begitu, kau telah lepaskan percobaanmu untuk merebut pulang negaramu? Usahamu membangun negara masih kau dapat melepaskan nya , apapula budi dan penasaran ini?"

Tan Hong melengak.

"Aku pandang raja bagaikan kotoran!" katanya.

Tantai Mie Ming mengawasi, ia menyambungkan: "Negaramu tengah menantikanmu!"

Dengan tiba-tiba air mukanya Tan Hong berubah, dari pucat menjadi merah. Suaranya Mie Ming pelahan akan tetapi bagi pendengarannya Tan Hong seperti suara guntur.

Sejenak itu segera ia ingat bahwa ia datang dari gurun pasir utara, bahwa setibanya di Kanglam, kembali ia ke gurun, jauh perjalanannya, melintasi sungai dan gunung, banyak penderitaannya. Untuk apakah itu? Bukankah itu untuk cita-citanya yang luhur? Untuk melindungi negaranya nan indah permai? Bukankah itu untuk mencegah berlangsungnya peperangan antara Tionggoan dan Watzu, supaya menjadi berhenti seanteronya, agar di empat penjuru tetangga, semua hidup rukun dan damai? Sekarang, justeru cita-citanya itu bakal berwujud, ia telah menjadi seperti runtuhiKenapa begitu? Dasarnya cerdas dan ingatannya kuat, segera Tan Hong sadar. Ia kertek giginya ketika ia buka suara.

"Tantai Tjiangkoen, terima kasih untuk peringatanmu ini kepadaku!" demikian katanya.
"Mari kita berangkat!"

Pemuda ini segera memberi hormat kepada guru dan paman gurunya semua, dengan sekelebatan sinar matanya menyapu In Loei, lalu dengan sebat ia membalik tubuhnya.

Tapi ia masih dengar elahan napas dari gurunya, dari Eng Eng juga.

In Loei segera duduk numprah di tanah, air matanya tak dapat mengucur keluar.

Syukur baginya Tan Hong tidak berani berpaling kepadanya, jikalau tidak, asal sinar rata mereka bentrok, mungkin ia segera menangis, atau mungkin keduanya saling tubruk,untuk menangis sambil saling rangkul, tak ingin mereka angkat kaki, tak sudi mereka memisahkan diri lagi...

Tan Hong dan Mie Ming turun gunung dengan cepat. Itu waktu, sang malam telah tiba,bintang-bintang di langit sudah mulai berkelak-kelik. Mereka lantas cari rumahnya satu pemburu, untuk numpang bermalam. Esoknya pagi di kaki gunung itu, Tan Hong dapat cari Tjiauwya saytjoe ma, kudanya yang jempol.

Tjiauwya saytjoe ma benar-benar kuda luar biasa. Telah sekira sepuluh hari Tan Hong berdiam di atas gunung, dia dilepas, diumbar mencari makan sendiri, tidak ada kandangnya, tidak ada yang urus, dia dapat bawa dirinya sendiri, dia tak pergi jauh, terus dia menantikan majikannya. Demikian pagi itu, begitu lekas melihat majikannya, dia segera meringkik keras, sambil berjingkrakan dia lari menghampiri majikannya itu.

Tan Hong usap-usap lehernya kuda itu, ia lalu teringat di kala ia bersama In Loei berada di atas seekor kuda itu, tanpa merasa, ia menjadi bersedih hingga tak dapat ia cegah mengalirnya air matanya...

Thian San 2 : Dua Musuh Turunan (Peng Cong Hiap Eng)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang