XII

763 6 1
                                    

"Bahwa hweeshio-hweeshio dari Hong Kak Sie menjadi galak dan berbuat sewenang-wenang, tidak usahlah aku ceritakan lagi," Tiauw Im lanjutkan. Mereka itu tidak pantang, mereka tidak hormati aturan suci. Begitulah pada saat paceklik itu, mereka membeli banyak anak-anak perempuan dari orang-orang yang bersengsara dan hendak mengungsi, anak-anak itu dipelihara di dalam biara, mereka dijadikan korban-korban perkosaan. Di sepanjang jalan telah aku dengar orang banyak berbicara tentang anak-anak perempuan yang dijual pada biara itu, ada yang menjualnya buat lima ratus chie, ada yang cuma tiga ratur chie. Dan uang sebanyak itu tidak cukup untuk ongkos belanja sepuluh hari. Malah yang lebih hebat lagi, yaitu tidak apa anaknya tidak dibeli, asal saja dapat menumpang di dalam biara itu. Panas hatiku mendengar hal itu! Di kolong langit ini ada semacam biara, ada semacam hweeshio, maka hweeshio sebagai aku ini, yang makan daging, sungguh lenyap muka terangku!"
Memang kejadian itu sangat memanaskan hati.
"Usiaku waktu itu belum cukup tiga puluh tahun," Tiauw Im melanjutkan pula.
Waktu itu aku berdarah panas melebihi sekarang ini. Aku tidak perdulikan lagi bahwa biara itu ada biara raja, dengan membawa tongkatku, aku pergi ke biara itu, aku cari hweeshio kepalany, yang terus aku damprat habis-habisan. Diluar sangkaanku, rata-rata hweeshio disitu mengerti ilmu silat, malah kepalanya ada satu ahli. Semua hweeshio muncul hendak membekuk aku, untuk menyiksa dan membinasakan aku. Aku layani mereka, hingga dapat aku membinasakan beberapa diantaranya, akan tetapi lama-kelamaan aku kehabisan tenaga, ini berbahaya bagiku. Disaat aku sangat terancam, datanglah satu hweeshio perantauan. Dia menabuh bok-hie, lalu dia berkata dengan nyaring, "Di waktu langit terang benderang ini, hai kamu kawanan murid murtad dari Sang Buddha, bagaimana kamu berani menganiaya orang?" Habis itu, sambil tetap masih berdoa, ia turun tangan ia serang hweeshio dari biara itu, hingga banyak hweeshio jahat yang terbinasa atau terluka.
Melihat perbuatan hweeshio itu aku menjadi girang, aku jadi mendapat hati, tetapi berbareng dengan itu hatiku menjadi lemah. "Suheng ampunilah mereka itu!" aku teriaki hweeshio perantauan yang kosen itu. Tapi dia menjawab, "Hweeshio dari lain-lain biara boleh diberi ampun, hweeshio-hweeshio disini adalah yang aku paling benci! Jikalau kau merasa kasihan, biarkan aku saja yang turun tangan sendirian!" Dan ia lanjutkan terus serangannya.
Di dalam biara itu digantungkan gambar Beng-thay-couw, gambar itu lebih tinggi daripada orang biasa. Adalah lucu di dalam sebuah biara dipajang gambar satu raja. Lebih lucu lagi, gambar itu bukannya gambar hweeshio yang gundul kepalanya. Di hadapan gambar itu, hweeshio pengembara itu tertawa tiga kali, lalu ia meludah!
Terhadap raja, perbuatan itu merupakan perbuatan sangat kurang ajar. Terhadap segala pembesar jahat dan ok-pa, yang biasa menindas rakyat jelata, aku sangat membenci, akan tetapi melihat dia demikian menghina raja, aku gentar juga.
"Jangan kau takut!" kata hweeshio itu padaku. Dahulu waktu Cu Goan Ciang belum menjadi raja, dia adalah sama sebagai kita. Dia takut sekali orang mengatakannya dia pernah menjadi hweeshio. Aku benci pada sikapnya itu, itulah penghinan untuk kita hweeshio seumumnya. Kau berani bunuh hweeshio murtad dan cabul ini, kenapa tidak benci pada raja yang pernah jadi hweeshio yang mengumbar hweeshio-hweeshio jahat dan busuk melangsungkan kejahatan dan kebusukannya? Dia jadi sengit sekali, akhirnya dia robek gambar raja itu, dihancurkan. Aku sendiri, mendengar teguran itu, bagaikan mendengar pengajaran Sang Buddha, aku jadi sadar dan tidak takut lagi. "Bagus! Bagus!" aku berteriak-teriak sambil takepkan kedua tanganku. "Puas! Puas!"
"Membunuh orang memuaskan, tetapi menolong orang, banyak kesulitannya, berkata pula hweeshio itu. Siapa mendjadi manusia, dia tidak boleh cuma merasa puas, tetapi jeri terhadap kesulitan. Dengan berkata demikian, hweeshio itu maksudkan halnya banyak wanita yang disembunyikan di dalam biara Hong Kak Sie itu. Ayah bunda mereka itu sudah mengungsi, dimana mereka dapat dicari, kemana kaum wanita itu hendak diserahkan? Tentu saja tidak dapat mereka dibiarkan pergi seorang diri.
"Menolong orang harus secara sungguh-sungguh sampai pada akhirnya," berkata hweeshio itu pula. "Mari kita berdua bekerja sama, untuk mengantar mereka, untuk menolongi mereka mencari orang tuanya." Itulah benar. Membunuh orang gampang, tetapi menolong orang sulit. Syukur untuk kami, setelah bersusah payah dua bulan, berhasil juga kami menolong kaum wanita itu. Tentang harta yang tersimpan di dalam Hong Kak Sie, kita amalkan itu kepada rakyat yang bersengsara. Inilah jasaku yang pertama setelah aku turun gunug, peristiwa itu tak nanti aku lupakan seumur hidupku.
Dua bulan lamanya aku diam bersama hweeshio itu, kita sangat cocok satu dengan lain. Dalam hal ilmu silat, kepandaian kita juga berimbang. Kita lantas ikat persahabatan. Hweeshio itu adalah Cin-sam-kay Pit To Hoan yang sekarang ini. Dengan sesungguhnya, aku kangen kepadanya. Sayang, sejak pertemuan yang pertama kali itu, selanjutnya kita belum pernah bertemu pula satu pada lain."
Tergerak hati In Lui, ia berkesan baik mengenai peristiwa itu, mengenai sikap Pit To Hoan. Memikirkan perbuatan Pit To Hoan, bagaikan membayangkan pula waktu To Hoan meludahi gambar Cu Goan Ciang. Kenapa Pit To Hoan begitu membenci kaisar pendiri dari kerajaan Beng itu? Inilah hal yang harus dipikirkan masak-masak.
Tiba-tiba In Lui ingat Thio Tan Hong. Ia ingat, waktu berbicara tentang Cu Goan Ciang, Thio Tan Hong memperlihatkan sikap sangat jemu. Kenapa? Ini juga hal yang memusingkan kepala memikirkannya.
Tiba-tiba Ciu San Bin tertawa.
"Taysu, kali ini kau akan bertemu dengannya!" kata orang she Ciu ini. "Pit To Hoan sendiri sudah cukup untuk melayani bangsat kecil itu, maka ditambah kau, biar dia punya tiga kepala dan enam tangan, tidak nanti dapat dia terbang pergi! Ha-ha, hiantee, sakit hatimu pasti akan terbalaskan!" dia tambahkan kepada In Lui. "Kakekmu di tanah baka tentulah akan meramkan mata........"
In Lui berdiam, matanya mendelong jauh ke depan. Ia tidak menjawab perkataan San Bin. Sikap ini membuat Tiauw Im dan Cui Hong menjadi heran.
Ketika bayangan matahari menunjukkan sudah dekat tengah hari, Tiauw Im lompat berjingkrak.
"Janji atau tantangan si mahasiswa berkuda putih itu tinggal empat hari lagi," dia kata, "maka itu sekarang sudah seharusnya kita cepat-cepat berangkat."
Pengutaraan ini dapat persetujuan, maka itu, berempat mereka berlerot keluar dari dalam kuburan. In Lui dongak, ia memandang ke langit, ia rasakan seperti baru habis bermimpi.
Tiauw Im Hweeshio dengna kuda putihnya adalah yang larinya paling pesat, yang kedua ialah kuda merah dari In Lui, tetapi si hweeshio tidak bedal kudanya itu, maka itu, dapat ia rendengkan binatang itu dengan kuda In Lui. San Bin dan Cui Hong jauh tertinggal di belakang, Cui Hong jadi sangat tidak puas. Akan tetapi, ia tak dapat berbuat suatu apa.
Dekat magrib rombongan ini telah sampai di sebuah dusun kecil di timur kecamatan Him-koan, disini mereka kebetulan bertemu dengan dua rombongan lain, yaitu satu rombongan dari Hwee-sin-tan Cek Chungcu, dan yang lainnya rombongan dari Na Ceecu dari Im-ma-ce. Tiauw Im dan San Bin kenal kedua rombongan itu, kedua pihak lantas membuat pertemuan. Nyata kedua rombongan itu juga tengah menuju ke rumah Pit To Hoan.
Tiauw Im segera mencari sebuah penginapan yang paling besar, ia minta tiga kamar untuknya, yaitu ia bersama San Bin mengambil sebuah kamar, In Lui dan Cui Hong masing-masing satu kamar. Cui Hong menjadi tidak puas, tetapi disitu banyak orang lain, ia terpaksa bungkam.
Malam itu, In Lui tidak dapat tidur, ia bergelisah di atas pembaringannya, sampai ia dengan ketokan perlahan sekali, pada pintu kamarnya.
"Siapa?" tanyanya,
"Aku..."
Itulah suara Cui Hong, suaranya perlahan.
Supaya tidak menerbitkan peristiwa yang bisa jadi buah tertawaan, In Lui lantas rapikan pakaiannya, ia pakai kopiahnya, habis mana ia buka pintu untuk menemui "isterinya" itu.
Cui Hong bermandikan air mata pada mukanya, ia lantas tubruk In Lui hingga nona In ini mesti peluk padanya, lantas ia bawa ke pembaringan.
"Kau kenapa?" tanya In Lui.
Cui Hong mengawasi, sinar matanya mengandung sinar penasaran.
"In Siangkong," ia jawab. "aku bukannya seorang hina, tak dapat aku menahan sabar..."
"Kau sebenarnya kenapa? Siapa yang menghina kau?" tanya pula In Lui.
"Paman gurumu itu serta kakak angkatmu, kenapa seperti hendak merenggangkan hubungn kita?" kata Cui Hong. "Mereka seperti tidak pandang aku adalah isterimu. Apakah mereka anggap aku tidak pantas untuk jadi pasanganmu? Mungkinkah mereka hendak mencarikan lain pasangan untukmu?"
Setelah ketahui urusan itu, In Lui tertawa cekikikan.
"Hai, kau memikirkan apa?" dia tanya. "Sebenarnya mereka bermaksud baik."
Cui Hong mendongkol.
"Bagus betul!" katanya. "Mereka hendak mencarikan kau lain jodoh, kau kata mereka bermaksud baik! Apakah salahku, hingga kau hendak ceraikan aku?"
Ia lantas saja menangis.
Sibuk juga In Lui.
"Apa? Apa katamu?" tanyanya. "Kapan aku hendak ceraikan kau?"
"Habis, kau....kau..."
Tak dapat si nona mengatakan terus, agaknya ia malu.
In Lui berpikir keras.
"Bagaimana aku harus bersikap sekarang?" dia bingung.
"Kau dengar," ia kata. "Kakak angkatku itu...."
"Fui!" Cui Hong memotong. "Kakak angkatmu itu! Jikalau kau sebut-sebut dia pula, nanti aku segera cari ayahku untuk minta keputusannya! Kau nikah aku atau kakak angkatmu? Hm! Aku benci dia!"
In Lui tetap bingung, hingga ia memikirkan untuk membuka rahasia saja. Ia belum sempat membuka mulutnya, ketika ia dengar suara berdehem di luar kamar.
"Hiantee, kau bicara dengan siapa?" terdengar San Bin menanya.
Hatinya menjadi lega. Ia segera tolak tubuh Cui Hong.
"Ciu Toako diluar?" tegurnya. "Lekas kau keluar! Kau seka air matamu, supaya dia tidak dapat melihat...."
Cui Hong mendongkol bukan main, ia lantas lari keluar, tanpa apa mau, ia justeru bersomplokan dengan San Bin, dalam sengitnya, ia joroki anak muda itu sampai hampir jatuh. Ia lari terus ke dalam kamarnya, ia tutupi kepalanya dengan selimut, ia menangis.
In Lui heran yang San Bin datang malam-malam padanya.
"Hian-moay," ia dengar San Bin, "kita ada bagaikan orang sendiri, tidak ada halangannya untuk kau bicara terus terang. Sebenarnya kau mempunyai kesulitan apa?"
Sejenak In Lui terperanjat. Tapi segera ia tertawa.
"Memang ada kesulitanku," ia jawab. "Apakah kau tidak lihat nona Cio gerembengi aku? Ini sulit, kesulitan ini tidak dapat aku pecahkan. Aku lihat, toako, cuma kau yang dapat membantu aku."
San Bin terperanjat, wajahnya berubah.
"Cui Hong adalah satu anak yang baik," berkata pula In Lui, "ia sesuai dengan kau. Toako, kau telah berjalan bersama-sama dia, apakah kau tidak pikir suatu apa mengenai dia?'
Pemuda itu melengak, ia merasa tak enak.
"Adakah In Lui telah melihat lain orang, maka hendak ia serahkan Cui Hong padaku?" ia menduga-duga, ia mulai cemburu.
In Lui polos, tidak ia menyangka akan kesangsiannya San Bin itu, maka itu, heran ia menampak air muka orang menjadi pucat. Ia tercengang.
"Adik In, jangan kau dustakan aku," San Bin berkata pula. "Bukankah kau mempunyai orang lain?"
"Apa toako?" In Lui tanya.
San Bin menatap.
"Anak Thio Cong Ciu telah melakukan perjalanan bersama-sama kau, bukankah ia baik sekali terhadapmu?" tanyanya, tiba-tiba.
Tubuh In Lui gemetar.
"Ya, baik sekali," ia menjawab.
"Tapi ia ada dari keluarga musuhmu!" San Bin peringatkan.
"Tentang itu tak usah kau memperingatkannya," sahut In Lui, "surat wasiat kakekku telah menjelaskannya terang sekali."
"Apakah yang ditulisnya?'
"Surat wasiat itu menghendaki supaya aku membunuh habis keluarga Thio, tidak perduli lelaki atau perempuan!"
"Tetapi ia berlaku baik sekali terhadapmu!" San Bin kata pula.
"Baik atau tidak sama saja. Aku....aku....aku tidak bisa tentangi pesan kakekku!"
In Lui menangis tersedu-sedu, tak dapat ia bicara terus.
San Bin bingung, hatinya separuh lega. Ia awasi si nona, pikirannya ruwet. Ia merasa tak tega, ia merasa kasihan terhadap nona ini. Ia ulur tangannya, niatnya menghibur si nona, akan tetapi ketika tangannya membentur lengan orang, segera ia menarik kembali. Ia merasakan getaran.
Justeru itu di luar penginapan terdengar bentakan keras.
"Oh, bangsat!" demikian suara Tiauw Im Hweeshio.
"Besar nyalimu! Aku ada disini, kau berani datang menyatroni!"
San Bin kaget, tapi segera ia lompat keluar, tangannya mencabut golok. Ia terus lompat naik ke atas genteng.
Di bawah sinar rembulan yang permai, disana tampak satu mahasiswa yang putih bersih, seolah-olah ia sedang tersenyum, dengan tegak ia berdiri diantara siuran angin halus. Ia adalah "si bangsat kecil berkuda putih" untuk melayani siapa San Bin bersama Cio Eng sudah menyiarkan panah Lok-lim-cian.
Waktu itu Na Ceecu dan Cek Chungcu pun telah muncul di pojok payon.
Menampak San Bin, Tiauw Im berkata, "Aku tidak mau melayani anak muda, akan aku gantikan kau mengurus kuda putih itu! Hati-hatilah kamu, supaya dia tidak sampai lolos!"
San Bin tidak sahuti paman guru itu, ia hanya berkata, "Adik Lui, lekas kemari!"
Cek Chungcu, yang bernama Po Ciang dan bergelas Hwee-sin-tan, si Peluru Malaikat, sudah lantas menimpuk dengan tiga biji hwee-cu, peluru api, mengarah muka orang.
Dengan mengegoskan tubuhnya si mahasiswa lolos dari sasaran peluru lihai itu.
Na Ceecu, yang bernama Thian Sek, sudah lantas maju menyerang dengan sepasang Poan-koan-pitnya, yaitu alat semacam pit, alat tulis.
Si mahasiswa tidak hunus senjatanya, sambil menyamping sedikit, dengan sebelah tangannya ia menangkis, tangan yang lain dipakai membalas menyerang. Secara demikian ia membuat serangan Na Ceecu gagal, yang terpaksa mundur dua tindak.
Waktu itu, San Bin lompat dengan bacokan goloknya.
Gesit sekali mahasiswa itu, ia tidak menangkis atau lari, hanya selagi golok menyambar, ia berkelit sambil memutar diri, tangannya yang sebelah diayunkan, hingga ketika ia berbalik pula, lengan San Bin kena tersampok, sampai lengan itu bengkak dan terasa sakit.
In Lui sudah lantas muncul diatas genteng, pedang Pek-in-kiam pun sudah dihunus, segera ia lihat si mahasiswa, mata siapa seperti menyinarkan api. Ia kertak giginya, terus ia menikam.
Si mahasiswa kelitkan dirinya sambil berseru, "Telah aku dengar semua pembicaraanmu! Kiranya kamu semua membenci aku!" Ia tidak membalas serangan si nona.
"Tikam dia! Jangan kasih hati!" berseru San Bin.
Cek Po Ciang kembali menyerang dengan pelurunya, menyusul mana, Tan Hong dikepung bertiga.
Dalam saat yang sangat mengancam itu, Thio Tan Hong masih sempat bersendung, "Tubuh yang kecil boleh pulang ke dalam tanah, akan tetapi bagaimana, budi permusuhan masih belum jelas?"
Pemuda ini berkelit pula dari pedang In Lui, berbareng dengan itu ia serang muka Na Thian Sek dengan tangan kosong. Na Ceecu berkelit sambil lompat nyamping, untuk membela dirinya. Gerakan ini digunakan sebagai ketika oleh Tan Hong, yang sudah lompat turun.
"Kejar dia!" berteriak San Bin.
Semua orang lantas mengejar, tidak terkecuali In Lui, tetapi nona ini cuma ikut-ikutan saja, ia sebenarnya tidak punya tujuan.
Thio Tan Hong perdengarkan suara nyaring, ia rupanya memanggil kudanya. Sebagai jawaban ia dapatkan kuda itu berbenger, yang berada jauh daripadanya. Ia lari menghampiri.
Tiauw Im Hweeshio, diatas kuda putihnya, menghalang antara Tan Hong dan Ciauw-ya Say-cu-ma. Kuda putih itu seperti kenal baik satu pada lain, maka juga, meski dia dengar panggilan, kuda si mahasiswa tidak mau menghampiri majikannya.
Tan Hong perdengarkan pula suara panggilannya, yang panjang. Kali ini Ciauw-ya Say-cu-ma perdengarkan jawabannya sambil berdiri pada kedua kaki belakangnya.
Tiauw Im lihat sikap kuda itu, ia serang batang lehernya. Atas mana, kuda tersebut rubuh.
Sakit hati Tan Hong menyaksikan kudanya disakiti, ia menjadi gusar sekali.
"Hweeshio bangsat, kau berani lukai kudaku?" dia berteriak. Terus ia maju, menyerang si hweeshio itu, atau segera ia tercandak Cek Chungcu, Na Ceecu, San Bin, dan In Lui, yang terus mengurung padanya. Ia menjadi mendongkol, tidak bisa ia lantas loloskan diri. Ia pun tidak sempat mencabut pedangnya.
Tiauw Im tertawa, dia berkata, "Tanpa kudamu, cara bagaimana kau dapat meloloskan diri?"
Belum pendeta ini menutup mulutnya, sekonyong-konyong kudanya berbenger dan berjingkrak, kedua kaki depannya diangkat tinggi, hingga ia menjadi kaget, sebab hampir ia terpelanting dari atas kudanya itu. Inilah ia tidak sangka, sebab sekian lama, dapat ia menjinakkan kuda itu.
Pendeta ini tidak tahu, kudanya dengan Ciauw-ya Say-cu-ma mempunyai hubungan yang sangat erat. Ciauw-ya Say-cu-ma itu adalah anak kuda putih putih itu! Thio Cong Ciu sangat menyayangi puteranya, ia berikan Ciauw-ya Say-cu-ma kepada sang putera. Tiauw Im telah hajar kuda itu, tidak heran kudanya menjadi kaget dan marah, setelah berjingkrak, kuda itu lari kabur. Ia mesti mendekam dan pegangi keras kuda itu, yang tak dapat segera dikendalikan. Ia dibawa kabur sampai beberapa lie.
Ciauw-ya Say-cu-ma berbenger pula, terus dia lompat bangun, terus dia lari ke arah majikannya.
"Bagus! Bagus!" seru Thio Tan Hong.
Na Thian Sek maju dengan pitnya, Cek Po Ciang dengan cambuknya, dan Ciu San Bin dengan goloknya, bertiga mereka hendak rintangi si anak muda menghampiri kuda itu.
Tan Hong lihat sikap orang, ia justeru lompat kearah In Lui.
Nona In kertak giginya, ia segera serang anak muda itu, akan tetapi dengan mengegoskan mukanya, Tan Hong dapat mengelakkan pedang itu ke samping mukanya.
Adalah pada saat itu, Ciauw-ya Say-cu-ma telah datang dekat pada majikannya.
San Bin tidak mau diterjang kuda, ia berkelit. Ketika ini digunakan Tan Hong untuk lompat ke punggung kudanya itu.
Cek Chungcu menyerang dengan pelurunya, ia sebat, akan tetapi Ciauw-ya Say-cu-ma sangat gesit, dia membuat peluru lewat di belakangnya.
Sambil kaburkan terus kudanya, dari kejauhan, si mahasiswa telah perdengarkan suaranya yang nyaring, "Maafkan aku, tidak dapat kau menemani lebih lama! Nanti saja, lagi tiga hari, kami bertemu pula!"
Kata-kata itu, yang seperti ejekan, diakhiri dengan suara tertawa, yang segera lenyap di udara terbuka, diantara sampokan angin, yang kemudian disusul menghilangnya si penunggang kuda dan kudanya.
In Lui berdiri menjublak, sedang Cek Chungcu, Na Ceecu dan San Bin lesu sekali, mereka menyesal sekali, mereka jengah sendirinya. Beramai mereka tak sanggup membekuk satu orang.
Tidak lama diantaranya, tiba-tiba Tiauw Im Hweeshio. Pendeta ini kembali sesudah ia dapat kuasai kudanya, ia merasa kecele, karenanya ia larikan kudanya perlahan-lahan. Ketika ia saksikan roman kawan-kawannya, sambil menyeringai, ia berkata, "Malam ini kita rubuh! Nanti, setelah tiga hari, terpaksa aku mesti turun tangan."
Besok paginya, perjalanan dilanjutkan.
Cui Hong mendongkol berbareng berduka, karena kejadian semalam itu. Tak mau ia bicara dengan In Lui.
San Bin pun berdiam, akan tetapi ia pikirkan pertempuran semalam. Terang ia dapat melihat, sekalipun In Lui, dia masih kalah terhadap Thio Tan Hong yang lihai itu. Ia juga dapat melihat, Tan Hong tidak berniat mencelakai si nona walaupun nona ini ada musuhnya. Bukankah itu tandanya bahwa antara mereka berdua telah ada perhubungan yang erat? Maka akhirnya, ia menjadi masgul sekali, pikirannya pepat. Ia tidak punya kegembiraan untuk bicara dengan nona In.
Nona ini lihat sikap pemuda she Ciu itu, ini membuatnya ia berlega hati. Meski demikian, teringat halnya Tan Hong, ia berduka juga.
Perjalanan dilanjutkan terus, sesudah tiga hari, sampailah mereka di Hok-lok.
Perkampungan tempat kediamannya Cin-sam-kay Pit To Hoan dikitari air dan bukit, bagus letaknya.
Tiauw Im Hweeshio maju di depan, ia temui pengawal pintu, untuk perkenalkan diri dan utarakan maksud kedatangannya, setelah mana, mereka dipersilahkan masuk.
Nyata di dalam telah ada lain-lain tetamu, roman mereka umumnya tegang.
Sudah dua puluh tahun Pit To Hoan dan Tiauw Im tidak pernah bertemu, pertemuan ini membuat mereka girang sekali, banyak yang mereka omongkan, tentang kenangan-kenangan mereka, perihal kesehatan dan lainnya, hingga untuk sesaat itu, tak sempat Pit To Hoan melayani lain-lain tetamunya, yang semua datang karena menerima panah Lok-lim-cian atau diundang langsung oleh Thio Tan Hong.
Kemudian orang menanyakan Ciu San Bin tentang Thio Tan Hong, mereka ingin ketahui jelas perihal orang she Thio itu.
"Ayahmu, Kim Too Ceecu," berkata Pit To Hoan, "meskipun dia belum pernah bertemu denganku, akan tetapi telah lama aku dengar tentang dia, aku tahu dia orang macam apa, maka aku percaya orang yang dia ingin bekuk mesti ada seorang yang jahat sekali. Sekarang pun terbukti, melihat sepak terjangnya, penjahat itu sangat cerdik dan berbahaya. Maka itu, tidak usah kau menjelaskan banyak, aku berniat turun tangan terhadapnya."
Kemudian, menampak Cio Cui Hong, tuan rumah urut-urut kumisnya.
"Maafkan aku, aku tak tahu sekarang telah muncul seorang wanita gagah," ia kata.
Segera San Bin memperkenalkan.
"Nona ini puteri Hong-thian-lui," katanya.
Cui Hong segera maju, untuk memberi hormatnya, seraya memberitahukan yang ayahnya telah mengirim surat untuk menanyakan kesehatan tuan rumah itu.
Pit To Hoan girang sekali, ia tertawa.
"Jikalau Hong-thian-lui menitahkan sesuatu, walaupun harus menerjang api, tidak nanti aku menolak!" dia kata. "Sudah belasan tahun aku nantikan suratnya itu!"
Cui Hong serahkan surat ayahnya, tuan rumah menerimanya, untuk terus dibuka dan dibaca, habis mana mendadak air mukanya berubah menjadi pucat.
Hati In Lui goncang. Tak tahu ia, apa bunyi surat Cio Eng itu.
Pit To Hoan berlaku tenang, dengan perlahan ia lipat pula surat itu, terus ia masukkan ke dalam sakunya.
San Bin mengawasi, ingin ia bicara, untuk menjelaskan perihal si mahasiswa berkuda putih, atau To Hoan, yang memandang padanya, mendahului dia.
"Tidak usah kau menjelaskannya, sudah aku ketahui," katanya. Ia segera memandang kepada In Lui kearah siapa ia berpaling.
"Tuan ini adalah keponakan murid dari Tiauw Im Tauysu, ia juga menjadi menantu dari Cio loo-enghiong," San Bin cepat memperkenalkan.
"Menantu Hong-thian-lui telah datang, sayang Hong-thian-lui tidak, "kata To Hoan. "Aku kuatir urusan tidak akan dapat diselesaikan."
Ia lantas angkat kepalanya, hingga tampak sinar kedua matanya yang hitam dan bengis. Habis itu terdengar tertawanya yang kering.
"Mari turut aku!" kata ia kemudian sambil melambaikan tangan pada In Lui dan Cui Hong. Ia pun memesan, "Kalau si mahasiswa berkuda putih datang dengan tiba-tiba, Tiauw Im suheng, tolong kau wakilkan aku melayani dia."
Sudah lama To Hoan kembali menjadi orang biasa, bukan hweeshio lagi, tapi kepada Tiauw Im tetap ia memanggil "suheng", panggilan cara keagamaan.
In Lui dan Cui Hong turut tuan rumah itu. Mereka melewati lorong dan naik keatas sebuah loteng kecil, disitu kedapatan sehelai gambar lukisan kota dan air, dengan pohon-pohon bunga. Mestinya gambar ini dibuat oleh satu pelukis dengan gambar yang ada di rumah Cui Hong, bedanya ialah gambar ini jauh terlebih kecil.
Belum lagi tuan rumah dan tetamu-tetamunya duduk, atau satu bocah telah datang berlarian, terus saja dia tunjuk gambar itu sambil berseru, "Ayah, berikan padaku, berikan padaku buat main!"
Bocah itu berumur kira-kira delapan tahun, gesit dan manis, siapa saja tentu menyukai dia.
To Hoan urut-urut kumisnya, ia turunkan gambar itu, lalu ia berikan pada bocah itu.
"Pergi ambil!" katanya. "Hari ini akan terlihat barang aslinya, maka barang tiruan ini tak usah aku menghargainya lagi!"
Mendapat gambar itu, bocah itu tertawa dan berjingkrakan, lantas dia pergi. Kelihatannya, dia seperti sudah sering minta gambar itu kepada orang tuanya dan baru kali ini diberikan.
Dengan matanya, To Hoan antar bocah itu turun dari loteng, habis itu ia menoleh kepada Cui Hong. Ia tertawa.
"Nona Cio," katanya, "ketika tahun itu aku pergi ke rumahmu, kau masih sebesar dia. Masihkah kau ingat?"
"Dua bulan ayahku rebah di pembaringan, mana aku dapat melupainya?" jawab nona Cio.
To Hoan menghela napas.
"Hari itu aku sangat ganas," katanya, "sampai pada hari ini, apakah kau masi membenci aku? Apakah yang ayahmu katakan padamu?"
"Sedikit juga ayah tidak membenci kau," sahut Cui Hong. "Kali ini, apabila kau bisa membantu membalas sakit hati, ayah akan sangat berterima kasih padamu."
"Membalas sakit hati?" To Hoan heran. "Sakit hati apakah itu?"
Cui Hong berbalk menjadi heran.
"Apakah ayah tidak menjelaskan dalam suratnya?" ia tanya. "Bukankah si mahasiswa berkuda putih itu ada musuh besar dari In Siangkong?"
To Hoan awasi nona itu.
"Begitu?" dia tegaskan.
Muka In Lui menjadi pucat sekali.
"Benar apa yang nona Cio ini katakan," ia turut bicara. "Memang itu ada urusan sakit hati. Hanya dalam hal itu, tidak mau aku pinjam tangan lain orang!"
"Bagus, itulah bersemangat!" puji Pit To Hoan. "Tapi aku lihat, di dalam urusan ini terlibat lain urusan lagi, yang menjadi sulit bagiku..."
"Apa?" tanya Cui Hong heran. "Inilah aku tidak pikir. Apakah yang ayahku tulis dalam suratnya itu?"
To Hoan tertawa tawar, separuh berpaling, ia pandang nona itu.
"Sekarang aku undang kau kemari, ini adalah untuk menuturkan kau sebuah dongeng," katanya kemudian. "Dongeng ini tentunya ayahmu belum ketahui semuanya."
Dan ia lantas mulai dengan dongengnya itu.
Dahulu kala ada satu hweeshio yang pandai ilmu silat, dan pintar sekali dalam soal agama. Pada masa itu masuklah satu bangsa lain ke Tionggoan dan memerintahnya. Karena itu negara menjadi kalut sekali.
Waktu itu hidup dua saudara angkat, si kakak hidup sebagai pedagang garam gelap, si adik menjadi pengemis. Kedua saudara ini berangan-angan besar. Mereka bercita-cita mengumpulkan tentara guna mengusir bangsa asing itu. Akan tetapi si hweeshio telah mendahului mereka, di Hoaysee dia telah mengerek bendera pemberontakan suci.
"Hweeshio tua itu mempunyai dua murid, ialah si penjual garam gelap sebagai kakak dan si pengemis sebagai adiknya," In Lui menyelak.
Bersinar mata To Hoan, dia pandang tamu ini. Lantas ia tersenyum.
"Kau juga belum mengetahui jelas," ia beritahu. "Hweeshio itu bukan mempunyai cuma dua murid, tetapi tiga. Siapa menuturkan kau dongeng yang tidak lengkap itu?"
"Untuk bicara terus terang, yang mendongengkan ialah orang yang hari ini kamu semua hendak menghadapinya," sahut In Lui. "Dia sebenarnya hendak ceritakan aku tiga buah dongeng. Dongeng yang pertama ialah apa yang baru saja kau tuturkan. Dongeng yang kedua aku pun sudah ketahui. Tinggal dongeng yang ketiga, yang ia belum ceritakan padaku."
Cui Hong menjadi heran, hingga ia awasi "suaminya" itu serta To Hoan dengan bergantian. To Hoan bersikap tenang, malah dia seperti sudah ketahui atau telah menduganya.
"Benar," kata To Hoan kemudian. "Dibanding denganku, dia itu mengetahui terlebih banyak. Dongengku ini mungkin ada dongeng yang ketiga, tapi hanya sebagian saja."
Cui Hong bertambah heran, wajah padam. Ia melirik pada In Lui, ia agaknya hendak sesalkan "suami" itu mengada dia sekian lama sudah bungkam saja terhadapnya.
"Oleh karena dia telah menceritakan dongeng itu, baiklah akupun tidak usah menyembunyikan lagi," berkata pula To Hoan kemudian. "Penjual garam gelap itu adalah Thio Su Seng, dan si pengemis adalah Cu Goan Ciang. Dan si hweeshio tua, yang menjadi guru mereka adalah Peng Eng Giok."
In Lui dan Cui Hong mengawasi, keduanya diam. Cui Hong nyata masih bingung.
Pit To Hoan lanjutkan ceritanya.
Peng Eng Giok itu masih mempunyai satu murid lain yang bernama Pit Leng Hie. Murid ini mengerti ilmu perang, dia cerdas sekali. Dia pernah ikuti gurunya merantau, dia pandai menyamarkan diri. Begitulah dia pernah menyamar sebagai hweeshio dan juga sebagai pengemis.
"Cu Goan Ciang itu, sebelum dia masuk ke dalam kalangan Ang Kin Koan, Tentara Pelangi Merah, pernah dia bekerja dalam pasukan suka rela gurunya itu, yang menjabat sebagai satu pemimpin kecil. Mungkin hal ini telah dituturkan orang itu kepadamu," ia tambahkan pada In Lui.
Pada masa itu tentara kerajaan Goan ada tangguh. Sebaliknya tentara kaum pemberontak, yang bergerak dengan berbareng, jumlah tenaganya Peng Eng Giok tidak besar. Begitulah, beberapa kali Peng Eng Giok kena dikalahkan pasukan perang Goan, hingga keadaannya menjadi terancam bahaya besar. Cu Goan Ciang telah berpikir lain, untuk mewujudkan pikirannya itu, ia menanti ketikanya.Kembali Peng Eng Giok mendapat pukulan yang hebat. Inilah ketika yang baik bagi Cu Goan Ciang. Dengan akal muslihatnya, ia jual gurunya kepada musuh, ia sendiri, dengan air mata bercucuran, memperlihatkan diri sebagai seorang baik. Habis itu dengan membawa sisa tentara gurunya, ia pergi kepada pasukan Ang Kin Kun yang paling kuat, dengan siasat ni ia gunakan tentara itu sebagai modalnya untuk merebut negara.
Cu Goan Ciang menduga gurunya mesti terbinasa. Dugaan ini meleset. Gurunya itu diantar ke Pakkhia, kota raja bangsa Goan. Di tengah jalan, guru itu disusul Pit Leng Hie. Murid yang setia ini menggunakan segala macam akal, akhirnya berhasil juga dia menolongi gurunya, yang dia ajak menyingkir. Tentang pengalaman Pit Leng Hie itu, yang sulit sekali, tidak usah aku jelaskan disini.
Keadaan negara telah menjadi kacau sekali ketika itu. Peng Eng Giok dan muridnya tidak dapat kembali ke Kanglam, tapi mereka masih dapat mengumpulkan pengikut baru, untuk bangun pula. Di Utara ada tempat kedudukan tentara Goan, begitu Peng Eng Giok bergerak, begitu ia diserbu. Dalam satu pertempuran Peng Eng Giok terluka parah. Selagi hendak menghembuskan napasnya yang penghabisan, Peng Eng Giok berkata pada muridnya, "Seorang tak dapat lolos dari kematian, sekarang aku terbinasa di medan perang, inilah kemenangan yang terhormat. Cuma ada satu hal yang belum aku selesai lakukan, untuk itu aku minta kau yang menggantikan mengurusnya. Melihat keadaan, aku percaya bangsa Han akan bangun pula. Inilah sudah pasti. Diantara jago-jago yang sekarang sedang bergulat, yang mempunyai harapan untuk naik di tahta, menurut pandanganku, mesti kedua adik seperguruanmu, kalau bukan si Cu, tentu si Thio. Yang lain-lainnya tidak ada yang mempunyai ketika. Cu Goan Ciang berambekan besar dan cerdik sekali, tetapi dia bersifat buruk, dia tidak kenal budi kebaikan. Bukannya aku benci padanya, yang telah menjual aku, tapi sebenarnya aku tidak ingin dia yang menjadi raja. Dia dapat mencelakai rakyat negeri. Sejak muda aku telah merantau, mengembara di seluruh negeri, karenanya aku ketahui letak tempat, yang mana yang baik untuk mengumpulkan tentara. Maka itu aku telah menyiapkan sebuah peta bumi yang dibutuhkan oleh pergerakan tentara. Aku percaya, siapa memperoleh peta itu, dialah yang akan berhasil dalam usaha menjadi jago. Sekarang aku minta kau serahkan peta itu kepada Thio Su Seng."
Pit Leng Hie terima pesan itu, dengan menerjang bahaya, dia berangkat ke Selatan. Sayang dia terlambat, waktu dia tiba di Selatan, perebutan kekuasaan sudah memberikan roman baru, yaitu Thio Su Seng telah terkurung di daerah Souwciu, dalam setiap saat dia dapat dimusnahkan. Tapi Thio Su Seng tidak ingin mati terkurung, dia hendak coba ketikanya yang terakhir. Dia telah tantang Cu Goan Ciang untuk melakukan pertempuran yang memutuskan di sungai Tiangkang.
Pit Leng Hie menganjurkan Thio Su Seng untuk menggunakan seantero kekuatannya yang masih ada, untuk menerjang keluar dari kurungan itu. Thio Su Seng tertawa dan berkata," Mana bisa aku menghilang kepercayaanku terhadap si pengemis?" Dia lantas perintahkan memanggil tukang lukis yang kenamaan yang disuruh melukis panorama kota Souwciu. Dia gemar main catur, malam itu dengan sikap tenang, seperti biasa, dia ajak Pit Leng Hie main catur sambil menghadapi arak. Dia main terus sampai fajar menyingsing, pada waktu itu, selesailah gambar itu. Gambar itu dibuatnya indah dan jelas sekali, sampai bukit-bukit dan menara kota pun terlukis lengkap.
Sesudah itu Thio Su Seng menyembunyikan semua sisa harta bendanya, berikut pelbagai permata dan gambar pesan dari gurunya. Dia sembunyikan itu di suatu tempat yang dia rahasiakan. Tempat itu cuma terlihat di dalam gambar panorama itu. Gambar itu diserahkan pada seorang yang dipercaya, yang ia tugaskan untuk mengajak puteranya menyingkir di waktu malam. Pit Leng Hie berkesan sangat akan putusan dan perbuatan Thio Su Seng ini, dari itu ia mengambil keputusan untuk tidak meninggalkan kota. Dalam pertempuran yang memutuskan di Tiangkang itu, Pit Leng Hie mendahului Thio Su Seng terbinasa. Pit Leng Hie mempunyai satu putera, anak itu menyingkir diantara serdadu-serdadu yang lari kalang kabut. Syukur untuknya, pada akhirnya dia sampai di tempat yang selamat. Harta benda Thio Su Seng itu ada satu soal, akan tetapi yang sangat berharga adalah gambar panorama itu. Umpama ada seseorang yang mendapatkan itu, dia dapat bergerak dan nantin dapat perebutkan negara melawan anak cucu Cu Goan Ciang.
Cui Hong heran.
"Bagaimana dengan gambar itu?" dia tanya.
Belum nona ini menutup mulutnya, tiba-tiba, "srett!" lalu terlihat sebuah panah api warna biru melayang naik ke udara, pertandaan itu disusul dengan teriakan-teriakan, "Si mahasiswa berkuda putih telah datang!"
Suasana menjadi tegang, genting, akan tetapi Pit To Hoan bersikap tenang sekali. Ia berbangkit dengan ayal-ayalan. Sambil tersenyum, ia jawab si nona, "Gambar itu a di rumahmu, nona Cio. Mungkin sekarang gambar itu sudah berada di tangan si mahasiswa berkuda putih itu!"
Cui Hong ternganga, matanya mendelong.
Pit To Hoan tersenyum, dia berkata pula, "Isi surat ayahmu itu adalah menghendaki aku menemui si mahasiswa berkuda putih itu, sama sekali ayahmu tidak memohon bantuanku, lebih-lebih tidak untuk meminta aku membantu menuntut balas. Di dalam segala hal, ayahmu serahkan segala apa kepada keputusanku. Sebenarnya masih ada beberapa soal yang masih kurang jelas bagiku, sayang ayahmu tidak mau datang sendiri menemui aku. Maka itu, hari ini ia membuatnya aku sukar mengambil keputusan."
Cui Hong melengak, In Lui pun terdiam. Justeru itu lalu terdengar suara tertawa dari Thio Tan Hong.
"Si mahasiswa berkuda putih itu sungguh seorang yang luar biasa!" berkata Pit To Hoan. "Ada baiknya untuk menemui dia."
Lantas dia gerakkan kedua tangannya, tangan kiri menarik Cui Hong, untuk dengan perlahan-lahan mengajak mereka turun dari loteng.
Hati In Lui gelisah, ia merasa sangat tegang, karena selagi mendekati keluar, ia sudah mulai dengar riuhnya suara pertempuran. Segera sesampainya di luar, ia tampak Tiauw Im Hweeshio tengah bertarung dengan Thio Tan Hong.
Pendeta itu tersohor Gwa-kee kang-hunya, ialah ilmu luar yang telah sempurna, maka itu semua tetamunya Pit To Hoan berkumpul untuk menyaksikan pertempuran itu, yang dashyat sekali. Sian-thung dari si pendeta telah perdengarkan suara angin yang keras. Di pihak sana, tubuh si mahasiswa berkuda putih telah bergerak berkelebatan lincah sekali dan sinar pedangnya bergemerlapan bagaikan bianglala.
Untuk sekian lama, tidak ada tanda-tandanya akan ada keputusan siapa terlebih tangguh, siapa terlebih lemah. Tiauw Im Hweeshio kemudian perdengarkan seruannya, menyusul mana, ia perhebat gerakan tongkat panjangnya. Atas mana lawannya telah mengubah sikapnya, pedangnya tidak lagi bergerak sama cepatnya, kakinya juga mengambil kedudukan Ngo-heng Pat-kwa, ialah ia main mundur secara teratur.
Apabila ia telah menonton sekian lama, Pit To Hoan bersenyum.
"Ilmu tongkat Hok Mo Thung-hoat dari Tiauw-im Suheng telah mau pesat sekali," katanya. Ia memberi nilai. "Akan tetapi ilmu pedang dari si mahasiswa berkuda putih, belum pernah aku melihatnya."
Pertempuran berlangsung terus, sampai dua puluh jurus, selagi Tiauw Im tetap mendesak setindak demi setindak, sekonyong-konyong, terdengar suara "Trang!" dari beradunya senjata yang disusul dengan meletiknya lelalu-lelatu api.
"Sungguh pedang yang bagus!" memuji orang banyak.
Kedua senjata, tongkat dan pedang, telah bentrok dengan keras, sebagai kesudahan, tongkat si pendeta telah sempoak, hingga semua penonton menjadi terperanjat dan kagum, hingga tanpa merasa, mereka memberikan pujiannya.
Tiauw Im Hweeshio tampak lompat merangsak, tongkatnya menyambar lurus ke depan. Serangan tiba-tiba ini adalah suatu ilmu pukulan mematikan dari Hok Mo Thung-hoat, ilmu tongkat "Menaklukkan Hantu". Itulah ilmu tongkat yang telah diyakinkan selama beberapa puluh tahun. Maka segera juga si mahasiswa berkuda putih seperti dikurung tongkat, di kiri-kanan, di atas dan dibawah, dia bagaikan tertutup.
In Lui berkuatir sekali, hingga tanpa disengaja ia perdengarkan seruan.
Mengakhiri deskannya itu, sekonyong-konyong Tiauw Im Hweeshio tertawa berkakakan. Sebab dengan tiba-tiba pedang si mahasiswa telah terlepas dari tangannya dan mental ke udara.
Karena kagum dan girang, semua penonton, yang terdiri dari jago-jago Rimba Hijau, telah perdengarkan seruan mereka yang gemuruh.
Tiauw Im sudah lantas tarik kembali tongkatnya, ia lompat keluar kalangan.
Thio Tan Hong juga lompat, akan tetapi ia mencelat tinggi, guna mengulur tangannya, guna menjemput pedangnya yang tengah jatuh turun, dengan demikian ia dapat ambil kembali pedangnya yang tajam itu.
Segera terdengar suara nyaring dari si pendeta, "Gurumu menjemukan! Tapi kau adalah orang muda dari kaum kita, maka itu tak dapat aku seorang yang tua, menghina yang muda. Nah, pergilah kau!"
Kata-kata itu membuat semua jago-jago Rimba Hijau heran, mereka saling mengawasi, sinar mata mereka semua merupakan tanda tanya satu dengan lain. Mereka juga lantas berbisik, saling menanya.
Cuma Pit To Hoan, yang nampak girang. Dia tersenyum.
"Makin lama soal menjadi makin aneh!" katanya. "Bagaimanakah maka mahasiswa berkuda putih ini bisa menjadi orang yang terlebih muda tingkatannya dalam kaum Tiauw Im Suheng? Tongkat tercacatkan, pedang telah terlempar, mereka ada paman guru dan keponakan murid, tetapi mereka bertempur seri. Sungguh-sungguh menarik!"
Thio Tan Hong sudah lantas masukkan pedangnya ke dalam sarungnya, ia usap-usap gagang pedang itu. Dengan sikap yang tenang sekali, ia berkata dengan nyaring," Aku yang muda, Thio Tan Hong, telah datang untuk memenuhi janji. Aku mohon bertemu dengan Pit Loo-enghiong!"
Cek Chungcu serta Kong Ciong, yang menjadi begal tunggal di Tay-koan, adalah orang-orang yang paling keras adatnya diantara hadirin itu, mereka tidak tunggu tuan rumah memberikan jawabannya, mereka sudah lantas mendahului muncul. Mereka ini masing-masing mencekal cambuk dan tiat-pay, dengan itu mereka maju menyerang, yang satu seperti menggulung, yang lain dari atas turun menindih.
Thio Tan Hong sudah siap dengan pedangnya, akan tetapi ia tidak melakukan perlawanan atau balas menyerang, ia hanya berkelit. Ia melejit di antara dua senjata jago-jago itu.
"Tahan!" Pit To Hoan segera perdengarkan suaranya. "Siapa pun jangan turun tangan! Saudara Thio, silahkan turut aku!"
Nyaring suara tuan rumah ini.
Semua jago Rimba Hijau menduga, Cin-sam-kay hendak menandingi si anak muda.
Pit To Hoan lantas bertindak, untuk memimpin Thio Tan Hong ke belakang, ke taman bunga. Disini mereka jalan memutari gunung buatan, untuk menghampiri sebuah paseban di dalam mana ada stau meja batu. Di atas meja itu ada sehelai papan catur serta biji-bijinya yang letaknya tidak teratur, seolah-olah permainan belum berakhir.
"Lekas ambil dua poci arak!" To Hoan titahkan hambanya, kemudian dia tambahkan. "Panglima kenamaan gemar catur, ahli surat mencintai gambar lukisan, kesukaan ini, dahulu dan sekarang sama saja. Saudara, punyakah kau kegembiraan menemani aku si orang tua main catur untuk satu rintasan? Sayang disini aku tidak mempunyai lukisan indah yang dapat dipandang."
Thio Tan Hong mengiringi tuan rumah itu, dia bersenyum, lalu ia menjura dengan dalam.
"Boanseng adalah seorang bodoh," dia kata dengan merendah. Dia menggunakan kata-kata boanseng itu, yang berarti "orang yang muda". "Tapi dengan mendengarkan nyanyian, tahulah aku maksudnya yang bagus itu. Boanseng membawa sehelai gambar, walaupun itu bukannya karya dari satu pelukis yang kenamaan, mungkin itu ada harganya juga untuk ditonton."
Lantas ia keluarkan gambar yang ia ambil dari rumah Cio Eng, ia pajang itu di paseban tersebut.
Ketika Pit To Hoan memandang gambar itu, ia menghela napas panjang.
"Bila negara tak kurang suatu apa, aku kan kembali....." katanya denga perlahan. Terus dia menambahkan," Ketika dahulu gambar ini dilukis, mungkin orang telah menemaninya sambil main catur dan minum arak. Saudara Thio, kau ada dari keluarga terpelajar, silahkan kau pegang biji putih/"
Tingkah pola kedua orang ini membuat heran orang banyak. Bagaimana penting artinya Lok-lim-cian yang disiarkan, akan tetapi sekarang ini, mereka berdua bercokol memandangi gambar, bermain catur.
Tiauw Im tidak kurang herannya.
"Keponakan muridku ini sebenarnya belum pernah aku melihatnya, kenapa Cin-sam-kay ketahui dia ada dari keluarga sasterawan?" ia berpikir. "Kenapa dia ketahui orang pandai main catur?"
In Lui berada di samping pendeta itu, dia berpaling kepadanya seraya berkata, "Pasti saja dia mengetahuinya, oleh karena gambar itu ada gambar kota Souwciu!"
Tiauw Im terlebih heran.
"Kau belum pernah pergi ke Souwciu, kenapa kau pun ketahui itu?" dia tanya.
Cui Hong ada bersama mereka ini, dengan dingin dia berkata, "Pasti sekali dia ketahui!" Dengan "dia", dia maksudkan In Lui.
Tiauw Im berdiam, ia terbenam dalam kegelapan.
Di paseban sebaliknya, kedua orang yang sedang main catur dengan tenang, asyik menceguk arak mereka. Semua orang mengawasi mereka dari kejauhan, semua terbenam dalam keheranan, hingga mereka jadi masgul sendirinya.
Pit To Hoan dengan biji hitamnya yang telah mengatur siasat "Yan siang hui", "Burung walet terbang berpasangan". Ia ambil kedudukan di satu pojok. Atas itu Tan Hong segera menyerang ke tengah, mengambil kedudukan "Thian-goan", "Asalnya langit".
"Ah, saudara, tak segan kau berebut sepotong daerah denganku?" kata Pit To Hoan yang terdesak. Ia berpikir lama, baru ia geser pula satu bijinya, akan tetapi Tan Hong bertindak seperti tanpa berpikir pula. Kembali dia pengaruhi lawannya.
Pertandingan berjalan terus, sampai setengah jam, habis itu, dengan keringatnya mengetel, Pit To Hoan berbangkit, dengan tangannya, ia sampok biji caturnya.
"Tak dapat aku lawan terus padamu...." katanya masgul.
Tan Hong berbangkit sambil tertawa.
"Terima kasih, kau mengalah!" katanya. Terus ia gulung gambar yang dipajang itu.
Semua orang heran, tetapi mereka bergerak.
Pit To Hoan dapat melirik sikap tetamunya itu.
"Saudara Thio, bukannya aku si orang tua tak tahu aturan," ia lantas berkata, "karena kau telah mengundang begini banyak sahabat, tidak dapat tidak, mesti aku bertindak dengan turuti aturan. Saudara, ingin aku meminta pengajaran beberapa jurus ilmu pedang darimu.."
Sepasang mata Tan Hong bercahaya. Baginya, permintaan To Hoan ini seperti diluar sangkaannya. Tetapi tetap ia bersikap tenang. Terus ia menjura.
"Jikalau begitu, baiklah," ia kata. "Aku minta loocianpwee menaruh belas kasihan terhadapku."
Dari pojok tembok, To Hoan turunkan sepotong tongkat panjang.
"Tongkat pengemis ini dapat juga digunakan!" katanya.
Tan Hong sudah lantas ambil kedudukan di sebelah bawah.
To Hoan tahu orang tidak berani turun tangan terlebih dahulu, maka dia tak mau buang tempo lagi.
"Awas!" ia peringatkan. Terus ia menyambar pinggangnya si anak muda.
"Bagus!" seru Tan Hong sambil lompat, hingga tongkat Han-liong-pang, yang terbuat dari kayu hangliong yang kuat, lewat di bawah kakinya. Habis itu, tidak tunggu sampai tubuhnya turun menginjak tanah, pedangnya sudah menggantikan menyambar, menikam ke arah jalan darah hoa-khay-hiat. Itulah serangan 'Pek-hong koan-jit", "Bianglala putih mengalingi matahari".
"Bagus!" berseru To Hoan, sambil mundur, seraya menarik kembali tongkatnya, untuk dipakai menotok nadi orang.
Itulah serangan saling balas yang dashyat sekali.
Tan Hong tarik kembali tangannya berikut tubuhnya, akan menyingkir dari ancaman To Hoan. Ia telah gunakan tipu "Jit goat keng thian", "Matahari dan rembulan melewati garis".
"Bagus, saudara Thio!" Pit To Hoan memuji pula. "Sungguh lihai ilmu pedangmu!"
Selagi memberi pujian, jago tua ini ulangi serangannya dengan gerakan yang cepat.
Nampaknya tidak ada jalan untuk Tan Hong berkelit atau menangkis, ia sudah sangat terdesak, akan tetapi di saat ujung tongkatnya mengancam, tahu-tahu, "Trang!" demikian terdengar. Karena keberaniannya, si anak muda toh menangkis juga. Maka itu lelatu api pun muncrat.
Pit To Hoan kaget, hingga ia mencelat mundur, kalau tidak, ujung pedang yang menyambar terus, bisa mengenai tubuhnya.
Semua tetamu berseru kaget dalam hati mereka. Malah Tiauw Im Hweeshio turut merasa heran juga. Mungkinkah Tan Hong tidak dapat mempengaruhi pula pedangnya?
Melainkan To Hoan sendiri yang mendahului bahwa anak muda itu telah mengalah terhadapnya. Ia lantas periksa tongkatnya, tongkat itu tidak gompal. Ia tertawa.
"Pedangmu dan tongkatku sama-sama tidak rusak, mari, tak usah kau sungkan-sungkan!" ia menantang. Malah ia yang mendahului menyerang pula. Kali ini, ia berlaku lebih bengis pula.
Dengan sebat tetapi tenang Thio Tan Hong mengadakan perlawanan. Tongkatnya sangat mendesak, ia melayaninya dengan kegesitan tubuhnya, yang enteng sekali.
Cepat jalannya pertempuran, sebentar saja sudah lima puluh jurus.
Satu kali Tan Hong menyerang dengan tipu "Liong-bun kouw liong" di saat ujung pedang hampir bentrok dengan tongkat, mendadak To Hoan menarik kembali, akan balik menyambar ke arah pinggang.
Diserang secara demikian rupa, Tan Hong mendak, terus ia mencelat ke samping.
"Sayang! Sayang!" mengeluh orang banyak dalam hatinya.
Tiauw Im kembali heran. Ia tahu, bila tongkat diturunkan sedikit lagi, punggung atau kempolan Tan Hong mesti kena tersapu. Mungkinkah To Hoan juga tak dapat menguasai tongkatnya itu?
Cuma Tan Hong yang tahu, jago tua itu mengalah terhadapnya, seperti tadi ia mengalah terhadap orang tua itu. Selagi ia belum tahu pasti apa baik ia ulangi serangannya atau tidak, tiba-tiba ia dengar tuan rumah tertawa terbahak-bahak.

Thian San 2 : Dua Musuh Turunan (Peng Cong Hiap Eng)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang